Selasa, 12 Maret 2013

BIDADARI SABTU MALAM



Dalam balutan angin malam yang mulai mengkristal, Ardian duduk di kursi sebuah taman dekat kota. Sabtu malam di Paris. Menunggu di tengah derai rindu yang selalu memburu. Tak berapa lama, seorang wanita bertubuh tinggi semampai mengenakan gaun warna hitam, datang menghampiri Ardian. Wanita keturunan indo Perancis. Angelique namanya. Dengan jemarinya yang lentik dan tangannya yang halus, Angelique menyambut tangan Ardian. Kemudian tubuh mereka lenyap dalam gemerlap kota. Berjalan bergandengan tangan menyusuri keramaian kota dalam balutan ingar yang bingar.
Mereka berdua memutuskan untuk makan malam di sebuah restoran berbintang. Kemudian mereka terlihat sedang terlibat percakapan dengan pelayan restoran.
Ardian: Vous avez une table pour deux personnes? ( Ada tempat untuk dua orang?)
Garҫon: Qui, monsieur, S’il vous plait. (Ada pak, silakan.)
Ardian dan Angelique mengikuti pelayan tersebut ke meja yang ditunjuk. Sembari mempersilakan mereka duduk, pelayan restoran tersebut kemudian menyodorkan daftar menu makanan dan anggur.
Garҫon: La selle d’agneau est notre spécialité d’aujourd’hui. (Punggung domba muda adalah sajian khusus hari ini. )
Ardian: On va prendre le menu du jour. (Saya pesan menu khusus hari ini.)
Angelique: Apportez-moi du saumon à l’américaine, s’il vous plait. (Berikan saya ikan salmon ala Amerika)
Garҫon: Très bien, Madame. Comme boisson? (Baik Bu, minumnya apa Bu?)
Angelique: Une bouteille de vin rouge de la maison, s’il vous plait. (Satu botol anggur merah dari restoran ini.)
Tak bisa dibayangkan, pertemuan ini benar-benar ditunggu mereka. Kesempatan yang sangat sayang sekali untuk disia-siakan. Duduk pada satu meja, dan saling berhadap-hadapan. Mata bertemu mata. Wajah Angelique masih sama seperti sepuluh tahun yang lalu, dengan rambut cokelatnya yang tergerai membuat yang memandang semakin bergairah. Bibir tipis yang telukis memerah, begitu menggoda untuk sekedar menggigitnya lembut. Ardian tak habis-habisnya memandang paras Angelique nan cantik jelita. Wanita yang sejak SMA dia kagumi. Wanita yang dianggapnya mendekati sempurna. Malam ini tak akan pernah disia-siakan oleh Ardian, Ia akan mencurahkan segala yang ada di dalam hatinya. Menyerahkan jiwanya hanya untuk Angelique.
Malam sepertinya lebih memilih untuk menjadi gamang. Mereka berdua sudah berada dalam apartemen milik Angelique. Apartemen dengan dinding-dinding yang mulai membeku dalam kubu yang beradu. Bibir Angelique mempertahankan suhunya hingga tetap hangat dalam lumatan bibir Ardian. Lidahnya seakan tercekat, tak mampu berkelu apalagi berkata-kata. Hanya ada lenguhan, dimana saat Ardian dapat memandang wajah Angelique yang juga hanya bisa melenguh. Malam yang bergeming, dalam pelukan Ardian ada tubuh seorang wanita yang selama bertahun-tahun Ia cintai dalam diam. Tubuhnya yang tinggi tetapi juga sintal meringkuk dalam naungan lengan Ardian yang kekar.
Dalam selimut yang kisut, di atas sprei yang berkerut tak beraturan, tubuh mereka rebah saling bertumpuan. Cahaya kemuning berpendar dari lampu yang berada di atas meja samping kiri tempat tidur. Kemudian cahaya tersebut menciptakan siluet yang menggeliat pada dinding yang semakin mendingin. Semakin liar di kala malam mencengkeram. Cermin yang tergantung tepat berhadapan dengan ranjang yang mulai ringsut karena ulah mereka berdua, seakan sedang merekam kisah mereka dalam kilau pantulannya. Jejeran buku-buku yang tertata rapi di rak, seakan saling berbisik satu sama lain melihat kehangatan kisah mereka yang sedang beradu. Ranjang berdecit seakan berteriak tanda tak mampu lagi menopang tubuh mereka yang semakin menggelinjang.
Hingga kemudian yang ada adalah ‘diam’ dan angin yang sedang berseloroh lewat celah jendela yang sedikit terbuka. Wajah mereka saling berhadap-hadapan, sesekali tangan Ardian membelai rambut cokelat Angelique. “Je suis amoureux de toi (aku cinta kamu),” suara Ardian berbisik lembut di telinga Angelique. “Je t’aime de tout mon coeur. Je veux être avec toi. (Aku mencintaimu sepenuh hatiku. Aku ingin bersama kamu.),” Angelique membalasnya dengan suara tak kalah lembutnya. Kemudian mengecup kening Ardian yang sedikit berkeringat. Mereka rebah, puas lelas meringkuk di atas ranjang. Dengan senyum yang melengkung di atas masing-masing bibir mereka.
Suara alarm berteriak seperti sedang menghardik Ardian. Ia pun terperanjat hingga jatuh ke lantai. Pukul 05.00 A.M masih terlalu pagi untuk bangun di hari minggu yang malas. Sepucuk kartu pos yang terselip di bawah ranjang tak luput dari penglihatan Ardian. Kartu pos bergambar menara Eiffel yang bertuliskan ‘Je prie toujours pour ton bonheur’ (Aku selalu berdoa untuk kebahagiaanmu). Dari Angelique.
Ardian terduduk di atas ranjang, termenung dalam lantunan sendu. Kartu pos yang telah dikirimkan Angelique lima tahun silam. Ardian terkesiap. Kemudian menoleh ke samping kanannya. Seorang wanita cantik sedang terlelap dalam biusan mimpi. Seperti halnya Ardian yang juga telah terbius dalam mimpi yang memabukkan. Mabuk hingga tak bisa membedakan mana itu mimpi atau nyata. Wanita cantik yang benar-benar cantik, yang telah melahirkan seorang putra baginya. Wanita yang telah dinikahinya lima tahun silam. Wanita yang sekedar ia cintai, tak seperti halnya cinta diam-diamnya kepada Angelique. Tapi juga wanita yang selalu sabar menghadapi sifat keras kepalanya. Wanita yang selalu setia bersanding dengannya, meskipun sedikit banyak Ardian masih berhubungan dengan cinta diam-diamnya.
Tak sepantasnya wanita cantik yang benar-benar cantik itu ia abaikan. Bibir Ardian bergetar. Jemarinya serasa kaku saat ingin menggapai tubuh wanita cantik itu. Wanita cantik itu bukan Angelique. Tapi seharusnya ia melindunginya lebih dari cinta diam-diamnya itu. Ardian menekuk kakinya hingga lututnya sejajar dengan dadanya. Kemudian ia membenamkan wajahnya diantara kedua tangannya yang menyimpul di atas lutut.
“Sayang….” Wanita cantik itu memanggil lembut. “Kamu kenapa sayang?”
Ardian terkesiap, dan hanya bisa memandang wajah wanita cantik itu yang berbinar diantara silaunya sinar mentari pagi itu. Wajah cantiknya seperti bidadari, tapi bukan Angelique. Ardian menyergap tubuh wanita itu, tanpa kata tanpa suara. Memeluk semakin erat, mengusap rambut hitamnya yang pekat. “Bidadariku.”

Catatan : Garҫon adalah sebutan untuk seorang pelayan restoran dalam bahasa perancis.
Semarang, 17 Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar