“Siapa
sih itu?”
“Mana?”
“Cewek
di seberang meja kita. Yang lagi sibuk ngetik.”
Suara
kedua laki-laki itu terdengar lamat-lamat dari telingaku, karena suasana kafe
yang riuh melenguh. Sesekali aku memperhatikan mereka sembari menghisap puntung
rokok yang masih setengah di tanganku. Tanpa sadar salah satu dari antara
mereka mengarahkan kamera DSLR
kepadaku dan flash yang berasal dari kamera tersebut membuatku terkesiap. Langkahnya
gontai menghampiriku. Sepertinya sedikit mabuk, tapi tidak ada botol chivas regal, cointreau, Red Label, atau
semacam minuman yang saya sebut tadi di mejanya. Dia sudah duduk di depanku begitu
saja. Sedikit risih memang, namun tetap mencoba untuk tenang. Tiba-tiba saja ia
mengulurkan tangan. “Dave” Tanganku menyambutnya, “Violet”.
Ayahku keturunan Tionghoa-Belanda,
sedang ibuku seorang jawa pribumi. Aku lahir dari keluarga yang sederhana,
walaupun konon katanya kakekku adalah seorang pengusaha kaya yang terkenal pada
jamannya. Namun hal tersebut tidak membuatku hidup bergelimangan harta. Koleps.
Paling tidak cukup untuk hidup sehari-hari itu sudah bersyukur sekali. Sejarah
yang diukir oleh keluargaku tersebut mengajarkanku bahwa segala yang ada di
dunia ini tidaklah kekal. Punya banyak perusahaan, harta melimpah,
sampai-sampai satu orang anak diberi satu orang kacung, padahal ada enam anak
kalau saya tidak salah ingat. Lalu, mobil-mobil keluaran Eropa dan Amerika
berjejer memenuhi garasi, padahal pada saat itu punya mobil satu saja sudah
bisa disebut mentereng. Beberapa lemari
berisi jas, dasi, sepatu dan jam tangan yang bisa dilihat labelnya bertuliskan
‘made in Paris’, ‘made in Italy’, ‘made in Germany’. Tapi kekikiran seorang
manusia yang tega berhianat kepada saudaranya sendiri membuat semua yang fana
itu lenyap. Perusahaan ‘Naga’ yang dipersiapkan untuk anak laki-lakinya tiba-tiba diambil alih oleh saudara
sepupunya. Hingga sampai pada suatu saat Pengusaha kaya yang kupanggil dengan
‘engkong’ tersebut jatuh sakit. Dan pada akhirnya semuanya menjadi hancur.
Hingga tidak ada jejaknya sama sekali. Hanya ada perusahaan ‘Naga’ tersebut
masih berdiri gagah di kota Jakarta. Itupun bukan lagi atas nama beliau. Dunia
itu kejam. Dunia mengajarkanku menjadi orang yang keras, namun tidak melupakan
sosialitas……..
“Hey!
Serius amat nih.” Suara Dave memecahkan konsentrasiku.
“Bawel
ih. Nggak lihat apa aku lagi bikin tulisan.” Mataku melotot ke arah Dave
sembari melepas kacamataku.
“Iya Sorry. Cerita apa ini Vi?”
“Cerita
pendek, mau aku kirim untuk lomba cerpen.”
“Tentang
kamu ?”
“Ih
pengen tahu aja deh. Ntar kalau udah kelar aku kasih lihat deh.” Lalu aku segera
membereskan dan memasukan barang-barang yang tergeletak di meja ke dalam tas
ranselku.
“Yuh
makan siang, sambil aku mau omongin konsep foto buat kamu. Aku nggak betah
lama-lama di perpustakaan ini.”
“Konsep
apaan? Aku kan udah bilang nggak mau
difoto sama fotografer gadungan kayak kamu.” Sambil pelan memukulkan majalah ke
kepala Dave aku segera melangkah keluar, Dave pun menyusulku.
***
Sinar
lembut yang berpendar dari softbox, yang diatur sedemikian rupa membuat terang
benderang menyorot tubuhku. Lagi-lagi cahaya flash menyentak pupilku hingga
menciut, ketika Dave sibuk memencet tombol shutter dari kameranya. Aku menerima
tawaran Dave untuk dijadikannya modelnya. Untuk melengkapi portofolio katanya,
dan saat melihat konsepnya aku langsung tertarik. Ya aku pikir apa salahnya
membantu teman. Waktu dua bulan menurutku
sudah cukup untuk mengenal Dave. Begitu juga karya-karyanya yang tidak
sekedar menampilkan kecantikan model-modelnya, namun aku bisa melihat proporsi
dan komposisi dalam gambar tersebut yang begitu harmonis. Aku bisa melihat dan
merasakan bahwa Dave memiliki jiwa seni yang tinggi.
Dibantu
dengan Roby sebagai asistennya, dia membangun studio foto yang berperalatan
lengkap. Ya maklum saja, Dave anak orang kaya. Hampir semua peralatan yang
berhubungan dengan photography dia punya. Aku tak habis pikir, dengan peralatan
yang mahal tersebut dan dengan sedikit latihan, aku yakin hasilnya akan bagus.
Hal itu sudah terdengar biasa bukan. Namun akan berbeda lagi jika dengan segala
keterbatasan alat, diolah dengan tangan yang tepat, dan hasilnya bisa maksimal.
Nah itu baru disebut dengan luar biasa. Tapi bukan berarti Dave termasuk
photographer yang digolongkan manja dengan kemewahan alat. Dengan camera pocket pun hasilnya jepretannya
tidak kalah bagus. Menjadikan lukisan cahaya itu begitu bernilai.
Sore
ini aku memutuskan hanya ingin berdiam di kamar saja sambil menyelesaikan
tulisanku. Rinai hujan, lembab bau tanah menciptakan atmosphere yang meriak
dalam otakku. Begitu banyak ide yang membuncah tak sabar ingin keluar. Kamar
kost berbentuk kubus beton yang lebih menyerupai gudang, lantas tak membuat passion-ku padam begitu saja. Menurutku
dimana pun imaginasi dan ide bisa tercurah. Yang memerintah adalah otak kita,
bukan suasana sekitar kita. Aku bisa menciptakan atmosphere-ku sendiri dengan
jalan pikiranku sendiri.
Ketika
jari-jemariku menari di atas keyboard
laptop, tiba-tiba Dave sudah ada di belakangku. Kepalanya melongok begitu
saja ke arah layar laptop. Serontak badanku menyembul ke atas karena kaget.
“Ketok
pintu dulu kek!” Tungkasku kepada Dave dengan jengkel.
“Ya
abisnya itu pintu nggak ditutup, aku panggil nggak denger. Ya udah aku masuk
gitu aja.”
“Iya,
sengaja aku buka pintunya, biar hawa luar bisa masuk.”
“Eh
Vi, aku ke sini mau cerita ke kamu tentang portofolioku.”
“Cerita
apa? Ya udah cerita aja deh, aku dengerin.”
“Jadi
gini, kemarin pagi aku dapet email dari designer terkenal. Dia ngeliat
portofolioku di web yang memang aku buat khusus untuk promosiin hasil karyaku.
Tadi siang aku udah ketemu sama orang itu, dia setuju make jasaku untuk bikin
katalog rancangan busananya. Nah ini nih yang paling penting, dia mau modelnya
itu kamu.”
“Haaa?”
“Ha
he ho ha he ho, dia mau besok lusa kita udah siap. Kamu mau kan bantu aku?
Masalah duit gampang deh. Nanti kita bagi tiga, Aku, Roby, Kamu. Adil kan.”
“Gila
kamu, kenapa nggak tanya aku dulu setuju atau enggak. Maen deal-deal-an seenaknya.” Kataku pada Dave, sembari meraih cangkir
berisi kopi tubruk.
“Ini
kesempatan Vi, nggak semua model bisa gampang banget mengenakan busana
rancangannya. Dia kan memang terkenal nyentrik dalam memilih model. Gimana?
Coba deh pikirin dulu. Kesempatan nggak datang dua kali.”
*hening*
Hanya ada suara rerintik hujan. Risau angin yang berhembus, menyibak reruntuhan
kabut yang mulai menebal di otakku. Larut-hanyut-larut-hanyut kemudian pergi.
Di
tengah lambungan mimpi sisa semalam, aku terhenyak dari antaranya. Suara dari
ponselku menghardik berulang-ulang, dari Dave. Sepuluh menit lagi dia akan
sampai di kostku, aku disuruh bersiap-siap untuk pemotretan. Seenaknya sendiri
dia memerintahku, tanpa memberitahukan jam pemotretannya terlebih dahulu.
Segeralah aku pergi mandi dan bersiap-siap. Namun baru saja aku meraih handuk,
Dave sudah berada di ambang pintu kamar kostku.
“Wiliiih,
dasar kamu kebo Vi, kalo nggak aku bangunin pasti deh tu nggak bangun.”
“Lagian
juga kamu mendadak gitu kabarinnya. Nggak kasih tahu jam berapa mulainya.”
Sahutku sambil berjalan melangkah ke kamar mandi.
“Heh,
baca tuh message di ponsel kamu. Perasaan juga tidur awal, bangun juga masih
bisa siang gini.”
“Dasar
bawel, mana ada tu message.” Teriakku dari dalam kamar mandi, namun Dave tak
menyahut lagi.
Dengan
langkah yang buru-buru aku segera menuju ke mobil bersama Dave. Dengan
berbusana seadanya, kaos, celana jeans dan juga sneakers. Rambut panjangku pun
kuikat semauku. Namun Dave tak berkomentar apapun dengan cara berpakaianku yang
terlampau santai ini. Baginya tak masalah dengan penampilan, yang dia utamakan
adalah skill dan profesionalitas. Katanya sih walau aku nggak cantik, tapi
tampangku menjual. Ya, dia lah yang mengerti photography. Dia juga yang
mengerti mana yang pas atau mana yang kurang pas.
Sesampainya
kami di tempat pemotretan, Roby sudah stand by di sana untuk menyetting
lighting dan peralatan lainnya. Aku langsung disambut dengan asisten Tante
Grace sang designer terkenal. Asistennya yang bernama Mbak Lutfi, tampak
memandang keberadaanku dengan remeh sekali. Seperti ada hal yang membuatnya
tidak suka padaku, caraku berpakaian mungkin. Entahlah. Ya tentunya tak
kuhiraukan dia. Deretan peralatan make
up sudah siap menghiasi wajahku. Hingga kemudian aku siap untuk berpose di
depan kamera.
Selesai
pemotretan Dave mengajakku mampir ke kafe biasa kami kunjungi. Senja yang tak
bergeming, menanti remahan kisah kasih yang telah menggebu. Sayang sekali
jingga yang seharusnya menari indah di bentangan cakrawala, tak dapat kunikmati
di tengah kota yang riuh gemuruh ini. Hanya ada selorot mentari yang menyisakan
cahayanya lewat tingkap jendela.
“Hey,
ngalamun aja, Vi.” Ujar Dave kepadaku yang sedang asyik melihat pemandangan
jalan lewat celah jendela.
“Ah,
enggak. Mungkin kecapekan kali Dave.”
“Ya
udah, makan dulu.”
“Iya,
nanti aja deh Dave. Nggak laper.”
“Eh
Vi, entar aku nebeng tidur di kost kamu ya. Please.”
“haah?!
Ngapain kamu. Itu tu ikut Roby aja. Nggak tidur di studio aja? Kenapa sih
kamu?”
“Lagi
ada masalah sama Papah, males pulang aja Vi. Si Roby kan ada istrinya, nah aku
jadi nggak enak.” Tatapan mata Dave seakan tidak tenang, tanggannya gemetar dan
sesegera mengambil sebatang rokok dan menyalakannya dengan pematik.
“Hadeeeeh,
emank ya kamu ini. Udah tua pake kabur-kabur segala. Ya udah, tapi inget
semalem aja. Satu lagi, kamu tidur di sofa.”
“Iya
bawel, lagian nggak akan deh macem-macem.”
Malam
ini angin berhembus sedikit kencang. Kuintip dari celah jendela kamarku bulan
melengkungkan senyuman yang membuatku pun ikut tersenyum. Aku berniat
melanjutkan tulisanku. Sejenak kuperhatikan Dave yang sedang membersihkan
perangkat kameranya, tak banyak kata. Tak seperti biasanya. Aku tak mendesaknya
untuk cerita. Aku hanya diam dalam duniaku sendiri, bergeming dalam
tulisan-tulisanku.
Sudah
kelewat malam mataku terus beradu dengan layar laptop. Malam telah larut, dan
kulihat Dave pun larut dalam deraian mimpi. Tubuhnya yang tinggi besar terlelap
di atas tempat tidurku, seperti beruang yang sedang hibernasi. Paras Dave yang
sedang terlelap mengundangku untuk tersenyum. Tampan. Ah, sudahlah. Kemudianku
kembali hanyut dalam barisan kata-kata dan imaginasiku yang menjadi liar.
Secercah
cahaya mentari mengintip lewat celah-celah tirai jendela. Tak sadar kalau
kepalaku tergeletak di atas meja, dengan laptop masih menyala. Kudapati Dave
sudah tidak ada di tempat tidur. Saat kutengok dari jendela mobilnya masih
parkir di halaman depan. Suara engsel pintu yang mereot mengagetkanku.
“Kamu
capek ya Vi? Ini aku bawain sarapan. Tadinya mau aku ajak keluar sekalian, tapi
nggak tega bangunin kamu.” Ujar Dave dengan menyodorkan sebungkus makanan
kepadaku. Aku hanya bergeming, serasa roh-roh yang tinggal dalam tubuhku belum
genap kembali lagi.
“Udah
sana mandi dulu, abis itu makan.” Kata Dave sembari mengacak-acak rambutku.
“Iiih
iya iya bawel.” Aku langsung menyambar handuk dan menuju kamar mandi.
***
Sudah
genap dua minggu aku tak bertemu Dave, menerima SMS atau teleponnya pun tidak.
Gelisah bercampur resah. Aku hanya mendapat pesan singkat dari Roby, yang
menyuruhku untuk mengambil fee ke studio. Aku tak habis pikir, kenapa tidak
Dave sendiri yang menghubungiku. Biasanya juga dia langsung meneleponku. Sekarang
aku sudah berada di studio, namun tak kudapati Dave. Hanya ada Roy, yaitu adik
Dave dan Roby. Roy memang akhir-akhir ini sering membantu mengelola studio
tersebut.
“By,
anyway si Dave kemana?” Tanyaku kepada Roby yang sedang sibuk mengolah foto.
Roby
seperti risau, gelagatnya tak tenang. Lalu sesekali memandang ke arah Roy, dan
kemudian mereka hanya saling beradu pandang. Dengan derap langkahnya yang
seakan terseok, parasnya terlihat muram, Roy menghampiriku.
“Vi,
kita ke rumahku saja ya. Aku mau nunjukin sesuatu ke kamu.” Suara Roy tercekat,
begitu dalam.
“Ada
apa sih ini?” Namun kemudian Roy meraih pergelangan tanganku dan mengajakku
pergi ke rumahnya.
Di
setiap perjalanan Roy hanya bungkam. Pandangannya terus menuju ke depan, tak
menghiraukanku yang duduk di sebelahnya. Aku tak mengerti, aku mencoba
mengikuti alurnya saja. Dan aku pun diam sampai akhirnya sampai di rumahnya.
“Terus
Dave dimana?” Tanyaku kepada Roy, ketika dia membawaku masuk ke kamar Dave. Kulihat
di dinding-dinding kamarnya terdapat foto-fotoku. Ha? Ya semua itu foto-foto
wajahku. Aku tertegun melihat semua ini.
“Vi,
aku mau sampein pesan Dave untuk kamu. Tapi janji kamu jangan marah atau sedih,
atau apapun yang bikin Dave juga ikut sedih.”
“Apa
Roy?” Tanyaku dalam geming.
“Aku
minta maaf karena kami tidak memeberimu kabar, ini permintaan Dave. Kalau Dave
sudah….”
“Dave
kenapa? Ada apa dengan Dave?” Tanyaku semakin menghujam tajam.
“Dave
meninggal, Vi.”
Lidahku
seperti tercekat mendengarnya. Wajahku serasa ditampar. Serontak air mataku tak
mampu bertahan di kelopak mata. Mengucur deras.
“Dia
terkena kangker otak, yang sebenarnya sudah lama dideritanya. Setelah pulang
dari menginap di tempatmu penyakitnya kambuh, dia terus-terusan menghantamkan
kepalanya ke dinding. Aku pun tak tega melihat keadaannya. Dokter pun tak bisa
menyelamatkannya, karena memang begitu kejamnya penyakit itu hingga menyebar
dan menggerogoti tubuhnya. Dave tidak mau kamu tahu penderitaannya, maka dari
itu dia menyembunyikan semua ini ke kamu. Vi, Dave sayang banget sama kamu.”
Roy memberikan sepucuk surat kepadaku. Dari Dave.
Selembar
kertas yang bertuliskan huruf-huruf dengan tinta pena berwarna hitam pekat itu, selebihnya aku sebut sembilu. Rasanya seperti
menghujam dadaku berkali-kali. Dave bilang di surat itu kalau dia sayang
padaku, namun ini tak adil. Dia tak mengijinkan aku untuk memberitahukan
perasaanku. Ini seperti bilur yang tersiram buih ombak pantai. Perih. Tangisku
sesenggukan. Roy memelukku untuk meredam tangisku. Dia pun tak sanggup menahan
aliran air matanya, ketika melihatku terpuruk.
***
Cerita
pendekku sudah selesai.
***
“Siapa
sih itu?”
“Mana?”
“Cewek
di seberang meja kita. Yang lagi sibuk ngetik.”
Suara
kedua laki-laki itu terdengar lamat-lamat dari telingaku, karena suasana kafe
yang riuh melenguh. Sesekali aku memperhatikan mereka sembari menghisap puntung
rokok yang masih setengah di tanganku. Tanpa sadar salah satu dari antara
mereka mengarahkan kamera DSLR
kepadaku dan flash yang berasal dari kamera tersebut membuatku terkesiap.
Langkahnya gontai menghampiriku. Sepertinya sedikit mabuk, tapi tidak ada botol
chivas regal, cointreau, Red Label,
atau semacam minuman yang saya sebut tadi di mejanya. Dia sudah duduk di
depanku begitu saja. Sedikit risih memang, namun tetap mencoba untuk tenang.
Tiba-tiba saja ia mengulurkan tangan. “Roy” Tanganku menyambutnya, “Carmella”.
SEMARANG, 02 FEBRUARI 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar