Selasa, 12 Maret 2013

KOPI PAHIT DAN MAWAR PUTIH YANG MANIS



Dentingan embun yang menelisik lewat celah dahan – dahan pohon bunga cempaka mengiringi binar hariku. Sudah dengan pakaian rapiku, berkasih dengan secangkir kopi pahit tanpa cinta. Sambil memandang pekatnya kopi dalam cangkir yang sedikit usang, terlintas paras laki-laki di café dekat kantor pada senja kemarin. Entah apa yang menarik dengan dirinya, kaos lusuh yang terlihat seperti tidak disetrika, bahkan mungkin tidak dicuci dua atau tiga hari. Apalagi kalau melihatnya dengan celana jeans yang robek tepat di kedua lututnya. Aku merasakan hal yang aneh seperti kopi pahit ini. Hitam pekat lebih tepatnya seperti jelaga yang menempel pada tungku perapian. Pahit lekak di tenggorokan, dan jangan harap merasakannya seperti ice cream yang berasal dari negara penjajah kita yang dijual di mall – mall besar. Seperti itu lah gambarannya, banyak orang yang seusiaku tak begitu mengagumi kopi pahit. Tapi aku suka! Aneh? Memang. Demikian halnya dengan laki –laki tersebut yang sampai sekarang pun aku tak tahu namanya.
Di depan cahaya komputer yang berpendar begitu temaramnya, aku merasa linglung, dengan tetap berkutat dengan dokumen – dokumen, file, email, dan semuanya membuat jenuh. Ini sudah siang, namun nafsu makan pun tak kunjung menghampiri, terkecuali hanya tugas – tugas kantor yang sudah menunggu beriringan antri untuk segera diselesaikan. Lekaslah aku habisi mereka, sambil menunggu senja yang akan datang bersama jingga. Senja, ketika aku bisa bercinta dengan secangkir kopi pahit dan desauan angin yang berarak menuju ambang cakrawala. Aku hanya tersenyum – senyum sendiri sambil membayangkan senjaku. Dan kemudian berlalu.
Aku berjalan terseok, dan baru aku sadari kalau sesiang tadi aku tidak makan. Ah sudah biasa pikirku. Kemudian aku segera menghampiri café dekat kantor. Seperti biasa, aku duduk dekat jendela agar bisa menikmati senja yang begitu indah jingganya. Lalu aku tertawa, mustahil! Mana ada senja jingga di hutan beton seperti ini, hanya ada beton dan beton. Aku berimajinasi bahwa gedung – gedung tinggi itu adalah nyiur yang sedang melambai elok. Sedangkan jalanan itu adalah riuh ombak yang sedang berderu menyapu karang. Hanya ada imajinasi dalam senjaku.
Sambil membaca novel yang baru aku beli kemarin lusa, aku menyecap dari secangkir kopi pahitku. Tak berapa lama kemudian aku melihat laki –laki itu lagi. Kali ini dia memakai pakaian yang sedikit lebih rapi dari pada kemarin. Tetap dengan celana jeans, namun kali ini tidak robek di bagian lututnya. Dia memakai kaos biasa dan dengan jaket kulitnya. Agak terkesan aneh menurutku. Apa lagi dengan sepatu knee bootsnya, lalu satu lagi dengan headband yang melingkar di kepalanya. Aku hanya merasa heran saja, konsep cafe ini dengan nuansa begitu sangat klasik dan romatis. Lalu tiba – tiba datang seorang laki –laki yang berdandan ala brandalan punk rock … whatever apalah itu style-nya. Dan aku bergumam, jangan – jangan dia akan perform di atas stage cafe ini. Bisa – bisa dia akan mengacaukan suasana moodku. Lalu aku tersenyum geli, dan seorang pelayan café sepertinya sedang memperhatikanku. Dia menyebelahiku dan menyahut sambil berbisik, “perhatikan saja nanti cara dia memainkan melodi indah dari jemarinya, lantas kau akan hanyut seperti terbawa arus symphony-nya.” Aku hanya bergeming dan melihatnya berlalu dariku. Benakku masih bergelinjang resah memikirkan apa maksud pelayan café tersebut.
Tak beberapa lama kemudian, laki- laki tersebut berjalan menuju sebuah piano yang berada di atas stage café. Sembari dia mempersiapkan performance-nya, seorang MC memperkenalkan laki- laki tersebut kepada para pengunjung café. Dan baru saja aku ketahui namanya adalah Banyu. Yang berarti air. Tak habis pikir kenapa Banyu tidak memperkenalkan dirinya sendiri saja, sok eksklusif, celotehku dalam hati. Lalu aku tercengang ketika melihat jari jemari Banyu yang menari di atas tuts piano. Mengawinkan nada demi nada membentuk symphony yang indah. Ya! Aku tahu musik itu. Exodus. Aku baru sadar, aku seperti melihat sesosok Maksim Mrvica pianis terkenal kelahiran Kroasia. Mulai dari cara dia berpakaian sampai cara memainkan musiknya, sangat mirip.
Masih dengan melarut dalam alunan denting piano Banyu, aku seakan di bawanya terbang dengan hentakan – hentakan musiknya. Alunan tuts piano tersebut mulai melemah, dan kulihat banyu berhenti sejenak dan melambaikan tangannya kepada pelayan café. Aku mengamati mereka sedang berkomunikasi melalui sebuah kertas. Kertas? Aneh. Sorot matanya tertuju ke arahku. Kuhiraukan mereka. Aku menyecap kembali kopiku, tepatnya cangkir kedua yang baru saja kupesan. Selesai Banyu memberi isyarat kepada pelayan, dan dia kembali menjamah piano tersebut. Kali ini alunannya lebih lembut, melemah kemudian seperti berbisik ke telingaku. “Somewhere in time” judul melodi tersebut. Sesaat kemudian pelayan café yang tadi, muncul dari balik stage dan menghampiriku. Sambil memberikan bunga mawar putih kepadaku dan kemudian berbisik, “mawar ini dari mas Banyu mbak”. Aku yang masih terkesima dengan Banyu hanya menjadi linglung dan tak mampu berkata apa –apa kepada pelayan tersebut. Ada sepucuk kertas yang dikaitkan pada batang mawar putih itu, “somewhere in time ~ melodi indah untukmu Jingga. J “ Dari siapa Banyu tahu namaku?
Aku tersadar, lantunan melodi dari piano Banyu sudah berakhir. Tak kudapati lagi dia di stage. Segera aku meminta bill dan membayarnya, kemudian segera berlari keluar. Namun pada saat bersamaan, pelayan café memberikan sepucuk surat untukku. Ya benar, dari Banyu lagi. Percuma, Banyu sudah pergi dan berlalu begitu saja. Langkah demi langkah aku berlalu dari café tersebut. Kemudian aku terduduk di sebuah halte bus, tak sabar aku membuka surat dari Banyu. Baris demi baris kubaca.
***
Dear Jingga,
Maaf hanya sepucuk surat ini yang bisa mewakili kata-kata yang ingin kusampaikan. Jika kau mengingatku maka kau akan mengerti.
Aku harap kau tidak melupakan mawar putih dan lagu “somewhere in time”, yang begitu bersahabat dengan kita waktu remaja.
Aku memang tidak pandai merangkai kata, bahkan aku tidak bisa menyanyikan sebuah lagu untukmu, berbicara pun tidak.
Tapi hanya kau yang bisa mengerti aku dalam alunan-alunan nadaku. Bersama kita memainkan lagu “somewhere in time” dengan piano milik ayahmu dan tak lupa sebatang mawar putih kau letakkan di atas piano tersebut.
Hah, permainanku memang tak sebagus saat kau memainkannya. Namun kau selalu memberiku semangat bahwa aku bisa memainkannya dengan lebih sempurna, dan kau memintaku memainkannya untukmu suatu saat nanti.
Namun tak beberapa lama, ayahku mengajak pindah ke Prancis. Sampai akhirnya aku bisa bersekolah di sekolah musik di Boulogne-Billancourt, Prancis, dan lulus dengan gelar Diplôme d’Etudes Musicales (diploma di bidang musik).
Setelah itu aku bertekat untuk kembali ke Indonesia untuk mencarimu kembali dan menepati janjiku. Memainkan lagu “somewhere in time” untukmu. Dan satu hal yang ingin aku ungkapkan kepadamu, Je t’aime. “I LOVE YOU MY LITTLE PRINCESS” hanya dengan bahasa isyarat aku bisa ungkapkan, selain juga dengan kertas.
***
Sudah kuduga Banyu itu kamu! Aku menoleh ke samping, dan kudapati Banyu sedang duduk di sebelahku tersenyum kepadaku. Langsung saja kudekap erat tubuhnya tanpa berkata sepatah pun. Kopi pahit itu sudah menemukan pemanisnya. Dan itu lah kamu Banyu, sang mawar putih yang manis. Banyu mengangkat wajahku dan meberikan bahasa isyarat kepadaku “aku sayang kamu”. Aku hanyalah kopi pahit yang membutuhkan kamu mawar putih yang manis untuk pemanisnya.


SEMARANG, 11 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar