Pagi
menyambut hari lewat gemulai tari – tarian sinar mentari yang menelanjangi dua pohon
bunga mawar di kebun halaman depan. Kemudian datang sepasang kupu – kupu yang
sedang bercumbu malu – malu hinggap pada tangkai berduri milik pohon mawar. “Bukannya
hinggap di kelopak bunganya, malah datang kepada runcing dan tajamnya duri yang
seperti gigi macan,” gumamku. Aku mencium bau lembab embun yang tak sanggup meredam
hati yang dirundung sendu. Risau yang sedang menggerus hingga dasar kalbu kuibaratkan
seperti lautan yang mengombang – ambingkan diri.
Sewaktu
kecil Ibuku pernah bilang, “Jika kamu membutuhkan satu, ya ambillah satu saja.
Jangan mengambil dua atau tiga bahkan lebih. Bukan baik yang kamu dapat, tapi
akan mencelakakan. Seperti kutukan.” Kata – kata itu benar – benar hidup. Benar
– benar nyata sekarang. Awalnya aku tak mengerti apa yang Ibu maksud. Namun
ketika darah merambah kupu – kupu yang bertengger di kelopak bunga mawar dan
belati di tangan bidadari yang bermandikan darah.
***
Menjadi
suami seorang super model sekaligus bintang film itu memang butuh kesabaran
yang berlapis – lapis hingga menyerupai kue lapis. Bidari adalah layaknya malaikat tanpa sayap yang turun dari surga.
Kecantikannya pun mengalahkan seluruh wanita yang ada di jagat raya ini. Hingga
aku harus menahan rasa cemburu ketika banyak pria yang setiap harinya
mengirimkan rangkaian bunga kepada istriku, karena mengagumi kecantikannya. Hanya
sekedar fans atau apapun itu.
Usia
pernikahan kami yang sudah menginjak sepuluh tahun, namun aku pun belum bisa
menimang seorang anak. Satu pun belum. “Aku belum mau punya anak dulu Mas, mau
fokus dengan karirku dulu.” Itulah jawaban yang sering kali terlontar pada
bibirnya yang tipis memerah. Kadang aku geram dengannya, namun hanya bisa
menahannya di ubun – ubun. Atau mungkin
melampiaskan dengan bergelas – gelas beer dan mencari sedikit kesenangan.
Pada
gelas beer yang keberapa entah sudah tak terhitung, aku berkeluh kesah di
antaranya. Club yang riuh dalam hingar
yang semakin bingar tak mampu menutupi kesendirianku. Dan sekali lagi entah
sudah batang rokok yang keberapa aku nyalakan dengan pematikku yang berwarna
emas dan berukirkan seekor naga langit. Mungkin aku sendiri tak bisa
membayangkan betapa lusuhnya rautku saat ini. Kemeja yang tak lagi licin,
kancing yang terbuka hingga dada, dasi yang melingkar di leherku pun sudah
melonggar.
Dalam
degub musik yang berdentum, bermandikan kerlap – kerlip lampu warna – warni,
aku terbawa lamunan. Wanita dengan paras yang cantik namun hanya sekedar cantik
menepuk bahuku dan membuat lamunanku buyar. “Maaf, boleh minta apinya?” Sambil
menjulurkan sebatang rokok yang sedang terhimpit bibir merah ranumnya. Aku
segera menyalakan pematikku dan membakar ujung rokok wanita cantik itu.
Wanita
itu mengulurkan tangannya kepadaku, “makasih. Panggil saya Sekar.”
“Robert,”
aku pun menyambut tangannya yang halus.
“Malam
minggu kok sendirian sih Mas?”
“Jangan
panggil Mas, panggil Robert saja. Iya setiap malam juga nggak ada yang
nemenin.”
“Okay Robert. Lho? Istri kamu? Atau masih
single ya? Heheheh”
“Istriku
sibuk, lebih sibuk dari seorang direktur sepertiku malah. Dia lagi pergi ke
Jerman untuk take adegan di sebuah
film.”
“Oh,
artis. Pasti cantik ya.”
Aku
hanya tersenyum mendengar kata – katanya yang lugas.
“Eh
Robert, aku dan kawan – kawan mau pindah ke apartemenku. Kamu mau gabung?”
“Sorry, aku lagi pengen sendiri. Mungkin
lain kali.” sambil tersenyum aku menolak halus ajakan Sekar.
“Oh,
okay. Nggak masalah, kalau memang
lagi suntuk atau butuh teman boleh kok main – main ke tempatku,” sambil
bergegas Sekar meninggalkan selembar kartu nama di atas meja.
Lagi
– lagi hanya segores senyum tersungging di atas bibirku. Kemudian Sekar berlalu
dengan teman – temannya menuju pintu keluar, dan tinggallah aku di sini sendiri
lagi. Semuanya seperti kembali membeku, hingar bingar yang seakan tiba – tiba
diam.
***
Langit
siang ini seakan berkelambu berwarna abu – abu. Mentari yang tadinya menantang
dengan panas tubuhnya tiba – tiba terhalang abu – abu dan kemudian redup. Di
tengah saat aku menyantap makan siangku di sebuah restoran, ponselku berdering.
“Halo
mas,” suara lembut Bidari terdengar meneduhkan.
“Iya,
halo sayang. Gimana shooting
filmnya?”
“Masih
panjang Mas, dan melelahkan. Oh ya Mas, aku mau bilang kalau pulangku diundur.
Jadi bulan depan aku baru bisa pulang.”
“Ya
sudah, selesaikan dulu pekerjaanmu, dan cepat segera pulang. Uruslah suamimu
ini yang sudah kangen banget.”
“hahaha
Iya Mas. Nanti aku telepon lagi ya Mas.”
“Okay sayang. Take care.”
Tiba
– tiba aku sudah merasa kenyang, tanpa memberi kesempatan hidangan yang masih
tersisa di piring untuk masuk ke dalam perutku. Segera aku panggil pelayan
untuk meminta bill. Saat membuka
dompet dan mengambil kartu kredit, aku mendapati kartu nama Sekar. Aku jadi
ingat dengan wanita yang sekedar cantik namun begitu ramah dan hangat.
Jejeran
angka yang berbaris di kartu nama Sekar terus ku pandangi. Aku teringat kata –
katanya. “….kalau memang lagi suntuk atau butuh teman boleh kok main – main ke
tempatku.” Aku hanya ingin sekedar ngobrol, atau butuh tempat untuk membuang
unek – unek. Ku raih smartphone – ku,
kemudian sedikit berbicara kepada Sekar. Setelah aku membereskan beberapa
pekerjaan yang masih menumpuk di meja kerja, aku bermaksud untuk sekedar
berkunjung ke apartemen Sekar. Kebetulan tidak jauh dari kantorku.
Sekar.
Nama yang indah, begitu pula dengan tutur katanya yang begitu halus dan beretika.
Siapa sangka, wanita yang gemar mengenakan busana yang terbuka hingga aku pun
bisa melihat sebuah tattoo kupu – kupu yang sedang hinggap di atas bunga mawar
tepat di tengah belahan buah dadanya yang sintal, adalah wanita yang begitu
ramah dan santun dalam bertutur kata. Usianya selisih sepuluh tahun lebih muda
dari usiaku, namun pemikirannya tampak lebih matang dibandingkan denganku.
Hingga tengah malam aku menghabiskan waktu untuk sekedar ngobrol dan bertukar
pikiran. Usianya baru seperempat abad, tapi wawasannya sangat luas, dan begitu
bijak sekali ketika mengambil sebuah keputusan. Hanya dengan waktu yang singkat
dia mampu mencairkan suasana beku yang ada di sekitar kami. Dia seperti obat
migraine yang langsung bisa meredakan sakit kepala sebelahku. Tawanya begitu renyah
terdengar ketika aku mengatakan hal itu kepadanya.
Sudah
hampir tiga minggu aku dan sekar berhubungan dekat, bertukar pikiran dan
berbincang sana – sini. Tapi entah kenapa akhir – akhir ini aku lebih sering
sekali berkunjung ke apartemen Sekar. Yang tadinya canggung dan kaku untuk
sekedar duduk berdekatan dengannya, dan sekarang aku tak sungkan – sungkan
untuk mengecup kening dan pipinya. Aku merasa nyaman berada dekat dengan Sekar,
seperti mencairkan cinta yang telah lama membeku. Hubungan kami terus terbentuk
lebih dari sekedar teman dekat. Aku tidak pernah berbohong kepada Sekar kalau
aku sudah beristri, dia pun sudah mengetahuinya sejak awal bertemu bukan? Namun
tidak dengan istriku, aku menyembunyikan hubunganku dengan Sekar dari Bidari.
Setelah
dua bulan penuh dia menghabiskan waktunya untuk shooting film, dia pun mengambil waktu dua minggu untuk libur
sejenak. Tapi tetap saja dia tak bisa diam berada di dekapanku. Selalu ada saja
kegiatan yang dia lakukan. Aku sudah pernah bilang kepadanya kalau sedikit
mengurangi kegiatannya di dunia hiburan, namun dia tetap bersikeras untuk
mengejar karirnya. Aku tak bisa apa – apa, hanya bisa diam. Aku sebenarnya tahu
kenapa dia menunda – nunda untuk punya anak, karena tidak mau kalau tubuhnya
yang langsing itu membengkak nantinya setelah melahirkan. Aku hampir tak
mengenali bidadariku. Sikapku terhadapnya pun semakin jauh dari hangat. Aku
lebih suka bermalam di apartemen Sekar dengan alasan pergi keluar kota untuk
menemui rekan bisnis. Aku merasa jengah dengan sikap istriku sendiri yang tak
mau dibimbing. Aku yang sudah berubah atau Bidari yang telah menjauhkan diriku
dari cinta?
Aku
sangat kepayahan, ketika Sekar meneleponku dan memberi kabar kalau dia hamil.
Aku sangat gembira, tapi disisi lain aku juga merasa menjadi bodoh, karena
Bidari tak mungkin mengijinkanku untuk memperistri Sekar. Dan Sekar pun pasti tak
mau kalau aku menikahinya tanpa menceraikan Bidari terlebih dahulu. Otakku seperti mau muntah, tulang – tulangku
serasa mau patah karena terlalu banyak masalah.
Seharian
aku tidak ke kantor, pulang ke rumah pun tidak, bertandang ke apartemen sekar
juga tidak. Dari pagi hingga malam aku hanya diam tak bergeming dalam kamar
hotel. Sendirian. Aku hanya ingin mencari titik terang dari masalahku. Aku tahu
apa yang telah aku lakukan, aku hanya tidak siap dengan konsekuensi yang akan
terjadi pada sebuah keputusan yang aku pilih. Aku takut membahayakan Sekar, dan
aku pun tahu kalau aku telah menyakiti Bidari. Apapun pilihanku tetap mengandung
resiko.
Keesokan
paginya aku memutuskan untuk berbicara kepada Bidari. Aku memintanya untuk
bercerai, dengan alasan aku sudah merasa tidak ada kecocokan dengannya. Sebenarnya
tanpa Bidari berkata pun aku sudah tahu apa jawabannya. Pastilah dia mengatakan,
“Tidak.” Aku tetap bersikeras untuk memintanya bercerai. Namun dengan keras
kepala Bidari ingin tetap bertahan, hingga aku memutuskan untuk keluar dari
rumah. Hatiku begitu pilu seperti teriris - iris, ketika melihat Bidari
menumpahkan seluruh air matanya yang selama ini tak pernah aku lihat dalam
paras cantiknya. Kedua tangannya mencengkeram kuat kaki kananku saat aku hendak
menginjakkan kaki ke luar. Kalbuku pun sedang menangis darah pada saat itu.
***
Setelah
aku meninggalkan rumah, aku hidup dengan Sekar tanpa menceraikan Bidari. Tapi
hidupku serasa tidak tenang, seperti ada sebuah bayangan yang selalu mengikuti
setiap langkahku. Entah bagaimana bisa aku hidup dengan keadaan seperti ini.
Hidup dengan bayang – bayang hitam yang selalu merundung dalam kegelisahan.
Bidari masih saja mencoba untuk menghubungiku, tapi aku selalu mengabaikan.
Berita seputar keretakan rumah tangga kami pun sudah tercium oleh publik.
Paparazi pun senantiasa berkeliaran. Hingga aku mendapati fotoku yang sedang
bergandengan dengan sekar di sebuah pusat perbelanjaan, beredar di tabloid
gossip.
Pada senja yang memerah aku berkeluh kesah.
Merah berarti marah, ataukah memang sedang berdarah. Kurogoh saku celanaku,
mengambil smartphone ku yang dari tadi berbunyi terus – menerus. Aku tahu itu
Bidari. Ada tujuh panggilan tidak terjawab, dan semuanya dari Bidari. Tak
berapa lama setelah aku membuka layar smartphone
– ku, nada pendek pun berbunyi. SMS dari Bidari.
“Mas,
aku sudah tahu alasanmu untuk menceraikanku. Kumohon kau bisa ke rumah malam ini.
Aku ingin membicarakannya baik – baik. Kau ajak juga wanita itu, nanti kita
bisa buat kesepakatan.”
Aku
tak langsung membalasnya. Aku berunding dengan sekar, dan dia pun menyetujui
untuk datang menemui Bidari. Risauku semakin memburu. Seharusnya aku merasa
senang karena Bidari sudah bisa menerima keadaan ini. Senja yang semakin
menyalak akankah menjadi sebuah isyarat? Ataukah hanya lukisan Ilahi yang tak
pernah lelah menghiasi langit jingga kemerahan itu. Desau risau terdengar parau
di telinga batinku. Entah dan entah…..
Malam
itu juga aku mengajak Sekar untuk bertemu Bidari di rumah tempat aku tinggal
bersama Bidari dulu. Kupikir segera sajalah masalah ini terselesaikan. Awalnya Bidari
menyambut kami dengan ramah. Wajah cantiknya pun masih tetap berbinar seperti
dulu. Tapi, aku masih bisa melihat sorot matanya memendam kebencian terhadap
Sekar. Seperti dua buah mata burung gagak yang sedang memendam kesumat.
Sepasang mata yang semakin menghujam ke arah Sekar. Di tengah perbincangan
dalam ruang yang sengap dan penuh kedengkian, tiba – tiba Bidari menghujamkan
pisau belati yang tersembunyi di dalam lengan baju panjangnya ke dada Sekar.
Kejadian itu begitu cepat, sehingga aku hanya bisa mengumpat. Belati itu
menancap begitu dalam tepat di dada Sekar, merobek tattoo kupu-kupu yang
hinggap di bunga mawar. Aku memeluk Sekar yang bersimbah darah.
Mataku
sudah gelap, seperti terselubung kabut hitam yang pekat. Kemudian aku menyambar
sebuah gunting yang tergeletak di atas meja. Suara lengkingan tawa Bidari
membuat hatiku semakin geram, semakin membabi – buta. Hingga akhirnya gunting
itu pun melesat cepat ke arah perut Bidari. Mata yang indah, mata milik
bidadari yang tak bersayap membelalak kosong pandangnya. Bukan… bukan….. Dia bukan
bidadari tanpa sayap, dia adalah bidadari yang bersayapkan belati. Bibirku
beku, putih memucat, sampai – sampai tak mampu mengumpat. Dua wanita yang aku
cintai tergelepar tak berdaya seperti rusa – rusa hasil buruan yang siap
disembelih. Lantai marmer yang dingin menjadi semakin beku. Semakin memerah
dalam genangan darah
Pada
malam itu, pembantu dan supirku seperti sedang tertidur puas lelas. Tak ada
satu pun yang menghampiri aku dan mayat – mayat wanita yang kucintai. Aku
menggali dan menggali di tangah malam yang suram. Dua buah liang besar yang
dalam menganga di halaman depan. Aku sudah seperti mayat – mayat itu, memucat
dan menggigil. Kemudian aku sendiri yang membersihkan darah – darah yang hampir
mengering hingga bersih seperti semula. Merapikan semuanya seakan tidak ada
perabotan yang bergeser. Aku kembali ke luar, memastikan semuanya bersih dan
aman. Aku terduduk dalam dingin malam yang membeku di teras depan, menjaga
keduanya hingga aku pun tertidur dalam gelisah.
Malam
begitu cepat berganti dengan pagi. Pembantuku mulai curiga dengan bekas galian
tanah di halaman depan. Aku mengatakan padanya ingin menanam dua buah tanaman
di sana. Kemudian aku menanam bibit bunga mawar merah pada tanah bekas galian
tadi malam. Seiring dengan berjalannya waktu, bunga tersebut tumbuh lebat di
halaman depan rumahku. Setiap hari aku hanya bisa diam memandangi bunga – bunga
mawar tersebut dan kupu – kupu yang hinggap di atas bunga mawar itu.
Mereka
menyangka aku gila. Mereka menyangka aku sudah tidak waras. Mereka menyangka
syaraf otakku terjepit, atau putus. Mereka mereka – reka sebab hilangnya Bidari
dan juga Sekar yang begitu mendadak. Mereka menyangka aku gila. Aku hanya
tertawa. Aku hanya pura – pura gila.
Semarang,
26 Februari 2013
Nama saya Dewi Rumapea, saya dari Indonesia, saya dengan cepat ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan seluruh Indonesia yang mencari pinjaman di internet sangat berhati-hati untuk tidak jatuh di tangan scammers dan fraudstars, ada banyak kredit palsu lender di sini di internet dan beberapa dari mereka adalah asli, saya pernah tertipu dan ditipu di sini online sebelum seorang teman yang mendapat pinjaman baru menghubungkan saya dengan seorang wanita bernama Ibu Glory yang merupakan CEO dari Glory Badan Kredit. Jadi saya diterapkan untuk jumlah pinjaman 500 juta dengan tingkat bunga rendah dari 2%, tidak ada jaminan, karena saya mengatakan kepadanya apa yang saya ingin menggunakan uang itu untuk membangun bisnis dan pinjaman saya disetujui dengan mudah tanpa stres dan semua persiapan yang dilakukan pada transfer kredit dan dalam waktu kurang dari 24 jam setelah pendaftaran pinjaman, itu mimpi datang melalui, jumlah pinjaman saya 500 juta dikreditkan di rekening bank saya hanya dalam selang waktu dua jam. Jadi saya ingin saran mereka sedang mencari untuk pinjaman di sini secara online harus berlaku untuk perusahaan asli, cepat hubungi sekarang email: di gloryloanfirm@mail.com. dia tidak tahu bahwa aku melakukan ini. Saya berdoa agar Tuhan memberkati dia untuk hal-hal baik yang telah dilakukan dalam hidup saya. Anda juga dapat menghubungi saya di dewiputeri9@gmail.com untuk info lebih lanjut.
BalasHapus