Dalam
balutan angin malam yang mulai mengkristal, Ardian duduk di kursi sebuah taman
dekat kota. Sabtu malam di Paris. Menunggu di tengah derai rindu yang selalu
memburu. Tak berapa lama, seorang wanita bertubuh tinggi semampai mengenakan gaun
warna hitam, datang menghampiri Ardian. Wanita keturunan indo Perancis.
Angelique namanya. Dengan jemarinya yang lentik dan tangannya yang halus,
Angelique menyambut tangan Ardian. Kemudian tubuh mereka lenyap dalam gemerlap
kota. Berjalan bergandengan tangan menyusuri keramaian kota dalam balutan ingar
yang bingar.
Mereka
berdua memutuskan untuk makan malam di sebuah restoran berbintang. Kemudian mereka
terlihat sedang terlibat percakapan dengan pelayan restoran.
Ardian:
Vous avez une table pour deux personnes?
( Ada tempat untuk dua orang?)
Garҫon:
Qui, monsieur, S’il vous plait. (Ada
pak, silakan.)
Ardian
dan Angelique mengikuti pelayan tersebut ke meja yang ditunjuk. Sembari
mempersilakan mereka duduk, pelayan restoran tersebut kemudian menyodorkan
daftar menu makanan dan anggur.
Garҫon:
La selle d’agneau est notre spécialité
d’aujourd’hui. (Punggung domba muda adalah sajian khusus hari ini. )
Ardian:
On va prendre le menu du jour. (Saya
pesan menu khusus hari ini.)
Angelique:
Apportez-moi du saumon à l’américaine,
s’il vous plait. (Berikan saya ikan salmon ala Amerika)
Garҫon:
Très bien, Madame. Comme boisson?
(Baik Bu, minumnya apa Bu?)
Angelique:
Une bouteille de vin rouge de la maison,
s’il vous plait. (Satu botol anggur merah dari restoran ini.)
Tak
bisa dibayangkan, pertemuan ini benar-benar ditunggu mereka. Kesempatan yang
sangat sayang sekali untuk disia-siakan. Duduk pada satu meja, dan saling
berhadap-hadapan. Mata bertemu mata. Wajah Angelique masih sama seperti sepuluh
tahun yang lalu, dengan rambut cokelatnya yang tergerai membuat yang memandang
semakin bergairah. Bibir tipis yang telukis memerah, begitu menggoda untuk
sekedar menggigitnya lembut. Ardian tak habis-habisnya memandang paras
Angelique nan cantik jelita. Wanita yang sejak SMA dia kagumi. Wanita yang
dianggapnya mendekati sempurna. Malam ini tak akan pernah disia-siakan oleh
Ardian, Ia akan mencurahkan segala yang ada di dalam hatinya. Menyerahkan
jiwanya hanya untuk Angelique.
Malam
sepertinya lebih memilih untuk menjadi gamang. Mereka berdua sudah berada dalam
apartemen milik Angelique. Apartemen dengan dinding-dinding yang mulai membeku
dalam kubu yang beradu. Bibir Angelique mempertahankan suhunya hingga tetap
hangat dalam lumatan bibir Ardian. Lidahnya seakan tercekat, tak mampu berkelu
apalagi berkata-kata. Hanya ada lenguhan, dimana saat Ardian dapat memandang
wajah Angelique yang juga hanya bisa melenguh. Malam yang bergeming, dalam
pelukan Ardian ada tubuh seorang wanita yang selama bertahun-tahun Ia cintai
dalam diam. Tubuhnya yang tinggi tetapi juga sintal meringkuk dalam naungan
lengan Ardian yang kekar.
Dalam
selimut yang kisut, di atas sprei yang berkerut tak beraturan, tubuh mereka
rebah saling bertumpuan. Cahaya kemuning berpendar dari lampu yang berada di
atas meja samping kiri tempat tidur. Kemudian cahaya tersebut menciptakan siluet
yang menggeliat pada dinding yang semakin mendingin. Semakin liar di kala malam
mencengkeram. Cermin yang tergantung tepat berhadapan dengan ranjang yang mulai
ringsut karena ulah mereka berdua, seakan sedang merekam kisah mereka dalam
kilau pantulannya. Jejeran buku-buku yang tertata rapi di rak, seakan saling
berbisik satu sama lain melihat kehangatan kisah mereka yang sedang beradu.
Ranjang berdecit seakan berteriak tanda tak mampu lagi menopang tubuh mereka
yang semakin menggelinjang.
Hingga
kemudian yang ada adalah ‘diam’ dan angin yang sedang berseloroh lewat celah
jendela yang sedikit terbuka. Wajah mereka saling berhadap-hadapan, sesekali
tangan Ardian membelai rambut cokelat Angelique. “Je suis amoureux de toi (aku cinta kamu),” suara Ardian berbisik
lembut di telinga Angelique. “Je t’aime
de tout mon coeur. Je veux être avec toi. (Aku mencintaimu sepenuh hatiku.
Aku ingin bersama kamu.),” Angelique membalasnya dengan suara tak kalah
lembutnya. Kemudian mengecup kening Ardian yang sedikit berkeringat. Mereka
rebah, puas lelas meringkuk di atas ranjang. Dengan senyum yang melengkung di
atas masing-masing bibir mereka.
Suara
alarm berteriak seperti sedang menghardik Ardian. Ia pun terperanjat hingga
jatuh ke lantai. Pukul 05.00 A.M masih terlalu pagi untuk bangun di hari minggu
yang malas. Sepucuk kartu pos yang terselip di bawah ranjang tak luput dari
penglihatan Ardian. Kartu pos bergambar menara Eiffel yang bertuliskan ‘Je prie toujours pour ton bonheur’ (Aku
selalu berdoa untuk kebahagiaanmu). Dari Angelique.
Ardian
terduduk di atas ranjang, termenung dalam lantunan sendu. Kartu pos yang telah
dikirimkan Angelique lima tahun silam. Ardian terkesiap. Kemudian menoleh ke
samping kanannya. Seorang wanita cantik sedang terlelap dalam biusan mimpi.
Seperti halnya Ardian yang juga telah terbius dalam mimpi yang memabukkan.
Mabuk hingga tak bisa membedakan mana itu mimpi atau nyata. Wanita cantik yang
benar-benar cantik, yang telah melahirkan seorang putra baginya. Wanita yang
telah dinikahinya lima tahun silam. Wanita yang sekedar ia cintai, tak seperti
halnya cinta diam-diamnya kepada Angelique. Tapi juga wanita yang selalu sabar
menghadapi sifat keras kepalanya. Wanita yang selalu setia bersanding
dengannya, meskipun sedikit banyak Ardian masih berhubungan dengan cinta
diam-diamnya.
Tak
sepantasnya wanita cantik yang benar-benar cantik itu ia abaikan. Bibir Ardian
bergetar. Jemarinya serasa kaku saat ingin menggapai tubuh wanita cantik itu.
Wanita cantik itu bukan Angelique. Tapi seharusnya ia melindunginya lebih dari
cinta diam-diamnya itu. Ardian menekuk kakinya hingga lututnya sejajar dengan
dadanya. Kemudian ia membenamkan wajahnya diantara kedua tangannya yang
menyimpul di atas lutut.
“Sayang….”
Wanita cantik itu memanggil lembut. “Kamu kenapa sayang?”
Ardian
terkesiap, dan hanya bisa memandang wajah wanita cantik itu yang berbinar
diantara silaunya sinar mentari pagi itu. Wajah cantiknya seperti bidadari,
tapi bukan Angelique. Ardian menyergap tubuh wanita itu, tanpa kata tanpa
suara. Memeluk semakin erat, mengusap rambut hitamnya yang pekat. “Bidadariku.”
Catatan
: Garҫon adalah sebutan untuk seorang pelayan restoran dalam bahasa perancis.
Semarang,
17 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar