Selasa, 12 Maret 2013

MAWAR DAN KUPU - KUPU DI DADA



Pagi menyambut hari lewat gemulai tari – tarian sinar mentari yang menelanjangi dua pohon bunga mawar di kebun halaman depan. Kemudian datang sepasang kupu – kupu yang sedang bercumbu malu – malu hinggap pada tangkai berduri milik pohon mawar. “Bukannya hinggap di kelopak bunganya, malah datang kepada runcing dan tajamnya duri yang seperti gigi macan,” gumamku. Aku mencium bau lembab embun yang tak sanggup meredam hati yang dirundung sendu. Risau yang sedang menggerus hingga dasar kalbu kuibaratkan seperti lautan yang mengombang – ambingkan diri.
Sewaktu kecil Ibuku pernah bilang, “Jika kamu membutuhkan satu, ya ambillah satu saja. Jangan mengambil dua atau tiga bahkan lebih. Bukan baik yang kamu dapat, tapi akan mencelakakan. Seperti kutukan.” Kata – kata itu benar – benar hidup. Benar – benar nyata sekarang. Awalnya aku tak mengerti apa yang Ibu maksud. Namun ketika darah merambah kupu – kupu yang bertengger di kelopak bunga mawar dan belati di tangan bidadari yang bermandikan darah. 
***
Menjadi suami seorang super model sekaligus bintang film itu memang butuh kesabaran yang berlapis – lapis hingga menyerupai kue lapis. Bidari adalah layaknya  malaikat tanpa sayap yang turun dari surga. Kecantikannya pun mengalahkan seluruh wanita yang ada di jagat raya ini. Hingga aku harus menahan rasa cemburu ketika banyak pria yang setiap harinya mengirimkan rangkaian bunga kepada istriku, karena mengagumi kecantikannya. Hanya sekedar fans atau apapun itu.
Usia pernikahan kami yang sudah menginjak sepuluh tahun, namun aku pun belum bisa menimang seorang anak. Satu pun belum. “Aku belum mau punya anak dulu Mas, mau fokus dengan karirku dulu.” Itulah jawaban yang sering kali terlontar pada bibirnya yang tipis memerah. Kadang aku geram dengannya, namun hanya bisa menahannya di ubun – ubun.  Atau mungkin melampiaskan dengan bergelas – gelas beer dan mencari sedikit kesenangan.
Pada gelas beer yang keberapa entah sudah tak terhitung, aku berkeluh kesah di antaranya. Club  yang riuh dalam hingar yang semakin bingar tak mampu menutupi kesendirianku. Dan sekali lagi entah sudah batang rokok yang keberapa aku nyalakan dengan pematikku yang berwarna emas dan berukirkan seekor naga langit. Mungkin aku sendiri tak bisa membayangkan betapa lusuhnya rautku saat ini. Kemeja yang tak lagi licin, kancing yang terbuka hingga dada, dasi yang melingkar di leherku pun sudah melonggar.
Dalam degub musik yang berdentum, bermandikan kerlap – kerlip lampu warna – warni, aku terbawa lamunan. Wanita dengan paras yang cantik namun hanya sekedar cantik menepuk bahuku dan membuat lamunanku buyar. “Maaf, boleh minta apinya?” Sambil menjulurkan sebatang rokok yang sedang terhimpit bibir merah ranumnya. Aku segera menyalakan pematikku dan membakar ujung rokok wanita cantik itu.
Wanita itu mengulurkan tangannya kepadaku, “makasih. Panggil saya Sekar.”
“Robert,” aku pun menyambut tangannya yang halus.
“Malam minggu kok sendirian sih Mas?”
“Jangan panggil Mas, panggil Robert saja. Iya setiap malam juga nggak ada yang nemenin.”
Okay Robert. Lho? Istri kamu? Atau masih single ya? Heheheh”
“Istriku sibuk, lebih sibuk dari seorang direktur sepertiku malah. Dia lagi pergi ke Jerman untuk take adegan di sebuah film.”
“Oh, artis. Pasti cantik ya.”
Aku hanya tersenyum mendengar kata – katanya yang lugas.
“Eh Robert, aku dan kawan – kawan mau pindah ke apartemenku. Kamu mau gabung?”
Sorry, aku lagi pengen sendiri. Mungkin lain kali.” sambil tersenyum aku menolak halus ajakan Sekar.
“Oh, okay. Nggak masalah, kalau memang lagi suntuk atau butuh teman boleh kok main – main ke tempatku,” sambil bergegas Sekar meninggalkan selembar kartu nama di atas meja.
Lagi – lagi hanya segores senyum tersungging di atas bibirku. Kemudian Sekar berlalu dengan teman – temannya menuju pintu keluar, dan tinggallah aku di sini sendiri lagi. Semuanya seperti kembali membeku, hingar bingar yang seakan tiba – tiba diam.
***
Langit siang ini seakan berkelambu berwarna abu – abu. Mentari yang tadinya menantang dengan panas tubuhnya tiba – tiba terhalang abu – abu dan kemudian redup. Di tengah saat aku menyantap makan siangku di sebuah restoran, ponselku berdering.
“Halo mas,” suara lembut Bidari terdengar meneduhkan.
“Iya, halo sayang. Gimana shooting filmnya?”
“Masih panjang Mas, dan melelahkan. Oh ya Mas, aku mau bilang kalau pulangku diundur. Jadi bulan depan aku baru bisa pulang.”
“Ya sudah, selesaikan dulu pekerjaanmu, dan cepat segera pulang. Uruslah suamimu ini yang sudah kangen banget.”
“hahaha Iya Mas. Nanti aku telepon lagi ya Mas.”
Okay sayang. Take care.”
Tiba – tiba aku sudah merasa kenyang, tanpa memberi kesempatan hidangan yang masih tersisa di piring untuk masuk ke dalam perutku. Segera aku panggil pelayan untuk meminta bill. Saat membuka dompet dan mengambil kartu kredit, aku mendapati kartu nama Sekar. Aku jadi ingat dengan wanita yang sekedar cantik namun begitu ramah dan hangat.
Jejeran angka yang berbaris di kartu nama Sekar terus ku pandangi. Aku teringat kata – katanya. “….kalau memang lagi suntuk atau butuh teman boleh kok main – main ke tempatku.” Aku hanya ingin sekedar ngobrol, atau butuh tempat untuk membuang unek – unek. Ku raih smartphone – ku, kemudian sedikit berbicara kepada Sekar. Setelah aku membereskan beberapa pekerjaan yang masih menumpuk di meja kerja, aku bermaksud untuk sekedar berkunjung ke apartemen Sekar. Kebetulan tidak jauh dari kantorku.
Sekar. Nama yang indah, begitu pula dengan tutur katanya yang begitu halus dan beretika. Siapa sangka, wanita yang gemar mengenakan busana yang terbuka hingga aku pun bisa melihat sebuah tattoo kupu – kupu yang sedang hinggap di atas bunga mawar tepat di tengah belahan buah dadanya yang sintal, adalah wanita yang begitu ramah dan santun dalam bertutur kata. Usianya selisih sepuluh tahun lebih muda dari usiaku, namun pemikirannya tampak lebih matang dibandingkan denganku. Hingga tengah malam aku menghabiskan waktu untuk sekedar ngobrol dan bertukar pikiran. Usianya baru seperempat abad, tapi wawasannya sangat luas, dan begitu bijak sekali ketika mengambil sebuah keputusan. Hanya dengan waktu yang singkat dia mampu mencairkan suasana beku yang ada di sekitar kami. Dia seperti obat migraine yang langsung bisa meredakan sakit kepala sebelahku. Tawanya begitu renyah terdengar ketika aku mengatakan hal itu kepadanya.
Sudah hampir tiga minggu aku dan sekar berhubungan dekat, bertukar pikiran dan berbincang sana – sini. Tapi entah kenapa akhir – akhir ini aku lebih sering sekali berkunjung ke apartemen Sekar. Yang tadinya canggung dan kaku untuk sekedar duduk berdekatan dengannya, dan sekarang aku tak sungkan – sungkan untuk mengecup kening dan pipinya. Aku merasa nyaman berada dekat dengan Sekar, seperti mencairkan cinta yang telah lama membeku. Hubungan kami terus terbentuk lebih dari sekedar teman dekat. Aku tidak pernah berbohong kepada Sekar kalau aku sudah beristri, dia pun sudah mengetahuinya sejak awal bertemu bukan? Namun tidak dengan istriku, aku menyembunyikan hubunganku dengan Sekar dari Bidari.
Setelah dua bulan penuh dia menghabiskan waktunya untuk shooting film, dia pun mengambil waktu dua minggu untuk libur sejenak. Tapi tetap saja dia tak bisa diam berada di dekapanku. Selalu ada saja kegiatan yang dia lakukan. Aku sudah pernah bilang kepadanya kalau sedikit mengurangi kegiatannya di dunia hiburan, namun dia tetap bersikeras untuk mengejar karirnya. Aku tak bisa apa – apa, hanya bisa diam. Aku sebenarnya tahu kenapa dia menunda – nunda untuk punya anak, karena tidak mau kalau tubuhnya yang langsing itu membengkak nantinya setelah melahirkan. Aku hampir tak mengenali bidadariku. Sikapku terhadapnya pun semakin jauh dari hangat. Aku lebih suka bermalam di apartemen Sekar dengan alasan pergi keluar kota untuk menemui rekan bisnis. Aku merasa jengah dengan sikap istriku sendiri yang tak mau dibimbing. Aku yang sudah berubah atau Bidari yang telah menjauhkan diriku dari cinta?
Aku sangat kepayahan, ketika Sekar meneleponku dan memberi kabar kalau dia hamil. Aku sangat gembira, tapi disisi lain aku juga merasa menjadi bodoh, karena Bidari tak mungkin mengijinkanku untuk memperistri Sekar. Dan Sekar pun pasti tak mau kalau aku menikahinya tanpa menceraikan Bidari terlebih dahulu.  Otakku seperti mau muntah, tulang – tulangku serasa mau patah karena terlalu banyak masalah.
Seharian aku tidak ke kantor, pulang ke rumah pun tidak, bertandang ke apartemen sekar juga tidak. Dari pagi hingga malam aku hanya diam tak bergeming dalam kamar hotel. Sendirian. Aku hanya ingin mencari titik terang dari masalahku. Aku tahu apa yang telah aku lakukan, aku hanya tidak siap dengan konsekuensi yang akan terjadi pada sebuah keputusan yang aku pilih. Aku takut membahayakan Sekar, dan aku pun tahu kalau aku telah menyakiti Bidari. Apapun pilihanku tetap mengandung resiko.
Keesokan paginya aku memutuskan untuk berbicara kepada Bidari. Aku memintanya untuk bercerai, dengan alasan aku sudah merasa tidak ada kecocokan dengannya. Sebenarnya tanpa Bidari berkata pun aku sudah tahu apa jawabannya. Pastilah dia mengatakan, “Tidak.” Aku tetap bersikeras untuk memintanya bercerai. Namun dengan keras kepala Bidari ingin tetap bertahan, hingga aku memutuskan untuk keluar dari rumah. Hatiku begitu pilu seperti teriris - iris, ketika melihat Bidari menumpahkan seluruh air matanya yang selama ini tak pernah aku lihat dalam paras cantiknya. Kedua tangannya mencengkeram kuat kaki kananku saat aku hendak menginjakkan kaki ke luar. Kalbuku pun sedang menangis darah pada saat itu.
***
Setelah aku meninggalkan rumah, aku hidup dengan Sekar tanpa menceraikan Bidari. Tapi hidupku serasa tidak tenang, seperti ada sebuah bayangan yang selalu mengikuti setiap langkahku. Entah bagaimana bisa aku hidup dengan keadaan seperti ini. Hidup dengan bayang – bayang hitam yang selalu merundung dalam kegelisahan. Bidari masih saja mencoba untuk menghubungiku, tapi aku selalu mengabaikan. Berita seputar keretakan rumah tangga kami pun sudah tercium oleh publik. Paparazi pun senantiasa berkeliaran. Hingga aku mendapati fotoku yang sedang bergandengan dengan sekar di sebuah pusat perbelanjaan, beredar di tabloid gossip.
 Pada senja yang memerah aku berkeluh kesah. Merah berarti marah, ataukah memang sedang berdarah. Kurogoh saku celanaku, mengambil smartphone ku yang dari tadi berbunyi terus – menerus. Aku tahu itu Bidari. Ada tujuh panggilan tidak terjawab, dan semuanya dari Bidari. Tak berapa lama setelah aku membuka layar smartphone – ku, nada pendek pun berbunyi. SMS dari Bidari.
“Mas, aku sudah tahu alasanmu untuk menceraikanku. Kumohon kau bisa ke rumah malam ini. Aku ingin membicarakannya baik – baik. Kau ajak juga wanita itu, nanti kita bisa buat kesepakatan.”
Aku tak langsung membalasnya. Aku berunding dengan sekar, dan dia pun menyetujui untuk datang menemui Bidari. Risauku semakin memburu. Seharusnya aku merasa senang karena Bidari sudah bisa menerima keadaan ini. Senja yang semakin menyalak akankah menjadi sebuah isyarat? Ataukah hanya lukisan Ilahi yang tak pernah lelah menghiasi langit jingga kemerahan itu. Desau risau terdengar parau di telinga batinku. Entah dan entah…..
Malam itu juga aku mengajak Sekar untuk bertemu Bidari di rumah tempat aku tinggal bersama Bidari dulu. Kupikir segera sajalah masalah ini terselesaikan. Awalnya Bidari menyambut kami dengan ramah. Wajah cantiknya pun masih tetap berbinar seperti dulu. Tapi, aku masih bisa melihat sorot matanya memendam kebencian terhadap Sekar. Seperti dua buah mata burung gagak yang sedang memendam kesumat. Sepasang mata yang semakin menghujam ke arah Sekar. Di tengah perbincangan dalam ruang yang sengap dan penuh kedengkian, tiba – tiba Bidari menghujamkan pisau belati yang tersembunyi di dalam lengan baju panjangnya ke dada Sekar. Kejadian itu begitu cepat, sehingga aku hanya bisa mengumpat. Belati itu menancap begitu dalam tepat di dada Sekar, merobek tattoo kupu-kupu yang hinggap di bunga mawar. Aku memeluk Sekar yang bersimbah darah.
Mataku sudah gelap, seperti terselubung kabut hitam yang pekat. Kemudian aku menyambar sebuah gunting yang tergeletak di atas meja. Suara lengkingan tawa Bidari membuat hatiku semakin geram, semakin membabi – buta. Hingga akhirnya gunting itu pun melesat cepat ke arah perut Bidari. Mata yang indah, mata milik bidadari yang tak bersayap membelalak kosong pandangnya. Bukan… bukan….. Dia bukan bidadari tanpa sayap, dia adalah bidadari yang bersayapkan belati. Bibirku beku, putih memucat, sampai – sampai tak mampu mengumpat. Dua wanita yang aku cintai tergelepar tak berdaya seperti rusa – rusa hasil buruan yang siap disembelih. Lantai marmer yang dingin menjadi semakin beku. Semakin memerah dalam genangan darah
Pada malam itu, pembantu dan supirku seperti sedang tertidur puas lelas. Tak ada satu pun yang menghampiri aku dan mayat – mayat wanita yang kucintai. Aku menggali dan menggali di tangah malam yang suram. Dua buah liang besar yang dalam menganga di halaman depan. Aku sudah seperti mayat – mayat itu, memucat dan menggigil. Kemudian aku sendiri yang membersihkan darah – darah yang hampir mengering hingga bersih seperti semula. Merapikan semuanya seakan tidak ada perabotan yang bergeser. Aku kembali ke luar, memastikan semuanya bersih dan aman. Aku terduduk dalam dingin malam yang membeku di teras depan, menjaga keduanya hingga aku pun tertidur dalam gelisah.
Malam begitu cepat berganti dengan pagi. Pembantuku mulai curiga dengan bekas galian tanah di halaman depan. Aku mengatakan padanya ingin menanam dua buah tanaman di sana. Kemudian aku menanam bibit bunga mawar merah pada tanah bekas galian tadi malam. Seiring dengan berjalannya waktu, bunga tersebut tumbuh lebat di halaman depan rumahku. Setiap hari aku hanya bisa diam memandangi bunga – bunga mawar tersebut dan kupu – kupu yang hinggap di atas bunga mawar itu.
Mereka menyangka aku gila. Mereka menyangka aku sudah tidak waras. Mereka menyangka syaraf otakku terjepit, atau putus. Mereka mereka – reka sebab hilangnya Bidari dan juga Sekar yang begitu mendadak. Mereka menyangka aku gila. Aku hanya tertawa. Aku hanya pura – pura gila.

Semarang, 26 Februari 2013

1 komentar:

  1. Nama saya Dewi Rumapea, saya dari Indonesia, saya dengan cepat ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan seluruh Indonesia yang mencari pinjaman di internet sangat berhati-hati untuk tidak jatuh di tangan scammers dan fraudstars, ada banyak kredit palsu lender di sini di internet dan beberapa dari mereka adalah asli, saya pernah tertipu dan ditipu di sini online sebelum seorang teman yang mendapat pinjaman baru menghubungkan saya dengan seorang wanita bernama Ibu Glory yang merupakan CEO dari Glory Badan Kredit. Jadi saya diterapkan untuk jumlah pinjaman 500 juta dengan tingkat bunga rendah dari 2%, tidak ada jaminan, karena saya mengatakan kepadanya apa yang saya ingin menggunakan uang itu untuk membangun bisnis dan pinjaman saya disetujui dengan mudah tanpa stres dan semua persiapan yang dilakukan pada transfer kredit dan dalam waktu kurang dari 24 jam setelah pendaftaran pinjaman, itu mimpi datang melalui, jumlah pinjaman saya 500 juta dikreditkan di rekening bank saya hanya dalam selang waktu dua jam. Jadi saya ingin saran mereka sedang mencari untuk pinjaman di sini secara online harus berlaku untuk perusahaan asli, cepat hubungi sekarang email: di gloryloanfirm@mail.com. dia tidak tahu bahwa aku melakukan ini. Saya berdoa agar Tuhan memberkati dia untuk hal-hal baik yang telah dilakukan dalam hidup saya. Anda juga dapat menghubungi saya di dewiputeri9@gmail.com untuk info lebih lanjut.

    BalasHapus