Dentingan embun yang
menelisik lewat celah dahan – dahan pohon bunga cempaka mengiringi binar
hariku. Sudah dengan pakaian rapiku, berkasih dengan secangkir kopi pahit tanpa
cinta. Sambil memandang pekatnya kopi dalam cangkir yang sedikit usang,
terlintas paras laki-laki di café dekat kantor pada senja kemarin. Entah apa
yang menarik dengan dirinya, kaos lusuh yang terlihat seperti tidak disetrika,
bahkan mungkin tidak dicuci dua atau tiga hari. Apalagi kalau melihatnya dengan
celana jeans yang robek tepat di kedua lututnya. Aku merasakan hal yang aneh
seperti kopi pahit ini. Hitam pekat lebih tepatnya seperti jelaga yang menempel
pada tungku perapian. Pahit lekak di tenggorokan, dan jangan harap merasakannya
seperti ice cream yang berasal dari negara penjajah kita yang dijual di mall –
mall besar. Seperti itu lah gambarannya, banyak orang yang seusiaku tak begitu
mengagumi kopi pahit. Tapi aku suka! Aneh? Memang. Demikian halnya dengan laki
–laki tersebut yang sampai sekarang pun aku tak tahu namanya.
Di depan cahaya komputer
yang berpendar begitu temaramnya, aku merasa linglung, dengan tetap berkutat
dengan dokumen – dokumen, file, email, dan semuanya membuat jenuh. Ini sudah
siang, namun nafsu makan pun tak kunjung menghampiri, terkecuali hanya tugas –
tugas kantor yang sudah menunggu beriringan antri untuk segera diselesaikan.
Lekaslah aku habisi mereka, sambil menunggu senja yang akan datang bersama
jingga. Senja, ketika aku bisa bercinta dengan secangkir kopi pahit dan desauan
angin yang berarak menuju ambang cakrawala. Aku hanya tersenyum – senyum sendiri
sambil membayangkan senjaku. Dan kemudian berlalu.
Aku berjalan terseok,
dan baru aku sadari kalau sesiang tadi aku tidak makan. Ah sudah biasa pikirku.
Kemudian aku segera menghampiri café dekat kantor. Seperti biasa, aku duduk
dekat jendela agar bisa menikmati senja yang begitu indah jingganya. Lalu aku
tertawa, mustahil! Mana ada senja jingga di hutan beton seperti ini, hanya ada
beton dan beton. Aku berimajinasi bahwa gedung – gedung tinggi itu adalah nyiur
yang sedang melambai elok. Sedangkan jalanan itu adalah riuh ombak yang sedang berderu
menyapu karang. Hanya ada imajinasi dalam senjaku.
Sambil membaca novel
yang baru aku beli kemarin lusa, aku menyecap dari secangkir kopi pahitku. Tak
berapa lama kemudian aku melihat laki –laki itu lagi. Kali ini dia memakai
pakaian yang sedikit lebih rapi dari pada kemarin. Tetap dengan celana jeans,
namun kali ini tidak robek di bagian lututnya. Dia memakai kaos biasa dan
dengan jaket kulitnya. Agak terkesan aneh menurutku. Apa lagi dengan sepatu
knee bootsnya, lalu satu lagi dengan headband yang melingkar di kepalanya. Aku
hanya merasa heran saja, konsep cafe ini dengan nuansa begitu sangat klasik dan
romatis. Lalu tiba – tiba datang seorang laki –laki yang berdandan ala brandalan
punk rock … whatever apalah itu style-nya.
Dan aku bergumam, jangan – jangan dia akan perform di atas stage cafe ini. Bisa
– bisa dia akan mengacaukan suasana moodku. Lalu aku tersenyum geli, dan
seorang pelayan café sepertinya sedang memperhatikanku. Dia menyebelahiku dan
menyahut sambil berbisik, “perhatikan saja nanti cara dia memainkan melodi
indah dari jemarinya, lantas kau akan hanyut seperti terbawa arus symphony-nya.” Aku hanya bergeming dan
melihatnya berlalu dariku. Benakku masih bergelinjang resah memikirkan apa
maksud pelayan café tersebut.
Tak beberapa lama
kemudian, laki- laki tersebut berjalan menuju sebuah piano yang berada di atas
stage café. Sembari dia mempersiapkan performance-nya,
seorang MC memperkenalkan laki- laki tersebut kepada para pengunjung café. Dan
baru saja aku ketahui namanya adalah Banyu. Yang berarti air. Tak habis pikir
kenapa Banyu tidak memperkenalkan dirinya sendiri saja, sok eksklusif,
celotehku dalam hati. Lalu aku tercengang ketika melihat jari jemari Banyu yang
menari di atas tuts piano. Mengawinkan nada demi nada membentuk symphony yang
indah. Ya! Aku tahu musik itu. Exodus. Aku baru sadar, aku seperti melihat
sesosok Maksim Mrvica pianis terkenal kelahiran Kroasia. Mulai dari cara dia
berpakaian sampai cara memainkan musiknya, sangat mirip.
Masih dengan melarut
dalam alunan denting piano Banyu, aku seakan di bawanya terbang dengan hentakan
– hentakan musiknya. Alunan tuts piano tersebut mulai melemah, dan kulihat
banyu berhenti sejenak dan melambaikan tangannya kepada pelayan café. Aku
mengamati mereka sedang berkomunikasi melalui sebuah kertas. Kertas? Aneh. Sorot
matanya tertuju ke arahku. Kuhiraukan mereka. Aku menyecap kembali kopiku,
tepatnya cangkir kedua yang baru saja kupesan. Selesai Banyu memberi isyarat
kepada pelayan, dan dia kembali menjamah piano tersebut. Kali ini alunannya
lebih lembut, melemah kemudian seperti berbisik ke telingaku. “Somewhere in
time” judul melodi tersebut. Sesaat kemudian pelayan café yang tadi, muncul
dari balik stage dan menghampiriku. Sambil memberikan bunga mawar putih
kepadaku dan kemudian berbisik, “mawar ini dari mas Banyu mbak”. Aku yang masih
terkesima dengan Banyu hanya menjadi linglung dan tak mampu berkata apa –apa
kepada pelayan tersebut. Ada sepucuk kertas yang dikaitkan pada batang mawar
putih itu, “somewhere in time ~ melodi indah untukmu Jingga. J
“ Dari siapa Banyu tahu namaku?
Aku tersadar, lantunan
melodi dari piano Banyu sudah berakhir. Tak kudapati lagi dia di stage. Segera
aku meminta bill dan membayarnya, kemudian segera berlari keluar. Namun pada
saat bersamaan, pelayan café memberikan sepucuk surat untukku. Ya benar, dari
Banyu lagi. Percuma, Banyu sudah pergi dan berlalu begitu saja. Langkah demi
langkah aku berlalu dari café tersebut. Kemudian aku terduduk di sebuah halte
bus, tak sabar aku membuka surat dari Banyu. Baris demi baris kubaca.
***
Dear Jingga,
Maaf hanya sepucuk
surat ini yang bisa mewakili kata-kata yang ingin kusampaikan. Jika kau
mengingatku maka kau akan mengerti.
Aku harap kau tidak
melupakan mawar putih dan lagu “somewhere in time”, yang begitu bersahabat
dengan kita waktu remaja.
Aku memang tidak pandai
merangkai kata, bahkan aku tidak bisa menyanyikan sebuah lagu untukmu,
berbicara pun tidak.
Tapi hanya kau yang
bisa mengerti aku dalam alunan-alunan nadaku. Bersama kita memainkan lagu
“somewhere in time” dengan piano milik ayahmu dan tak lupa sebatang mawar putih
kau letakkan di atas piano tersebut.
Hah, permainanku memang
tak sebagus saat kau memainkannya. Namun kau selalu memberiku semangat bahwa
aku bisa memainkannya dengan lebih sempurna, dan kau memintaku memainkannya
untukmu suatu saat nanti.
Namun tak beberapa lama,
ayahku mengajak pindah ke Prancis. Sampai akhirnya aku bisa bersekolah di
sekolah musik di Boulogne-Billancourt, Prancis, dan lulus dengan gelar Diplôme d’Etudes Musicales
(diploma di bidang musik).
Setelah
itu aku bertekat untuk kembali ke Indonesia untuk mencarimu kembali dan
menepati janjiku. Memainkan lagu “somewhere in time” untukmu. Dan satu hal yang
ingin aku ungkapkan kepadamu, Je t’aime. “I LOVE YOU MY LITTLE PRINCESS” hanya
dengan bahasa isyarat aku bisa ungkapkan, selain juga dengan kertas.
***
Sudah
kuduga Banyu itu kamu! Aku menoleh ke samping, dan kudapati Banyu sedang duduk
di sebelahku tersenyum kepadaku. Langsung saja kudekap erat tubuhnya tanpa
berkata sepatah pun. Kopi pahit itu sudah menemukan pemanisnya. Dan itu lah
kamu Banyu, sang mawar putih yang manis. Banyu mengangkat wajahku dan meberikan
bahasa isyarat kepadaku “aku sayang kamu”. Aku hanyalah kopi pahit yang
membutuhkan kamu mawar putih yang manis untuk pemanisnya.
SEMARANG, 11 Desember
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar