Selasa, 12 Maret 2013

DARI SEPATU BASKET HINGGA DRUM STICK



Malam yang seakan bergelayut sepi mulai menepi di ruang yang tak juga hangat. Sudah hampir tengah malam, namun aku masih saja terjaga dalam tidurku. Mataku terbelalak saat melihat jendela kamar Andro masih terbuka. Andro adalah sahabat karibku, yang kebetulan rumahnya terletak tepat di sebelah rumahku. Seperti biasa, kamarnya bagaikan  studio band yang 24 jam non stop mendentumkan musik yang sangat mengganggu menurutku. Kami kuliah di universitas yang sama, namun berbeda jurusan. Aku memperdalam sastra dan dia sendiri memperdalam ilmu kedokteran. Akan sangat tidak yakin kalau melihat kelakuan dan penampilan Andro, ya dia tidak tampak seperti seorang calon dokter. Banyak orang yang berdecak heran melihat ulahnya itu, terutama ayah dan kakaknya. Memang hanya dengan mereka berdua saja dia tinggal. Orang tuanya sudah bercerai, kakak perempuannya yang bernama Alice ikut ibunya ke Denpasar sedang Andro dan Kak Medha ikut dengan papanya. Lihatlah betapa bengalnya anak itu gumamku, setiap hari tak bosan –bosannya memukuli drum yang sudah seperti pacarnya sendiri. Dengan sedikit merajuk karena berisik permainan drum Andro, kemudian aku kembali menarik selimut dan memulai bercinta dengan malam yang bergelimang pekat.
Kelopak mataku terasa hangat. Seketika aku memandang nanar ke arah jendela, selorot sinar mentari sudah memulai mempertunjukkan tarian paginya kepadaku. Aku terhenyak dari tempat tidur, ini sudah terlalu siang. Jam 8.00 WIB. Pukul 09.30 aku ada kuliah sejarah budaya. Segeralah kuraih handuk beserta perlengkapan mandi, lalu bergegas mandi.
“Nila…” suara ibuku memanggil namaku.
“Iya bu…” sahutku dengan nada datar.
“Itu dicari Andro..” sambil berkata ibu langsung berlalu begitu saja menuju dapur.
“Yah, anak ini jam segini ke rumah, pasti mau nebeng ke kampus”, gerutuku dalam hati. Aku berjalan menghampirinya, melihatnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Rambutnya menjuntai tidak karuan seperti tidak disisir, tapi setiap kutanya dia selalu mengatakan bahwa dia selalu menyisir rambutnya. Kaos oblong, kemeja flannel, celana jeans belel dan juga sepatu skate bermerk, yang notabene adalah merk sepatu pelopor sepatu skate dunia. Asli katanya.  Oh, satu lagi yang tidak pernah dia lupa, skateboard yang selalu dikaitkan di tas ransel buluknya itu. Sepertinya dia selalu ingat membawa skateboardnya ketimbang membawa buku-buku kuliahnya.
“Andro, bukannya kamu kuliah jam 1 ya hari ini? terus ngapain kamu ke sini?” tanyaku ketus kepada Andro.
“Yah, La. Kalau nanti aku berangkat siang terus bareng sama siapa donk?” sahutnya dengan wajah slengekannya.
“Terus mobil sport yang kata kak Medha dibeliin buat kamu itu untuk apa?” aku mulai jengkel kepadanya. Dia hanya diam saja saat aku menyinggung tentang mobil mewahnya. Yang membuatku sangat sebal adalah dia selalu bergantung padaku soal transportasi. Aku menyerangnya dengan pandangan sinis, namun tampaknya itu tidak akan mempan untuknya. “Sore nanti aku ada latihan basket, kalau kamu mau pulang bareng denganku kau harus menungguku sampai nanti malam.” Kataku kepadanya sambil berjalan ke arah motor maticku.
“Nanti aku tungguin aja kamu sampai selesai latihan.” Celotehnya kepadaku sambil membonceng dari belakang.
Keluarga Andro memang terkenal kaya di komplek rumahku, ayahnya adalah pemilik salah satu yayasan rumah sakit terbesar di kotaku. Adapun beberapa perusahaan yang dimilikinya di kota lain.  Tidak heran kalau dia dimanjakan dengan harta. Namun Andro terlihat berbeda sekali dengan kakaknya. Kak Medha, dia adalah atlet basket. Aku berada di club yang sama dengan kak Medha. Banyak wanita yang mengaguminya begitu pula dengan diriku. Dia lebih patuh dengan ayahnya ketimbang Andro yang sering menghujam dengan perang. Kak Medha lebih lembut tingkah lakunya, lebih sopan perkataannya. Kak Medha juga kuliah di kedokteran, namun tidak di universitas yang sama dengan Andro dan aku.
Hari mulai redup cahayanya, senja kali ini di lapangan basket dekat pantai. Serasa uap-uap mengangkasa membuat badanku yang dari tadi lari sana-sini menjadi semakin berkeringat. Ini lah bagian yang tak kusuka kalau latihan basket outdoor, panas menyengat. Sekelebat mata kumelihat Andro yang sedang asik berseluncur dengan papan skatenya, tidak jauh dari lapangan tempat aku berlatih. Anak itu supel sebenarnya, tapi aku lebih banyak melihat dia menyendiri atau sibuk dengan hobbynya. Sekilas melihatnya tanpa berpikir apa-apa, lalu kuhiraukannya.
Sepulang dari latihan aku mampir ke coffee shop dulu, mau tak mau, suka tak suka Andro harus ikut denganku. Aku memesan secangkir espresso, kopi yang begitu luar biasa untuk sebuah ketenangan. Espresso yang berarti express atau cepat. Kopi yang dibuat melalui proses ekstraksi biji kopi yang sudah digiling dengan menyemburkan air bersuhu panas di bawah tekanan tinggi. Begitu unik rasanya, aku sampai tergila-gila dengan kopi itu. Lain halnya dengan Andro, dia memilih memesan secangkir hot chocolate. Dengan alasan klasik tentunya, karena tidak suka dengan kopi.
“La, kamu kenapa sih suka banget sama kopi?” Tanya Andro dengan lugas, sambil memegang dan sebentar mengelus-elus stick drumnya yang mulai retak.
“Ya suka aja, kamu tahu kan kopi. Rasanya itu begitu mengikat di lidah, lumer menyatu dengan mulut. Aku kasih tau nih keunikan kopi menurut aku sendiri. kopi bisa dibikin jadi apa saja, mau dicampur dengan bahan apa saja bisa. Tapi uniknya walau sudah dicampur dengan susu, cream atau bahan olahan lainnya, rasa kopi itu tetap kuat. Seperti prinsip menurutku. Hahahah”, jelasku panjang kepada Andro.
“hahah bisa aja kamu, mengkaitkan kopi dengan prinsip. Puiiiih” Celoteh Andro dengan gurauannya.
“Eh, tiga hari lagi kan kak Medha ulang tahun ya?” tanyaku di tengah gurauan kami.
“Kok kamu lebih inget sih ketimbang aku.” Sahut Andro dengan mimik yang berubah menjadi suram.
“Ya itu masalah kamu donk, masa iya ulang tahun kakak kamu sendiri enggak inget. PR banget tuh.” Selorohku kepada Andro, “Terus menurut kamu aku kasih kado apa ya Ndro?”
“Ya itu masalah kamu donk.” Perkataan Andro sungguh tidak enak didengar, apalagi untuk diingat. Aku tahu dia kesal kepadaku saat menyinggung dia dengan kakaknya. Dasar anak aneh, gumamku.
Seketika itu aku dan Andro berlalu dari hiruk pikuk coffee shop. Kembali turun ke jalan menikmati gemerlapan lampu kota dan riuh padatnya atmosphere kota yang senantiasa semakin menggempur. Lalu kemudian sesampainya di rumah kembalilah aku berkutat dengan malam dan akan bertemu lagi dengan pagi.
Hari ini aku baru ingat, ternyata Andro berulang tahun besok. Ya, benar. Sehari sebelum ulang tahun Kak Medha. Ah, pantas saja semalam dia sewot. Aku tak habis pikir bisa melupakan ulang tahun sahabatku sendiri. Kebetulan hari ini cuma ada satu mata kuliah, dan itu pun kosong. Aku berangkat ke kampus agak siang untuk mengumpulkan tugas dari dosen yang begitu sangat menyesakkan otak. Hampir tidak berotak mungkin. Tugas, tugas dan tugas.
Teriknya sinar mentari lagi-lagi menyengat di permukaan kulitku. Terasa ubun-ubun mau pecah. Kali ini Andro tidak ikut denganku, aku melarangnya. Walau sedikit keras caraku melarangnya, dan dia pun terlihat sedikit marah kepadaku. Sewaktu akan menuju tempat parkir tanpa sengaja aku melihat sepeda fixie-nya diparkir di depan ruang kelasnya. Hanya senyum geli menghiasi lubuk hatiku dan agak sedikit heran memang. Dia tak pernah menggunakan fasilitas yang diberikan ayahnya. Apapun itu. Semuanya dia beli dari jerih keringatnya, mulai dari festival band sampai honor dia manggung di café-café atau juga event musik. Aku bisa bernafas lega, setidaknya hari ini aku bisa terbebas dari Andro. Rencananya hari ini aku ingin pergi ke mall untuk membeli kado.
Waktu silih berganti, beserta derai-derai hembusan musim. Sebentar hujan, sebentar lagi panas. Benakku semakin menyeruak, hari ini tepat hari ulang tahun Andro namun tak kulihat lagi batang hidungnya dari tadi pagi. Mendung yang sedang bergemuruhkan senandung mulai menitikkan tangis hujan yang tak terbendung. Padahal aku berniat mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya. Apa mungkin dia benar-benar marah ketika aku melarangnya untuk ikut denganku. Ah Andro, macam anak kecil saja dia. Pikirku aku akan mendatangi rumahnya nanti malam saja. Seraya menggenggam kado untuk Andro, aku berjalan terhuyung menuju halaman rumah dan lalu lesap dari balik pintu.
Senja telah berlalu, jingga pun tak mengadu. Hanya ada berkas-berkas dedaunan yang berjatuhan di pelataran rumahku. Seloroh angin sisa hujan tadi pun tak mau kalah mengisi petang yang melebam. Hari ini sehari setelah ulang tahun Kak Medha. Semenjak aku melarang Andro untuk ikut pergi bersamaku, sampai sekarang pun aku belum bertemu dengannya. Aku semakin gelisah sembari memandang kado yang masih terbungkus rapi di atas mejaku. Ya tentu saja, kado itu untuk Andro. Kemarin saat kutemui Kak Medha dan memberikannya kado kepadanya, aku tak melihat gelagat Andro sama sekali di rumah itu. Kata Kak Medha sih dia sedang sibuk dengan bandnya yang sebentar lagi akan mengikuti festival musik. Ah, tak mungkin hanya karena hal tersebut dia sampai menghiraukanku seperti ini. Semua rencanaku terbengkalai. Aku hanya bisa merajuk pada diri sendiri di dalam kubus beton yang tak satu pun penawar rindu mau bersinggah.
Aku terhenyak, ketika dering ponselku seperti menghardikku mati-matian. Nama Kak Medha muncul di layar ponselku. Bergegaslah aku menjawab telepon darinya. Suara Kak Medha terdengar lirih menggerus relungku. Aku sesenggukan mendengar sepatah demi sepatah kata dari suara kak Medha. Titikan air yang bermuara dari sudut mataku mengalir tanpa meminta ijin kepadaku. Tanpa ada perintah dari otakku, aku langsung berlari keluar. Sebungkus kado spesial untuk Andro pun masih tetap tak luput dari genggaman.
Langkahku lunglai, ketika aku berada di ambang pintu ruang yang begitu menebarkan aroma menyengat dari obat-obatan. Terasa semakin sesak dadaku, seperti mengendap pada palung laut yang terdalam dan tidak akan pernah menyembul ke permukaan lagi. Lebih-lebih melihat tubuh Andro yang lemah gontai tak bertenaga terbaring di atas ranjang rumah sakit, semakin pilu. Tangan kanannya terbalut dengan gips, beberapa luka dan memar juga menambah ketidakberdayaan Andro. Sedih terlampau sedih. Andro terbangun, sesaat aku mendekat kapadanya. Tanpa sepatah kata bisa aku ucapkan, hanya ada deraian air mata yang berbulir dan lalu jatuh ke pipi hingga dagu.
“La, kamu ngapain nangis?” Tanya Andro kepadaku dengan suara lirihnya.
Aku hanya menggeleng sembari menghapus air mata yang menghujani wajahku.
“Aku nggak apa-apa La.” Sepatah kata darinya semakin menghujamku.
Bagaimana bisa dia bilang kalau dia tidak apa-apa kalau kondisinya saja seperti itu. Sebuah mobil menyerempetnya hingga jatuh tergelepar tersungkur di aspal.
“Maaf Andro, kamu pasti marah denganku?” kata-kataku meluncur dengan terbata.
“Minta maaf untuk apa? Kalau soal Nike basketball Hyper fuse terbaru yang kau hadiahkan untuk kak Medha sih udah nggak aku permasalahkan. Walaupun aku agak sebel sih, ultahku aja kamu nggak inget. Hehehehe” Cletuk Andro yang membuatku berkesimpulan bahwa ini adalah kesalahpahaman.
“Aku? Sepatu itu?” gumamku dan sambil menghela nafas, “Andro, sepatu itu bukan aku yang hadiahkan. Itu sepatu dari sepupuku Yohana, kau ingat kan dulu aku pernah cerita kalau dia naksir dengan Kak Medha. Dia menitipkannya kepadaku, karena dia tidak bisa memberikannya langsung. Dia pindah ke Padang Ndro. Atau kau marah padaku, saat kau tak ku ijinkan berangkat ke kampus denganku dan tak memberi ucapan ulang tahun kepadamu, atau kamu cemburu?”
“Iya mungkin.” Sahutnya datar sekali.
Aku hanya menggelengkan kepala sembari memberikan kado yang terbungkus dengan kertas warna biru. Andro memandang nanar kado itu dengan kerut di keningnya, seakan tak mengerti apa maksudku.
“La, kamu gag lihat tanganku ini? bukain gih.” Selorohnya dengan masih bisa bergurau kepadaku. Sembari membuka kado tersebut di hadapannya aku tersenyum geli, lupa kalau tangannya cedera.
“Taraaaaaa, Promark TX420N Hirocky 420 Mike Portnoy Nylon untukmu Andro.” Kataku lengkap menyebutkan merk dan tipe, sambil mengacungkan drum stick kepadanya, “Aku bukannya lupa kalau kamu ultah, aku tahu kamu marah dan salah paham saat tak mengijinkanmu ikut denganku dan mulai saat itu kau sulit kutemui. Aku bingung.”
“Karena kamu nggak tahu, kalau sebenarnya…… kalau sebenarnya aku sayang sama kamu. Tapi aku urungkan niat untuk menyatakannya kepadamu, karena aku tahu kalau kamu suka sama kakakku.” Mata Andro berkaca-kaca sembari tangan kirinya menggenggam tangaku. Aku hanya terdiam dan kemudian mendekap tubuhnya yang terbaring di atas ranjang. Sesaat itu pun aku berbisik kepadanya, “Aku juga sayang kamu Andro.”
“Lalu kak Medha?”
“Kami memang tidak ada apa-apa, jadi ya memang tidak ada apa-apa.” Sahutku kepadanya.
“Nila sering minta pendapat kepadaku untuk menghadapi sifat kanak-kanakmu itu Ndro.” Suara kak Andro tiba-tiba muncul dari arah pintu. Senyum Andro menghiasi raut yang sedang tersipu malu.
“La, terus gimana aku bisa main drum lagi kalau tanganku aja masih kayak gini, apalagi festival musik yang akan segera berlangsung.” Wajah Andro agak sedikit murung.
“Sudahlah, kamu sabar dulu, soal festival musik itu kamu bisa ikut tahun depan kan. Semangat donk.” Kataku memberi semangat.
“Makasih La. Anyway, kok kamu beliin yang tipe ini sih padahal aku pengen Vater VHP5AW Hickory power 5A wood Tip” Celotehnya tak karuan dengan tetap dengan nada bercandanya yang khas.
“Ah, ini anak bawel banget, biasa pake Vic Firth abal-abal aja pake belagu. Lagian setahuku mahalan yang dikasih Nila ke kamu.” Cletuk kak Medha menyambut gurauan demi gurauan.
Kami bertiga rantam tertawa dengan guyonan-guyonan yang terlontar di dalam ruangan Andro. Akhirnya semuanya terjawab. Segala sesuatu yang kita rasa, tidak akan pernah sia-sia ketika kita ungkapkan dengan sebuah ketulusan.

SEMARANG, 19 DESEMBER 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar