Malam yang seakan bergelayut
sepi mulai menepi di ruang yang tak juga hangat. Sudah hampir tengah malam,
namun aku masih saja terjaga dalam tidurku. Mataku terbelalak saat melihat
jendela kamar Andro masih terbuka. Andro adalah sahabat karibku, yang kebetulan
rumahnya terletak tepat di sebelah rumahku. Seperti biasa, kamarnya
bagaikan studio band yang 24 jam non
stop mendentumkan musik yang sangat mengganggu menurutku. Kami kuliah di
universitas yang sama, namun berbeda jurusan. Aku memperdalam sastra dan dia
sendiri memperdalam ilmu kedokteran. Akan sangat tidak yakin kalau melihat
kelakuan dan penampilan Andro, ya dia tidak tampak seperti seorang calon
dokter. Banyak orang yang berdecak heran melihat ulahnya itu, terutama ayah dan
kakaknya. Memang hanya dengan mereka berdua saja dia tinggal. Orang tuanya
sudah bercerai, kakak perempuannya yang bernama Alice ikut ibunya ke Denpasar
sedang Andro dan Kak Medha ikut dengan papanya. Lihatlah betapa bengalnya anak
itu gumamku, setiap hari tak bosan –bosannya memukuli drum yang sudah seperti
pacarnya sendiri. Dengan sedikit merajuk karena berisik permainan drum Andro, kemudian
aku kembali menarik selimut dan memulai bercinta dengan malam yang bergelimang
pekat.
Kelopak mataku terasa
hangat. Seketika aku memandang nanar ke arah jendela, selorot sinar mentari
sudah memulai mempertunjukkan tarian paginya kepadaku. Aku terhenyak dari
tempat tidur, ini sudah terlalu siang. Jam 8.00 WIB. Pukul 09.30 aku ada kuliah
sejarah budaya. Segeralah kuraih handuk beserta perlengkapan mandi, lalu
bergegas mandi.
“Nila…” suara ibuku
memanggil namaku.
“Iya bu…” sahutku
dengan nada datar.
“Itu dicari Andro..” sambil
berkata ibu langsung berlalu begitu saja menuju dapur.
“Yah, anak ini jam
segini ke rumah, pasti mau nebeng ke kampus”, gerutuku dalam hati. Aku berjalan
menghampirinya, melihatnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Rambutnya
menjuntai tidak karuan seperti tidak disisir, tapi setiap kutanya dia selalu
mengatakan bahwa dia selalu menyisir rambutnya. Kaos oblong, kemeja flannel,
celana jeans belel dan juga sepatu skate bermerk, yang notabene adalah merk
sepatu pelopor sepatu skate dunia. Asli katanya. Oh, satu lagi yang tidak pernah dia lupa,
skateboard yang selalu dikaitkan di tas ransel buluknya itu. Sepertinya dia
selalu ingat membawa skateboardnya ketimbang membawa buku-buku kuliahnya.
“Andro, bukannya kamu
kuliah jam 1 ya hari ini? terus ngapain kamu ke sini?” tanyaku ketus kepada
Andro.
“Yah, La. Kalau nanti
aku berangkat siang terus bareng sama siapa donk?” sahutnya dengan wajah
slengekannya.
“Terus mobil sport yang
kata kak Medha dibeliin buat kamu itu untuk apa?” aku mulai jengkel kepadanya. Dia
hanya diam saja saat aku menyinggung tentang mobil mewahnya. Yang membuatku
sangat sebal adalah dia selalu bergantung padaku soal transportasi. Aku
menyerangnya dengan pandangan sinis, namun tampaknya itu tidak akan mempan
untuknya. “Sore nanti aku ada latihan basket, kalau kamu mau pulang bareng
denganku kau harus menungguku sampai nanti malam.” Kataku kepadanya sambil
berjalan ke arah motor maticku.
“Nanti aku tungguin aja
kamu sampai selesai latihan.” Celotehnya kepadaku sambil membonceng dari
belakang.
Keluarga Andro memang
terkenal kaya di komplek rumahku, ayahnya adalah pemilik salah satu yayasan
rumah sakit terbesar di kotaku. Adapun beberapa perusahaan yang dimilikinya di
kota lain. Tidak heran kalau dia
dimanjakan dengan harta. Namun Andro terlihat berbeda sekali dengan kakaknya.
Kak Medha, dia adalah atlet basket. Aku berada di club yang sama dengan kak
Medha. Banyak wanita yang mengaguminya begitu pula dengan diriku. Dia lebih
patuh dengan ayahnya ketimbang Andro yang sering menghujam dengan perang. Kak
Medha lebih lembut tingkah lakunya, lebih sopan perkataannya. Kak Medha juga
kuliah di kedokteran, namun tidak di universitas yang sama dengan Andro dan
aku.
Hari mulai redup
cahayanya, senja kali ini di lapangan basket dekat pantai. Serasa uap-uap
mengangkasa membuat badanku yang dari tadi lari sana-sini menjadi semakin
berkeringat. Ini lah bagian yang tak kusuka kalau latihan basket outdoor, panas
menyengat. Sekelebat mata kumelihat Andro yang sedang asik berseluncur dengan
papan skatenya, tidak jauh dari lapangan tempat aku berlatih. Anak itu supel
sebenarnya, tapi aku lebih banyak melihat dia menyendiri atau sibuk dengan
hobbynya. Sekilas melihatnya tanpa berpikir apa-apa, lalu kuhiraukannya.
Sepulang dari latihan
aku mampir ke coffee shop dulu, mau tak mau, suka tak suka Andro harus ikut
denganku. Aku memesan secangkir espresso, kopi yang begitu luar biasa untuk
sebuah ketenangan. Espresso yang berarti express atau cepat. Kopi yang dibuat
melalui proses ekstraksi biji kopi yang sudah digiling dengan menyemburkan air bersuhu
panas di bawah tekanan tinggi. Begitu unik rasanya, aku sampai tergila-gila
dengan kopi itu. Lain halnya dengan Andro, dia memilih memesan secangkir hot
chocolate. Dengan alasan klasik tentunya, karena tidak suka dengan kopi.
“La, kamu kenapa sih
suka banget sama kopi?” Tanya Andro dengan lugas, sambil memegang dan sebentar
mengelus-elus stick drumnya yang mulai retak.
“Ya suka aja, kamu tahu
kan kopi. Rasanya itu begitu mengikat di lidah, lumer menyatu dengan mulut. Aku
kasih tau nih keunikan kopi menurut aku sendiri. kopi bisa dibikin jadi apa
saja, mau dicampur dengan bahan apa saja bisa. Tapi uniknya walau sudah
dicampur dengan susu, cream atau bahan olahan lainnya, rasa kopi itu tetap
kuat. Seperti prinsip menurutku. Hahahah”, jelasku panjang kepada Andro.
“hahah bisa aja kamu,
mengkaitkan kopi dengan prinsip. Puiiiih” Celoteh Andro dengan gurauannya.
“Eh, tiga hari lagi kan
kak Medha ulang tahun ya?” tanyaku di tengah gurauan kami.
“Kok kamu lebih inget
sih ketimbang aku.” Sahut Andro dengan mimik yang berubah menjadi suram.
“Ya itu masalah kamu
donk, masa iya ulang tahun kakak kamu sendiri enggak inget. PR banget tuh.”
Selorohku kepada Andro, “Terus menurut kamu aku kasih kado apa ya Ndro?”
“Ya itu masalah kamu
donk.” Perkataan Andro sungguh tidak enak didengar, apalagi untuk diingat. Aku
tahu dia kesal kepadaku saat menyinggung dia dengan kakaknya. Dasar anak aneh, gumamku.
Seketika itu aku dan
Andro berlalu dari hiruk pikuk coffee shop. Kembali turun ke jalan menikmati
gemerlapan lampu kota dan riuh padatnya atmosphere kota yang senantiasa semakin
menggempur. Lalu kemudian sesampainya di rumah kembalilah aku berkutat dengan
malam dan akan bertemu lagi dengan pagi.
Hari ini aku baru
ingat, ternyata Andro berulang tahun besok. Ya, benar. Sehari sebelum ulang
tahun Kak Medha. Ah, pantas saja semalam dia sewot. Aku tak habis pikir bisa
melupakan ulang tahun sahabatku sendiri. Kebetulan hari ini cuma ada satu mata
kuliah, dan itu pun kosong. Aku berangkat ke kampus agak siang untuk
mengumpulkan tugas dari dosen yang begitu sangat menyesakkan otak. Hampir tidak
berotak mungkin. Tugas, tugas dan tugas.
Teriknya sinar mentari
lagi-lagi menyengat di permukaan kulitku. Terasa ubun-ubun mau pecah. Kali ini
Andro tidak ikut denganku, aku melarangnya. Walau sedikit keras caraku
melarangnya, dan dia pun terlihat sedikit marah kepadaku. Sewaktu akan menuju
tempat parkir tanpa sengaja aku melihat sepeda fixie-nya diparkir di depan ruang
kelasnya. Hanya senyum geli menghiasi lubuk hatiku dan agak sedikit heran
memang. Dia tak pernah menggunakan fasilitas yang diberikan ayahnya. Apapun
itu. Semuanya dia beli dari jerih keringatnya, mulai dari festival band sampai
honor dia manggung di café-café atau juga event musik. Aku bisa bernafas lega,
setidaknya hari ini aku bisa terbebas dari Andro. Rencananya hari ini aku ingin
pergi ke mall untuk membeli kado.
Waktu silih berganti,
beserta derai-derai hembusan musim. Sebentar hujan, sebentar lagi panas.
Benakku semakin menyeruak, hari ini tepat hari ulang tahun Andro namun tak
kulihat lagi batang hidungnya dari tadi pagi. Mendung yang sedang bergemuruhkan
senandung mulai menitikkan tangis hujan yang tak terbendung. Padahal aku
berniat mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya. Apa mungkin dia benar-benar
marah ketika aku melarangnya untuk ikut denganku. Ah Andro, macam anak kecil
saja dia. Pikirku aku akan mendatangi rumahnya nanti malam saja. Seraya
menggenggam kado untuk Andro, aku berjalan terhuyung menuju halaman rumah dan
lalu lesap dari balik pintu.
Senja telah berlalu,
jingga pun tak mengadu. Hanya ada berkas-berkas dedaunan yang berjatuhan di
pelataran rumahku. Seloroh angin sisa hujan tadi pun tak mau kalah mengisi
petang yang melebam. Hari ini sehari setelah ulang tahun Kak Medha. Semenjak
aku melarang Andro untuk ikut pergi bersamaku, sampai sekarang pun aku belum
bertemu dengannya. Aku semakin gelisah sembari memandang kado yang masih
terbungkus rapi di atas mejaku. Ya tentu saja, kado itu untuk Andro. Kemarin
saat kutemui Kak Medha dan memberikannya kado kepadanya, aku tak melihat
gelagat Andro sama sekali di rumah itu. Kata Kak Medha sih dia sedang sibuk
dengan bandnya yang sebentar lagi akan mengikuti festival musik. Ah, tak
mungkin hanya karena hal tersebut dia sampai menghiraukanku seperti ini. Semua
rencanaku terbengkalai. Aku hanya bisa merajuk pada diri sendiri di dalam kubus
beton yang tak satu pun penawar rindu mau bersinggah.
Aku terhenyak, ketika
dering ponselku seperti menghardikku mati-matian. Nama Kak Medha muncul di
layar ponselku. Bergegaslah aku menjawab telepon darinya. Suara Kak Medha terdengar
lirih menggerus relungku. Aku sesenggukan mendengar sepatah demi sepatah kata
dari suara kak Medha. Titikan air yang bermuara dari sudut mataku mengalir
tanpa meminta ijin kepadaku. Tanpa ada perintah dari otakku, aku langsung
berlari keluar. Sebungkus kado spesial untuk Andro pun masih tetap tak luput
dari genggaman.
Langkahku lunglai,
ketika aku berada di ambang pintu ruang yang begitu menebarkan aroma menyengat
dari obat-obatan. Terasa semakin sesak dadaku, seperti mengendap pada palung
laut yang terdalam dan tidak akan pernah menyembul ke permukaan lagi.
Lebih-lebih melihat tubuh Andro yang lemah gontai tak bertenaga terbaring di
atas ranjang rumah sakit, semakin pilu. Tangan kanannya terbalut dengan gips,
beberapa luka dan memar juga menambah ketidakberdayaan Andro. Sedih terlampau
sedih. Andro terbangun, sesaat aku mendekat kapadanya. Tanpa sepatah kata bisa
aku ucapkan, hanya ada deraian air mata yang berbulir dan lalu jatuh ke pipi
hingga dagu.
“La, kamu ngapain
nangis?” Tanya Andro kepadaku dengan suara lirihnya.
Aku hanya menggeleng
sembari menghapus air mata yang menghujani wajahku.
“Aku nggak apa-apa La.”
Sepatah kata darinya semakin menghujamku.
Bagaimana bisa dia
bilang kalau dia tidak apa-apa kalau kondisinya saja seperti itu. Sebuah mobil
menyerempetnya hingga jatuh tergelepar tersungkur di aspal.
“Maaf Andro, kamu pasti
marah denganku?” kata-kataku meluncur dengan terbata.
“Minta maaf untuk apa?
Kalau soal Nike basketball Hyper fuse terbaru yang kau hadiahkan untuk kak Medha
sih udah nggak aku permasalahkan. Walaupun aku agak sebel sih, ultahku aja kamu
nggak inget. Hehehehe” Cletuk Andro yang membuatku berkesimpulan bahwa ini adalah
kesalahpahaman.
“Aku? Sepatu itu?”
gumamku dan sambil menghela nafas, “Andro, sepatu itu bukan aku yang hadiahkan.
Itu sepatu dari sepupuku Yohana, kau ingat kan dulu aku pernah cerita kalau dia
naksir dengan Kak Medha. Dia menitipkannya kepadaku, karena dia tidak bisa
memberikannya langsung. Dia pindah ke Padang Ndro. Atau kau marah padaku, saat kau
tak ku ijinkan berangkat ke kampus denganku dan tak memberi ucapan ulang tahun
kepadamu, atau kamu cemburu?”
“Iya mungkin.” Sahutnya
datar sekali.
Aku hanya menggelengkan
kepala sembari memberikan kado yang terbungkus dengan kertas warna biru. Andro
memandang nanar kado itu dengan kerut di keningnya, seakan tak mengerti apa
maksudku.
“La, kamu gag lihat
tanganku ini? bukain gih.” Selorohnya dengan masih bisa bergurau kepadaku.
Sembari membuka kado tersebut di hadapannya aku tersenyum geli, lupa kalau tangannya
cedera.
“Taraaaaaa, Promark
TX420N Hirocky 420 Mike Portnoy Nylon untukmu Andro.” Kataku lengkap
menyebutkan merk dan tipe, sambil mengacungkan drum stick kepadanya, “Aku
bukannya lupa kalau kamu ultah, aku tahu kamu marah dan salah paham saat tak
mengijinkanmu ikut denganku dan mulai saat itu kau sulit kutemui. Aku bingung.”
“Karena kamu nggak
tahu, kalau sebenarnya…… kalau sebenarnya aku sayang sama kamu. Tapi aku
urungkan niat untuk menyatakannya kepadamu, karena aku tahu kalau kamu suka
sama kakakku.” Mata Andro berkaca-kaca sembari tangan kirinya menggenggam
tangaku. Aku hanya terdiam dan kemudian mendekap tubuhnya yang terbaring di
atas ranjang. Sesaat itu pun aku berbisik kepadanya, “Aku juga sayang kamu
Andro.”
“Lalu kak Medha?”
“Kami memang tidak ada
apa-apa, jadi ya memang tidak ada apa-apa.” Sahutku kepadanya.
“Nila sering minta
pendapat kepadaku untuk menghadapi sifat kanak-kanakmu itu Ndro.” Suara kak
Andro tiba-tiba muncul dari arah pintu. Senyum Andro menghiasi raut yang sedang
tersipu malu.
“La, terus gimana aku
bisa main drum lagi kalau tanganku aja masih kayak gini, apalagi festival musik
yang akan segera berlangsung.” Wajah Andro agak sedikit murung.
“Sudahlah, kamu sabar
dulu, soal festival musik itu kamu bisa ikut tahun depan kan. Semangat donk.” Kataku
memberi semangat.
“Makasih La. Anyway,
kok kamu beliin yang tipe ini sih padahal aku pengen Vater VHP5AW Hickory power
5A wood Tip” Celotehnya tak karuan dengan tetap dengan nada bercandanya yang
khas.
“Ah, ini anak bawel
banget, biasa pake Vic Firth abal-abal aja pake belagu. Lagian setahuku mahalan
yang dikasih Nila ke kamu.” Cletuk kak Medha menyambut gurauan demi gurauan.
Kami bertiga rantam
tertawa dengan guyonan-guyonan yang terlontar di dalam ruangan Andro. Akhirnya
semuanya terjawab. Segala sesuatu yang kita rasa, tidak akan pernah sia-sia
ketika kita ungkapkan dengan sebuah ketulusan.
SEMARANG, 19 DESEMBER
2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar