Jumat, 14 Juni 2013
This is how I feel, emptiness
BLUE : feels so extremely sad,
the tears rolling down to my chicks, i don't know why.
They runs trough, until i can't feel anything.
Minggu, 17 Maret 2013
KISAH BURUNG GEREJA DI KUBAH MASJID
Pagi seharusnya meronce
butiran embun dari celah dedaunan, namun tidak untuk kali ini. Ia memilih
merapatkan kelambunya yang hitam kelam di telapak cakrawala. Kemudian perlahan
mengarsir rerintik gerimis yang menjadi
penutup akhir musim kemarau. Ada beberapa burung gereja bertengger di bingkai
jendela kamarku. Bingkai kayu usang dan lapuk dengan kaca yang tidak lagi
jernih. Salah satu dari mereka mencucuk – cucukkan paruhnya yang mungil pada
kaca jendela yang mulai renta. Aku meletakkan untaian Rosario di atas kitab
yang bertuliskan ayat – ayat. Sedikit kubuka jendela kamarku, memberikan celah
untuk mereka masuk. Namun mereka malah
terbang berhamburan menuju tempat teduh lainnya. Ada satu di antara
mereka yang masih tetap tinggal. Kakinya yang mungil meloncat – loncat ke sana
kemari. Hingga akhirnya ia pun masuk ke dalam kamarku.
Dengan derap yang
perlahan aku melangkah mendekatinya. Ia malah semakin mendekat, hingga kemudian
terbang mendarat di pundakku. Aku jadi teringat Thomas. Pria yang masih
mempunyai darah keturunan raja tanah Toraja. Badannya yang tinggi dan kekar
ditambah parasnya lebih dari tampan. Ia sering kali menjuluki dirinya sendiri sebagai
burung gereja yang bebas hinggap kemana saja. Entah apa maksudnya. Tidak
dipungkiri dengan profesinya sebagai arsitek ia pun banyak menerima tawaran
proyek di berbagai daerah, bahkan sampai ke luar negeri. Pada saat yang tak
diduga Thomas mendapat kesempatan untuk mendesign sebuah bangunan masjid di ibu
kota. Masjid yang dibangun dengan megah sekali. Lantainya terbuat dari marmer
pilihan, tiang – tiangnya menyangga dengan kokoh kubah yang berlapiskan emas.
Aku begitu banyak
memantau keberadaan Thomas. Hingga kemudian aku mengetahui pertemuannya dengan
gadis yang baru – baru ini aku ketahui adalah anak dari tokoh pemuka agama yang
tinggal di tempat Thomas mengurus proyeknya. Gadis yang santun dan taat
beribadah. Aku tahu dia menaruh hati kepada gadis itu. Hingga suatu kesempatan
mereka benar – benar menjadi dekat. Entah apa saja yang mereka lakukan pada
pertemuan – pertemuan itu, aku pun tak ambil pusing. Gadis itu selalu terlihat
tersipu ketika sedang bersama Thomas. Seperti ada pancaran cinta yang begitu
malu – malu saat mereka sedang berdua. Ah cinta? Omong kosong.
Thomas yang biasanya
menghubungiku rutin setiap hari, tiba – tiba menjadi seperti enggan
memperhatikanku lagi. Tak ada SMS kalau aku tak mendahului menanyakan kabar.
Telepon darinya pun menjadi kadang – kadang, dan akhirnya menjadi tidak pernah.
Aku mengerti sebab yang membuatnya seperti itu. Namun aku hanya diam dalam
dekap resah yang basah karena air di pelupuk mata berjatuhan hingga pipi, mengalir
ke dagu dan berakhir di dada. Kemudian meresap pada celah – celah kalbu yang
terperosok dalam dungu.
Semakin hari semakin
tak ada kabar. Thomas pasti sedang berkonsentrasi penuh dengan proyeknya atau
mungkin malah berkonsentrasi penuh dengan gadis itu. Aku bisa melihat
aktivitasnya dengan dia selalu update di
jejaring sosial, bahkan aku pun bisa melacak keberadaannya. Atau mungkin
mencari tahu dari rekan –rekan kerjanya yang aku kenal. Hingga pada suatu saat
aku menemukan titik kejenuhan untuk melakukan semua hal itu. Aku mulai diam,
tanpa pengharapan dan menghilang begitu saja dalam gorong – gorong yang disebut
keputusasaan.
Hingga dua tahun aku
sudah tidak pernah berhubungan dengan Thomas, sekedar berkabar saja tidak.
Musim berganti musim, waktu bergulir bagai air yang menetes dari reruncing
ujung stalagtit.
Kemudian tiba – tiba aku
merasakan desau angin membawa kabar tentang luka dan pilu. Thomas yang telah
menjalin hubungan dengan gadis santun dan berbudi baik itu, mendapat banyak
pertentangan dari berbagai pihak. Kedua belah pihak keluarga mereka tidak
merestui hubungan lintas agama tersebut. Bagaimana mungkin bisa satu bahtera
mempunyai dua orang nahkoda. Begitulah ceracau yang mengacau saat terjadi
perdebatan dengan keluarga pihak Thomas. Begitu pula dengan keluarga gadis itu.
Pada suatu waktu Thomas
kembali ke kota ini. Sesekali dia menghubungiku untuk bertemu. Aku mengiyakan
permintaannya. Pertemuan yang tidak lama, dan juga tidak sebentar. Di bawah
naungan atap cakrawala yang gulita, berhiaskan reronce gemintang yang begitu
gemerlap. Aku sesekali mencuri pandang untuk sekedar melihat wajah Thomas yang
telah banyak berubah. Rambutnya yang sudah terlalu panjang karena tidak segera
dipotong. Raut mukanya seperti lelah. Aku terus saja diam tak bergeming, entah
apa yang harus kumulai dengan pertemuan ini.
“Tabitha, sebenarnya
aku ingin minta maaf kepadamu. Aku telah banyak mengecewakanmu.”
Otakku tiba – tiba
mampat, tak tahu harus menangis atau mengumpat. Dia datang seperti makhluk yang
tidak mempunyai dosa apa – apa. Semua perasaan yang gamang itu kusisipkan jauh
di dalam sana, lalu kemudian membungkusnya dengan senyum yang merekah.
“Aku lelah menyimpan
hubungan ini darimu, dan aku yakin kamu pasti sudah tahu semuanya.”
Lidahku semakin
tercekat, tenggorokanku bergetar namun seperti ada yang menyumbat. Thomas
bercerita semakin dalam, tentang pertemuannya, tentang semua rasa yang dia
miliki untuk gadis itu. Aku tak habis pikir pria macam apa dia yang tega
membiarkan perih menghujam hati ini.
“Aku begitu
mencintainya. Namun begitu berat cobaan kami untuk bersatu. Apakah burung
gereja tidak boleh bertengger di atas kubah masjid?”
“Kau masih berhubungan
dengan gadis itu Thom?”
“Sudah lama tidak,
setelah aku sempat pulang ke Makassar sekitar lima bulan yang lalu. Tapi Bitha,
rasa ini masih membekas.”
“Thom, kau pikir
bagaimana perasaanku saat kamu tiba – tiba menghilang dan tidak pernah
menghubungiku? Lalu kamu tahu rasanya kalau tahu bahwa ternyata kamu bersama
gadis lain?”
Bibir Thomas membeku,
enggan bertutur. Cahaya matanya semakin redup. Entah apa yang sedang bergumul dalam otaknya saat itu.
“Tabitha, aku juga
ingin sekalian berpamitan. Besok lusa aku sudah harus pulang ke Makassar.
Mungkin aku akan menetap di sana lagi.”
Kontan perasaanku jadi
tak karuan. Lantas apa maksudnya dia kembali menemuiku sekarang?
“Kau tak akan pernah
menemuiku lagi setelah pertemuan ini Thom?”
“Aku akan selalu
menghubungimu rutin seperti sedia kala. Atau mungkin aku akan datang menemuimu
dua bulan sekali. Itu pun kalau kamu sudi memulainya lagi.”
“Kau memang laki – laki
yang tak tahu malu Thom. Setelah semua yang kau lakukan kepadaku.”
“Tabitha, aku memohon
maaf untuk semua itu,” Thomas meraih tanganku yang berpangku diatas pahaku.
“Tolong beri aku kesempatan satu kali lagi untuk memulainya.”
Mataku nanar melihat
mimik wajah Thomas yang mengemis dan begitu memelas meminta cintanya kembali.
Dan aku tak mengira akan menjadi sedramatik ini.
***
Hubungan kami kembali
seperti semula. Hubungan yang terjalin dengan perbedaan ruang dan waktu.
Hubungan jarak jauh. Dengan tanpa sepengetahuanku Thomas masih sering
berhubungan dengan gadis itu. Entah bagaimana dia menutupi semuanya itu. Aku
tak pernah menduga dia ingkari dan dustai janji yang dia ucap sendiri.
Ombak, sampan, pasir,
senja, jingga, nila, karang. Semua menjadi saksi yang tak berucap. Hingga aku
pun akhirnya tahu tentang Thomas dan Mariam, yang baru – baru aku ketahui
namanya dari kolom berita di koran. Mereka menghempaskan diri di antara ombak
yang bergulung hingga menelan mereka. Aku tak akan melarang jikalau Thomas
memang terlalu cinta dengan Mariam. Tapi mengapa harus dia selalu berhianat
kepadaku.
Sekarang semua orang
marah padanya. Mungkin Tuhan yang lebih marah. Semua berita yang simpang siur
menjadikan pikirku semakin gamang. Bimbang. Aku ingat, malam itu aku menangis
tak berguna. Entah menangisi apa aku pun tak mengerti. Kemudian lamat – lamat
aku mendengar suara dari balik jendela yang bertirai rapuh. “Tabitha, jangan
menangis.”
Dialah suara dari buah
kekecewaan. Tangis yang menggerus di malam yang bergulita di atas ombak – ombak
yang menari di pelataran rembulan. Dialah suara yang hingga kini mengguntur di
saat hujan menghujam. Tangis yang merepih di sela mega hitam yang menggantung
di hempasan cakrawala. Dialah burung gereja yang selalu bertengger di kubah
masjid.
Semarang, 05 Maret 2013
Selasa, 12 Maret 2013
GADIS BERGAUN SATIN HITAM
Gadis
itu sedang menyisir rambut panjangnya yang tergerai sepinggul, saat aku
melihatnya untuk kedua kalinya. Wajahnya yang pucat menyunggingkan sebuah
senyuman kepadaku. Aku pun membalasnya ramah. Aku memang sering jogging di
senja yang memerah seperti ini di taman yang tidak jauh dari tempat tinggalku. Namun dua hari ini aku
selalu melihat gadis cantik itu. Gadis yang selalu duduk menyendiri di sebuah
bangku taman. Sejenak aku terhenti dari lari – lari kecilku. Inginku sekedar
duduk berkenalan di samping gadis bergaun satin warna hitam itu. Namun ada
sesuatu yang membuatku untuk mengurungkan niat. Sesuatu yang janggal di dalam
sana. Seperti sukma yang sedang menarikku kembali dalam langkah majuku.
Saat
fajar menyingsing, seperti layaknya penghantar siang yang terasing. Fajar
selalu mendingin dengan kilau – kilau embun yang setengah membeku di ujung
dedaunan pohon. Sepagi ini aku harus mengantarkan bunga – bunga potong ke
sebuah gereja mungil di ujung jalan dekat taman. Langit yang setengah gelap, begitu
pula udara yang masih berhembus segar menemaniku dengan celoteh nyanyian burung
– burung yang bertengger di tiap – tiap pohon sepanjang jalan. Aku mengayuh
keras sepedaku. Dengan keranjang yang penuh dengan bunga krisan, anggrek, dan
juga mawar. Sudah menjadi rutinitas yang biasa untuk dikerjakan oleh seorang
floris seperti aku. Ada yang sekedar meremehkan, ada yang mengolok, lebih lagi ada
yang mencibirku. Aku hanya tergelak saat mendengar lamat – lamat suara yang
menghujat tak berarti.
Angin
berhembus sedikit kencang. Dahiku mengernyit, terheran karena tak biasanya
angin bersiul kepagian seperti ini. Mataku memandang sebuah bangku taman, dan
masih dengan gadis aneh itu. Sementara pepohonan di luar taman melambai –
lambai tak beraturan, tidak begitu di dalam taman tersebut. Seperti ada sekat
yang mengitarinya. Daun – daun pohon penghuni taman diam tak bergeming, seakan
membeku dalam fajar yang mengkristal. Bulu kudukku berdiri, membuatku semakin
bergidik.
***
Hari
kelima, pertemuan dengan gadis bergaun satin hitam kelam di taman. Masih dengan
raut yang sama ia menatapku. Tatapan mata yang beku, dingin sedingin bongkahan
es dari kutub utara. Kali ini aku sengaja memberanikan diri untuk mendekati
gadis tersebut. Aku duduk tepat di sebelahnya, hanya selisih satu jengkal. Dia
tak memprotes akan kehadiranku. Mulutnya bungkam, sembari memangku seekor
kucing hitam berekor panjang. Jemarinya yang lentik dengan kuku – kuku yang
runcing terlihat mengusap – usap bulu kucing yang terlihat begitu mengkilap.
“Hai, aku Felix,” aku mencoba membuka pembicaraan dengan memperkenalkan diri,
sembari mengulurkan tangan untuk sekedar berjabat tangan. Namun sia – sialah hal
tersebut. Gadis itu diam bungkam semakin merapatkan bibirnya yang pucat
kebiruan. “Gimana kalau kamu aku panggil Gadis saja?” aku masih tetap berusaha
mengakrabkan diri dan berharap dia mau berbicara. Gadis itu menoleh ke arahku,
masih dengan tatapan yang dingin dan begitu dalam. Kupikir dia akan menjawab
pertanyaanku, atau sekedar berdecak. Aku sudah hilang akal untuk mengajaknya
berbicara. Percuma saja, dia tetap diam.
Langit
yang semula menggoreskan jingga kemerahan dengan semburat warna keemasan,
menggeliat di antara senja yang membubuhkan nila pada lukisan senja itu.
Sebagai pertanda semuanya akan tergusur oleh pekat dan semakin gelap. Sudah
lebih dari tiga jam aku duduk bersandingan dengan Gadis. Aku hanya bisa
memperhatikan geraknya yang lambat dan dingin. “Gadis, kamu suka bunga?”
tanyaku kepada Gadis, walaupun aku tahu semuanya akan sia – sia. “Kalau kamu
suka, besok akan aku bawakan untukmu.” Kemudian aku melangkah pergi menjauhi
Gadis. Pada langkah ketiga yang tak disangka dan tak diduga, suara lirih dari
bibir Gadis yang membeku akhirnya terbisikan di telingaku. “Mawar putih,” Dua
kata yang terucap. Aku menoleh dan melemparkan senyum kepadanya. Gadis pun
mengukir senyumannya di atas bibirnya yang kebiruan.
***
“Lihat
mi, si Felix itu bukan sekedar hilang ingatan. Tapi juga sudah gila.”
Lagi
– lagi cibiran Mbok Sumirah terlontar saat sedang bercakap – cakap dengan Tarmi
pembantu dekat rumahku. Aku tak sengaja mendengar obrolan mereka. Sorot mata
mereka memandangku seakan sedang menghakimi.
Pada
pertemuan keenam, dengan setangkai bunga mawar putih segar di tanganku. Semuanya
terlihat berubah ketika bunga itu sampai pada tangan Gadis yang kurus dan tak
berpori. Bunga itu memucat, sepucat wajah Gadis yang membeku. Tangkainya
menguning, dan daunnya sedikit mengering.
“Bunga
ini mengingatkanku pada bunga pertama yang kau berikan padaku.”
Aku
tercengang mendengar apa yang Gadis katakan padaku.
“Mawar
itu masih kusimpan hingga mengering kelopaknya, duri – duri yang tak lagi
tajam, tangkai yang sedikit rapuh.”
“Tapi
Gadis, bunga itu kan baru pertama kali aku berikan kepadamu.”
Parasnya
yang pucat sedikit merona samar – samar. Mungkin hanya aku yang bisa menangkap
rona merah di pipi Gadis itu. Dengan malu – malu dia menggeleng pelan. Pertanda
aku pernah memberinya bunga sebelum pertemuan – pertemuan beberapa hari yang
lalu. Aku geram, karena tak mampu mengingat beberapa kejadian – kejadian
penting yang sudah lama aku bangun. Hingga kejadian apa yang telah membuatku
kehilangan memori pun aku tak ingat. Aku seperti dilahirkan kembali, dan terus
mengingat – ingat siapa aku sebenarnya.
“Aku
tahu siapa kamu Fel,” Gadis berucap seperti dia mengerti apa yang aku pikirkan.
Aku
memandang nanar kedua buah bola mata Gadis yang begitu indah, namun bercahaya
redup. Cahaya yang seakan menyimpan beribu kisah yang pilu. Kisah yang penuh
kesah berkeluh. Sorot mata yang dalam namun begitu muram. Aku seperti berada
dalam dunia peri dengan gelak tawa anak-anak kecil berwajah pucat, berlari ke
sana-sini. Tiba-tiba aku merasa cemas, bulu kudukku berdiri tajam. Sepertinya
aku sudah merasa tak nyaman untuk berada di taman itu. Aku mulai bangkit dari
tempatku duduk. Memandang sejenak wajah Gadis yang sedang menatap kosong pada
tangkai bunga mawar yang telah benar-benar mengering. “Kamu bisa datang lagi ke
sini kalau kamu mau tahu siapa kamu,” tatapan mata Gadis begitu dalam dan penuh
pengharapan agar aku bisa datang besok saat senja. Aku mengangguk dan
menyunggingkan senyum kepadanya.
***
Ini
adalah pertemuan ketujuh. Pada hari Kamis di kala senja bergerimis. Ataukah
akan sedikit ada tangis yang mengemis? Bayang yang suram semuanya tertangkis
ketika tangan Gadis yang kurus dan dingin menggandengku dengan genggaman yang
erat. Berjalan perlahan menuju sungai kecil yang dalam di belakang gereja
mungil dan tua. Derap langkah Gadis yang perlahan dan kadang terseok
mengantarku ke tepi sungai itu. Ada ribuan kupu-kupu liar yang meliuk-liuk
indah layaknya ballerina dengan kaki-kaki mungilnya meloncat sana-sini. Baru kali
ini aku melihat ada kupu-kupu yang berkoloni sebanyak ini di dekat sungai.
“Itu!”
Gadis menunjuk ke arah semak belukar yang sedikit berduri.
Aku
menghampiri semak itu dengan perlahan, berjaga-jaga kalau saja ada ular atau
hewan berbahaya di balik sana. Tanganku yang tak besar cenderung kurus
menyibakkan semak-semak yang menjuntai tak beraturan. Pupilku tersentak hingga
bulat dan membesar. Kudapati sebuah tumpukan tulang belulang yang kuterka itu
adalah tulang-tulang leher hingga panggul yang berserakan tak karuan. Beberapa
sedikit berlumut.
“Tulang
siapa ini?” tanyaku menjadi ringsut, ketika kulihat mata Gadis yang begitu
bulat dan dingin itu berlinang air mata.
“Di
semak sebelah batu besar yang berlumut itu juga ada.”
Aku
kembali mencari, barangkali ada tulang-tulang tak bernyawa yang singgah di
tempat tak bertuan ini. Kutemukan sebuah
tengkorak yang lapuk, rahangnya pun sudah tak menyatu. Seperti sudah bertahun-tahun
tergeletak tak ada yang peduli.
“Gadis,
sebenarnya apa yang ingin kau tunjukkan kepadaku? Langit sudah gelap, seperti
liang yang menganga di cakrawala. Liang itu seakan mau menelan mentah-mentah
tubuh kita. Aku harus segera pulang.”
“Jangan.
Kau jangan tinggalkan aku sendirian di sini lagi.”
“Apa
maksudmu dengan ‘lagi’?”
“Felix,
memang benar namaku Gadis. Aku mengira kau sudah mengingatku kembali ketika kau
menyebut namaku. Dan aku tersadar kau sudah tak bisa mengingat semuanya lagi.”
Beberapa
orang mengakatakan tentang kejadian yang membuatku hilang ingatan. Semuanya
simpang siur. Ada yang bilang aku dikeroyok gerombolan perampok yang bertubi-tubi
telah mendaratkan benda keras ke kepalaku. Ada yang bilang kepalaku terbentur
batu besar ketika jatuh di dekat sungai.
“Felix,
kamu lah kisah yang mendesah, segala kunci yang tak bertepi. Namun sayang
ingatanmu tak kunjung pulih hingga bertahun-tahun. Aku selalu menunggumu dalam
dekap kabut yang membekukan.”
Mataku
mulai berkaca-kaca, langit yang gelap bergulita kemudian berpendar cahaya
kemuning yang binar. Seperti ribuan bintang, namun semakin mendekat. Ribuan
kunang-kunang terbang berderik di sekeliling kami. Aku benar-benar seperti
berada dalam dunia peri.
“Felix,
aku adalah kekasihmu, yang sudah lama menghilang dari himpit otakmu. Semuanya
terjadi begitu tiba-tiba. Segerombolan perampok mengeroyokku ketika aku sedang
menunggumu di taman. Aku harapkan kau yang datang dengan membawa bunga mawar
putih. Namun hanya ada lelaki-lelaki brangasan dan rakus itu……”
Cerita
demi cerita berucap kata, runtun menjadi sebuah film yang berputar di otakku.
Kejadian demi kejadian samar-samar mulai terlintas dengan tuntas. Beberapa
ingatan mulai pulih. Mulai dari aku terlambat bertemu dengan Gadis, karena ada
masalah dengan mesin motorku. Aku harus berlari-lari penuh peluh yang tak
berhenti mengeluh. Setiba di taman itu aku mendapati Gadis di antara
gerombolan-gerombolan perampok. Gaun Gadis terlihat robek di sana sini. Ada
darah yang mengalir di antara sela pahanya. Dasar laki-laki rakus yang tak
punya otak. Aku berusaha melawan mereka berlima. Laki-laki yang berbadan besar
dan berotot kekar, tak satu pun mereka berbadan ringkih sepertiku. Aku beberapa
kali terhantam oleh pukulan tangan-tangan yang bertulang keras dan daging yang liat.
Seorang dari mereka menghantam kepalaku berkali-kali dengan batang kayu besar. Hingga
akhirnya aku pun tak sadarkan diri. Jangankan mengingat kejadian itu, siapa aku
saja aku tidak tahu.
“Mereka
menikamku dengan pisau lipat tepat di lambungku. Aku merangkak untuk melarikan
diri, namun dua orang dari mereka menyeretku. Mereka membuangku di sungai ini,
memotongku menjadi tiga bagian. Jangankan berteriak, untuk sekedar melenguh
seperti layaknya sapi yang disembelih pun aku tak bisa.”
Bibirku
bergetar, semua sesal tak akan pernah menyembuhkan luka. Seandainya saat itu
aku tak terlambat. Seandainya motorku tak sedang mogok. Aku menghujat diri,
dengan ceracau yang parau. Kupeluk Gadis yang begitu kasat untuk sekedar
disentuh. Lalu kunang-kunang yang berkoloni itu mengajak kami berpijak ke tanah
yang tak pernah aku ketahui. Dimana cahaya terang yang begitu menyilaukan
memandikan tubuhku. Dan aku semakin masuk ke dalam cahaya itu, dengan berjuta -
juta kunang-kunang yang bergemerlap.
Semarang, 02 Maret 2013
MAWAR DAN KUPU - KUPU DI DADA
Pagi
menyambut hari lewat gemulai tari – tarian sinar mentari yang menelanjangi dua pohon
bunga mawar di kebun halaman depan. Kemudian datang sepasang kupu – kupu yang
sedang bercumbu malu – malu hinggap pada tangkai berduri milik pohon mawar. “Bukannya
hinggap di kelopak bunganya, malah datang kepada runcing dan tajamnya duri yang
seperti gigi macan,” gumamku. Aku mencium bau lembab embun yang tak sanggup meredam
hati yang dirundung sendu. Risau yang sedang menggerus hingga dasar kalbu kuibaratkan
seperti lautan yang mengombang – ambingkan diri.
Sewaktu
kecil Ibuku pernah bilang, “Jika kamu membutuhkan satu, ya ambillah satu saja.
Jangan mengambil dua atau tiga bahkan lebih. Bukan baik yang kamu dapat, tapi
akan mencelakakan. Seperti kutukan.” Kata – kata itu benar – benar hidup. Benar
– benar nyata sekarang. Awalnya aku tak mengerti apa yang Ibu maksud. Namun
ketika darah merambah kupu – kupu yang bertengger di kelopak bunga mawar dan
belati di tangan bidadari yang bermandikan darah.
***
Menjadi
suami seorang super model sekaligus bintang film itu memang butuh kesabaran
yang berlapis – lapis hingga menyerupai kue lapis. Bidari adalah layaknya malaikat tanpa sayap yang turun dari surga.
Kecantikannya pun mengalahkan seluruh wanita yang ada di jagat raya ini. Hingga
aku harus menahan rasa cemburu ketika banyak pria yang setiap harinya
mengirimkan rangkaian bunga kepada istriku, karena mengagumi kecantikannya. Hanya
sekedar fans atau apapun itu.
Usia
pernikahan kami yang sudah menginjak sepuluh tahun, namun aku pun belum bisa
menimang seorang anak. Satu pun belum. “Aku belum mau punya anak dulu Mas, mau
fokus dengan karirku dulu.” Itulah jawaban yang sering kali terlontar pada
bibirnya yang tipis memerah. Kadang aku geram dengannya, namun hanya bisa
menahannya di ubun – ubun. Atau mungkin
melampiaskan dengan bergelas – gelas beer dan mencari sedikit kesenangan.
Pada
gelas beer yang keberapa entah sudah tak terhitung, aku berkeluh kesah di
antaranya. Club yang riuh dalam hingar
yang semakin bingar tak mampu menutupi kesendirianku. Dan sekali lagi entah
sudah batang rokok yang keberapa aku nyalakan dengan pematikku yang berwarna
emas dan berukirkan seekor naga langit. Mungkin aku sendiri tak bisa
membayangkan betapa lusuhnya rautku saat ini. Kemeja yang tak lagi licin,
kancing yang terbuka hingga dada, dasi yang melingkar di leherku pun sudah
melonggar.
Dalam
degub musik yang berdentum, bermandikan kerlap – kerlip lampu warna – warni,
aku terbawa lamunan. Wanita dengan paras yang cantik namun hanya sekedar cantik
menepuk bahuku dan membuat lamunanku buyar. “Maaf, boleh minta apinya?” Sambil
menjulurkan sebatang rokok yang sedang terhimpit bibir merah ranumnya. Aku
segera menyalakan pematikku dan membakar ujung rokok wanita cantik itu.
Wanita
itu mengulurkan tangannya kepadaku, “makasih. Panggil saya Sekar.”
“Robert,”
aku pun menyambut tangannya yang halus.
“Malam
minggu kok sendirian sih Mas?”
“Jangan
panggil Mas, panggil Robert saja. Iya setiap malam juga nggak ada yang
nemenin.”
“Okay Robert. Lho? Istri kamu? Atau masih
single ya? Heheheh”
“Istriku
sibuk, lebih sibuk dari seorang direktur sepertiku malah. Dia lagi pergi ke
Jerman untuk take adegan di sebuah
film.”
“Oh,
artis. Pasti cantik ya.”
Aku
hanya tersenyum mendengar kata – katanya yang lugas.
“Eh
Robert, aku dan kawan – kawan mau pindah ke apartemenku. Kamu mau gabung?”
“Sorry, aku lagi pengen sendiri. Mungkin
lain kali.” sambil tersenyum aku menolak halus ajakan Sekar.
“Oh,
okay. Nggak masalah, kalau memang
lagi suntuk atau butuh teman boleh kok main – main ke tempatku,” sambil
bergegas Sekar meninggalkan selembar kartu nama di atas meja.
Lagi
– lagi hanya segores senyum tersungging di atas bibirku. Kemudian Sekar berlalu
dengan teman – temannya menuju pintu keluar, dan tinggallah aku di sini sendiri
lagi. Semuanya seperti kembali membeku, hingar bingar yang seakan tiba – tiba
diam.
***
Langit
siang ini seakan berkelambu berwarna abu – abu. Mentari yang tadinya menantang
dengan panas tubuhnya tiba – tiba terhalang abu – abu dan kemudian redup. Di
tengah saat aku menyantap makan siangku di sebuah restoran, ponselku berdering.
“Halo
mas,” suara lembut Bidari terdengar meneduhkan.
“Iya,
halo sayang. Gimana shooting
filmnya?”
“Masih
panjang Mas, dan melelahkan. Oh ya Mas, aku mau bilang kalau pulangku diundur.
Jadi bulan depan aku baru bisa pulang.”
“Ya
sudah, selesaikan dulu pekerjaanmu, dan cepat segera pulang. Uruslah suamimu
ini yang sudah kangen banget.”
“hahaha
Iya Mas. Nanti aku telepon lagi ya Mas.”
“Okay sayang. Take care.”
Tiba
– tiba aku sudah merasa kenyang, tanpa memberi kesempatan hidangan yang masih
tersisa di piring untuk masuk ke dalam perutku. Segera aku panggil pelayan
untuk meminta bill. Saat membuka
dompet dan mengambil kartu kredit, aku mendapati kartu nama Sekar. Aku jadi
ingat dengan wanita yang sekedar cantik namun begitu ramah dan hangat.
Jejeran
angka yang berbaris di kartu nama Sekar terus ku pandangi. Aku teringat kata –
katanya. “….kalau memang lagi suntuk atau butuh teman boleh kok main – main ke
tempatku.” Aku hanya ingin sekedar ngobrol, atau butuh tempat untuk membuang
unek – unek. Ku raih smartphone – ku,
kemudian sedikit berbicara kepada Sekar. Setelah aku membereskan beberapa
pekerjaan yang masih menumpuk di meja kerja, aku bermaksud untuk sekedar
berkunjung ke apartemen Sekar. Kebetulan tidak jauh dari kantorku.
Sekar.
Nama yang indah, begitu pula dengan tutur katanya yang begitu halus dan beretika.
Siapa sangka, wanita yang gemar mengenakan busana yang terbuka hingga aku pun
bisa melihat sebuah tattoo kupu – kupu yang sedang hinggap di atas bunga mawar
tepat di tengah belahan buah dadanya yang sintal, adalah wanita yang begitu
ramah dan santun dalam bertutur kata. Usianya selisih sepuluh tahun lebih muda
dari usiaku, namun pemikirannya tampak lebih matang dibandingkan denganku.
Hingga tengah malam aku menghabiskan waktu untuk sekedar ngobrol dan bertukar
pikiran. Usianya baru seperempat abad, tapi wawasannya sangat luas, dan begitu
bijak sekali ketika mengambil sebuah keputusan. Hanya dengan waktu yang singkat
dia mampu mencairkan suasana beku yang ada di sekitar kami. Dia seperti obat
migraine yang langsung bisa meredakan sakit kepala sebelahku. Tawanya begitu renyah
terdengar ketika aku mengatakan hal itu kepadanya.
Sudah
hampir tiga minggu aku dan sekar berhubungan dekat, bertukar pikiran dan
berbincang sana – sini. Tapi entah kenapa akhir – akhir ini aku lebih sering
sekali berkunjung ke apartemen Sekar. Yang tadinya canggung dan kaku untuk
sekedar duduk berdekatan dengannya, dan sekarang aku tak sungkan – sungkan
untuk mengecup kening dan pipinya. Aku merasa nyaman berada dekat dengan Sekar,
seperti mencairkan cinta yang telah lama membeku. Hubungan kami terus terbentuk
lebih dari sekedar teman dekat. Aku tidak pernah berbohong kepada Sekar kalau
aku sudah beristri, dia pun sudah mengetahuinya sejak awal bertemu bukan? Namun
tidak dengan istriku, aku menyembunyikan hubunganku dengan Sekar dari Bidari.
Setelah
dua bulan penuh dia menghabiskan waktunya untuk shooting film, dia pun mengambil waktu dua minggu untuk libur
sejenak. Tapi tetap saja dia tak bisa diam berada di dekapanku. Selalu ada saja
kegiatan yang dia lakukan. Aku sudah pernah bilang kepadanya kalau sedikit
mengurangi kegiatannya di dunia hiburan, namun dia tetap bersikeras untuk
mengejar karirnya. Aku tak bisa apa – apa, hanya bisa diam. Aku sebenarnya tahu
kenapa dia menunda – nunda untuk punya anak, karena tidak mau kalau tubuhnya
yang langsing itu membengkak nantinya setelah melahirkan. Aku hampir tak
mengenali bidadariku. Sikapku terhadapnya pun semakin jauh dari hangat. Aku
lebih suka bermalam di apartemen Sekar dengan alasan pergi keluar kota untuk
menemui rekan bisnis. Aku merasa jengah dengan sikap istriku sendiri yang tak
mau dibimbing. Aku yang sudah berubah atau Bidari yang telah menjauhkan diriku
dari cinta?
Aku
sangat kepayahan, ketika Sekar meneleponku dan memberi kabar kalau dia hamil.
Aku sangat gembira, tapi disisi lain aku juga merasa menjadi bodoh, karena
Bidari tak mungkin mengijinkanku untuk memperistri Sekar. Dan Sekar pun pasti tak
mau kalau aku menikahinya tanpa menceraikan Bidari terlebih dahulu. Otakku seperti mau muntah, tulang – tulangku
serasa mau patah karena terlalu banyak masalah.
Seharian
aku tidak ke kantor, pulang ke rumah pun tidak, bertandang ke apartemen sekar
juga tidak. Dari pagi hingga malam aku hanya diam tak bergeming dalam kamar
hotel. Sendirian. Aku hanya ingin mencari titik terang dari masalahku. Aku tahu
apa yang telah aku lakukan, aku hanya tidak siap dengan konsekuensi yang akan
terjadi pada sebuah keputusan yang aku pilih. Aku takut membahayakan Sekar, dan
aku pun tahu kalau aku telah menyakiti Bidari. Apapun pilihanku tetap mengandung
resiko.
Keesokan
paginya aku memutuskan untuk berbicara kepada Bidari. Aku memintanya untuk
bercerai, dengan alasan aku sudah merasa tidak ada kecocokan dengannya. Sebenarnya
tanpa Bidari berkata pun aku sudah tahu apa jawabannya. Pastilah dia mengatakan,
“Tidak.” Aku tetap bersikeras untuk memintanya bercerai. Namun dengan keras
kepala Bidari ingin tetap bertahan, hingga aku memutuskan untuk keluar dari
rumah. Hatiku begitu pilu seperti teriris - iris, ketika melihat Bidari
menumpahkan seluruh air matanya yang selama ini tak pernah aku lihat dalam
paras cantiknya. Kedua tangannya mencengkeram kuat kaki kananku saat aku hendak
menginjakkan kaki ke luar. Kalbuku pun sedang menangis darah pada saat itu.
***
Setelah
aku meninggalkan rumah, aku hidup dengan Sekar tanpa menceraikan Bidari. Tapi
hidupku serasa tidak tenang, seperti ada sebuah bayangan yang selalu mengikuti
setiap langkahku. Entah bagaimana bisa aku hidup dengan keadaan seperti ini.
Hidup dengan bayang – bayang hitam yang selalu merundung dalam kegelisahan.
Bidari masih saja mencoba untuk menghubungiku, tapi aku selalu mengabaikan.
Berita seputar keretakan rumah tangga kami pun sudah tercium oleh publik.
Paparazi pun senantiasa berkeliaran. Hingga aku mendapati fotoku yang sedang
bergandengan dengan sekar di sebuah pusat perbelanjaan, beredar di tabloid
gossip.
Pada senja yang memerah aku berkeluh kesah.
Merah berarti marah, ataukah memang sedang berdarah. Kurogoh saku celanaku,
mengambil smartphone ku yang dari tadi berbunyi terus – menerus. Aku tahu itu
Bidari. Ada tujuh panggilan tidak terjawab, dan semuanya dari Bidari. Tak
berapa lama setelah aku membuka layar smartphone
– ku, nada pendek pun berbunyi. SMS dari Bidari.
“Mas,
aku sudah tahu alasanmu untuk menceraikanku. Kumohon kau bisa ke rumah malam ini.
Aku ingin membicarakannya baik – baik. Kau ajak juga wanita itu, nanti kita
bisa buat kesepakatan.”
Aku
tak langsung membalasnya. Aku berunding dengan sekar, dan dia pun menyetujui
untuk datang menemui Bidari. Risauku semakin memburu. Seharusnya aku merasa
senang karena Bidari sudah bisa menerima keadaan ini. Senja yang semakin
menyalak akankah menjadi sebuah isyarat? Ataukah hanya lukisan Ilahi yang tak
pernah lelah menghiasi langit jingga kemerahan itu. Desau risau terdengar parau
di telinga batinku. Entah dan entah…..
Malam
itu juga aku mengajak Sekar untuk bertemu Bidari di rumah tempat aku tinggal
bersama Bidari dulu. Kupikir segera sajalah masalah ini terselesaikan. Awalnya Bidari
menyambut kami dengan ramah. Wajah cantiknya pun masih tetap berbinar seperti
dulu. Tapi, aku masih bisa melihat sorot matanya memendam kebencian terhadap
Sekar. Seperti dua buah mata burung gagak yang sedang memendam kesumat.
Sepasang mata yang semakin menghujam ke arah Sekar. Di tengah perbincangan
dalam ruang yang sengap dan penuh kedengkian, tiba – tiba Bidari menghujamkan
pisau belati yang tersembunyi di dalam lengan baju panjangnya ke dada Sekar.
Kejadian itu begitu cepat, sehingga aku hanya bisa mengumpat. Belati itu
menancap begitu dalam tepat di dada Sekar, merobek tattoo kupu-kupu yang
hinggap di bunga mawar. Aku memeluk Sekar yang bersimbah darah.
Mataku
sudah gelap, seperti terselubung kabut hitam yang pekat. Kemudian aku menyambar
sebuah gunting yang tergeletak di atas meja. Suara lengkingan tawa Bidari
membuat hatiku semakin geram, semakin membabi – buta. Hingga akhirnya gunting
itu pun melesat cepat ke arah perut Bidari. Mata yang indah, mata milik
bidadari yang tak bersayap membelalak kosong pandangnya. Bukan… bukan….. Dia bukan
bidadari tanpa sayap, dia adalah bidadari yang bersayapkan belati. Bibirku
beku, putih memucat, sampai – sampai tak mampu mengumpat. Dua wanita yang aku
cintai tergelepar tak berdaya seperti rusa – rusa hasil buruan yang siap
disembelih. Lantai marmer yang dingin menjadi semakin beku. Semakin memerah
dalam genangan darah
Pada
malam itu, pembantu dan supirku seperti sedang tertidur puas lelas. Tak ada
satu pun yang menghampiri aku dan mayat – mayat wanita yang kucintai. Aku
menggali dan menggali di tangah malam yang suram. Dua buah liang besar yang
dalam menganga di halaman depan. Aku sudah seperti mayat – mayat itu, memucat
dan menggigil. Kemudian aku sendiri yang membersihkan darah – darah yang hampir
mengering hingga bersih seperti semula. Merapikan semuanya seakan tidak ada
perabotan yang bergeser. Aku kembali ke luar, memastikan semuanya bersih dan
aman. Aku terduduk dalam dingin malam yang membeku di teras depan, menjaga
keduanya hingga aku pun tertidur dalam gelisah.
Malam
begitu cepat berganti dengan pagi. Pembantuku mulai curiga dengan bekas galian
tanah di halaman depan. Aku mengatakan padanya ingin menanam dua buah tanaman
di sana. Kemudian aku menanam bibit bunga mawar merah pada tanah bekas galian
tadi malam. Seiring dengan berjalannya waktu, bunga tersebut tumbuh lebat di
halaman depan rumahku. Setiap hari aku hanya bisa diam memandangi bunga – bunga
mawar tersebut dan kupu – kupu yang hinggap di atas bunga mawar itu.
Mereka
menyangka aku gila. Mereka menyangka aku sudah tidak waras. Mereka menyangka
syaraf otakku terjepit, atau putus. Mereka mereka – reka sebab hilangnya Bidari
dan juga Sekar yang begitu mendadak. Mereka menyangka aku gila. Aku hanya
tertawa. Aku hanya pura – pura gila.
Semarang,
26 Februari 2013
Langganan:
Postingan (Atom)