Selasa, 12 Maret 2013

LUKISAN CAHAYA



“Siapa sih itu?”
“Mana?”
“Cewek di seberang meja kita. Yang lagi sibuk ngetik.”
Suara kedua laki-laki itu terdengar lamat-lamat dari telingaku, karena suasana kafe yang riuh melenguh. Sesekali aku memperhatikan mereka sembari menghisap puntung rokok yang masih setengah di tanganku. Tanpa sadar salah satu dari antara mereka mengarahkan kamera DSLR kepadaku dan flash yang berasal dari kamera tersebut membuatku terkesiap. Langkahnya gontai menghampiriku. Sepertinya sedikit mabuk, tapi tidak ada botol chivas regal, cointreau, Red Label, atau semacam minuman yang saya sebut tadi di mejanya. Dia sudah duduk di depanku begitu saja. Sedikit risih memang, namun tetap mencoba untuk tenang. Tiba-tiba saja ia mengulurkan tangan. “Dave” Tanganku menyambutnya, “Violet”.
Ayahku keturunan Tionghoa-Belanda, sedang ibuku seorang jawa pribumi. Aku lahir dari keluarga yang sederhana, walaupun konon katanya kakekku adalah seorang pengusaha kaya yang terkenal pada jamannya. Namun hal tersebut tidak membuatku hidup bergelimangan harta. Koleps. Paling tidak cukup untuk hidup sehari-hari itu sudah bersyukur sekali. Sejarah yang diukir oleh keluargaku tersebut mengajarkanku bahwa segala yang ada di dunia ini tidaklah kekal. Punya banyak perusahaan, harta melimpah, sampai-sampai satu orang anak diberi satu orang kacung, padahal ada enam anak kalau saya tidak salah ingat. Lalu, mobil-mobil keluaran Eropa dan Amerika berjejer memenuhi garasi, padahal pada saat itu punya mobil satu saja sudah bisa disebut mentereng.  Beberapa lemari berisi jas, dasi, sepatu dan jam tangan yang bisa dilihat labelnya bertuliskan ‘made in Paris’, ‘made in Italy’, ‘made in Germany’. Tapi kekikiran seorang manusia yang tega berhianat kepada saudaranya sendiri membuat semua yang fana itu lenyap. Perusahaan ‘Naga’ yang dipersiapkan untuk anak laki-lakinya  tiba-tiba diambil alih oleh saudara sepupunya. Hingga sampai pada suatu saat Pengusaha kaya yang kupanggil dengan ‘engkong’ tersebut jatuh sakit. Dan pada akhirnya semuanya menjadi hancur. Hingga tidak ada jejaknya sama sekali. Hanya ada perusahaan ‘Naga’ tersebut masih berdiri gagah di kota Jakarta. Itupun bukan lagi atas nama beliau. Dunia itu kejam. Dunia mengajarkanku menjadi orang yang keras, namun tidak melupakan sosialitas……..
“Hey! Serius amat nih.” Suara Dave memecahkan konsentrasiku.
“Bawel ih. Nggak lihat apa aku lagi bikin tulisan.” Mataku melotot ke arah Dave sembari melepas kacamataku.
 “Iya Sorry. Cerita apa ini Vi?”
“Cerita pendek, mau aku kirim untuk lomba cerpen.”
“Tentang kamu ?”
“Ih pengen tahu aja deh. Ntar kalau udah kelar aku kasih lihat deh.” Lalu aku segera membereskan dan memasukan barang-barang yang tergeletak di meja ke dalam tas ranselku.
“Yuh makan siang, sambil aku mau omongin konsep foto buat kamu. Aku nggak betah lama-lama di perpustakaan ini.”
“Konsep apaan? Aku kan udah bilang nggak  mau difoto sama fotografer gadungan kayak kamu.” Sambil pelan memukulkan majalah ke kepala Dave aku segera melangkah keluar, Dave pun menyusulku.
***
Sinar lembut yang berpendar dari softbox, yang diatur sedemikian rupa membuat terang benderang menyorot tubuhku. Lagi-lagi cahaya flash menyentak pupilku hingga menciut, ketika Dave sibuk memencet tombol shutter dari kameranya. Aku menerima tawaran Dave untuk dijadikannya modelnya. Untuk melengkapi portofolio katanya, dan saat melihat konsepnya aku langsung tertarik. Ya aku pikir apa salahnya membantu teman. Waktu dua bulan menurutku  sudah cukup untuk mengenal Dave. Begitu juga karya-karyanya yang tidak sekedar menampilkan kecantikan model-modelnya, namun aku bisa melihat proporsi dan komposisi dalam gambar tersebut yang begitu harmonis. Aku bisa melihat dan merasakan bahwa Dave memiliki jiwa seni yang tinggi.
Dibantu dengan Roby sebagai asistennya, dia membangun studio foto yang berperalatan lengkap. Ya maklum saja, Dave anak orang kaya. Hampir semua peralatan yang berhubungan dengan photography dia punya. Aku tak habis pikir, dengan peralatan yang mahal tersebut dan dengan sedikit latihan, aku yakin hasilnya akan bagus. Hal itu sudah terdengar biasa bukan. Namun akan berbeda lagi jika dengan segala keterbatasan alat, diolah dengan tangan yang tepat, dan hasilnya bisa maksimal. Nah itu baru disebut dengan luar biasa. Tapi bukan berarti Dave termasuk photographer yang digolongkan manja dengan kemewahan alat. Dengan camera pocket pun hasilnya jepretannya tidak kalah bagus. Menjadikan lukisan cahaya itu begitu bernilai.
Sore ini aku memutuskan hanya ingin berdiam di kamar saja sambil menyelesaikan tulisanku. Rinai hujan, lembab bau tanah menciptakan atmosphere yang meriak dalam otakku. Begitu banyak ide yang membuncah tak sabar ingin keluar. Kamar kost berbentuk kubus beton yang lebih menyerupai gudang, lantas tak membuat passion-ku padam begitu saja. Menurutku dimana pun imaginasi dan ide bisa tercurah. Yang memerintah adalah otak kita, bukan suasana sekitar kita. Aku bisa menciptakan atmosphere-ku sendiri dengan jalan pikiranku sendiri.
Ketika jari-jemariku menari di atas keyboard laptop, tiba-tiba Dave sudah ada di belakangku. Kepalanya melongok begitu saja ke arah layar laptop. Serontak badanku menyembul ke atas karena kaget.
“Ketok pintu dulu kek!” Tungkasku kepada Dave dengan jengkel.
“Ya abisnya itu pintu nggak ditutup, aku panggil nggak denger. Ya udah aku masuk gitu aja.”
“Iya, sengaja aku buka pintunya, biar hawa luar bisa masuk.”
“Eh Vi, aku ke sini mau cerita ke kamu tentang portofolioku.”
“Cerita apa? Ya udah cerita aja deh, aku dengerin.”
“Jadi gini, kemarin pagi aku dapet email dari designer terkenal. Dia ngeliat portofolioku di web yang memang aku buat khusus untuk promosiin hasil karyaku. Tadi siang aku udah ketemu sama orang itu, dia setuju make jasaku untuk bikin katalog rancangan busananya. Nah ini nih yang paling penting, dia mau modelnya itu kamu.”
“Haaa?”
“Ha he ho ha he ho, dia mau besok lusa kita udah siap. Kamu mau kan bantu aku? Masalah duit gampang deh. Nanti kita bagi tiga, Aku, Roby, Kamu. Adil kan.”
“Gila kamu, kenapa nggak tanya aku dulu setuju atau enggak. Maen deal-deal-an seenaknya.” Kataku pada Dave, sembari meraih cangkir berisi kopi tubruk.
“Ini kesempatan Vi, nggak semua model bisa gampang banget mengenakan busana rancangannya. Dia kan memang terkenal nyentrik dalam memilih model. Gimana? Coba deh pikirin dulu. Kesempatan nggak datang dua kali.”
*hening* Hanya ada suara rerintik hujan. Risau angin yang berhembus, menyibak reruntuhan kabut yang mulai menebal di otakku. Larut-hanyut-larut-hanyut kemudian pergi.
Di tengah lambungan mimpi sisa semalam, aku terhenyak dari antaranya. Suara dari ponselku menghardik berulang-ulang, dari Dave. Sepuluh menit lagi dia akan sampai di kostku, aku disuruh bersiap-siap untuk pemotretan. Seenaknya sendiri dia memerintahku, tanpa memberitahukan jam pemotretannya terlebih dahulu. Segeralah aku pergi mandi dan bersiap-siap. Namun baru saja aku meraih handuk, Dave sudah berada di ambang pintu kamar kostku.
“Wiliiih, dasar kamu kebo Vi, kalo nggak aku bangunin pasti deh tu nggak bangun.”
“Lagian juga kamu mendadak gitu kabarinnya. Nggak kasih tahu jam berapa mulainya.” Sahutku sambil berjalan melangkah ke kamar mandi.
“Heh, baca tuh message di ponsel kamu. Perasaan juga tidur awal, bangun juga masih bisa siang gini.”
“Dasar bawel, mana ada tu message.” Teriakku dari dalam kamar mandi, namun Dave tak menyahut lagi.
Dengan langkah yang buru-buru aku segera menuju ke mobil bersama Dave. Dengan berbusana seadanya, kaos, celana jeans dan juga sneakers. Rambut panjangku pun kuikat semauku. Namun Dave tak berkomentar apapun dengan cara berpakaianku yang terlampau santai ini. Baginya tak masalah dengan penampilan, yang dia utamakan adalah skill dan profesionalitas. Katanya sih walau aku nggak cantik, tapi tampangku menjual. Ya, dia lah yang mengerti photography. Dia juga yang mengerti mana yang pas atau mana yang kurang pas.
Sesampainya kami di tempat pemotretan, Roby sudah stand by di sana untuk menyetting lighting dan peralatan lainnya. Aku langsung disambut dengan asisten Tante Grace sang designer terkenal. Asistennya yang bernama Mbak Lutfi, tampak memandang keberadaanku dengan remeh sekali. Seperti ada hal yang membuatnya tidak suka padaku, caraku berpakaian mungkin. Entahlah. Ya tentunya tak kuhiraukan dia.  Deretan peralatan make up sudah siap menghiasi wajahku. Hingga kemudian aku siap untuk berpose di depan kamera.
Selesai pemotretan Dave mengajakku mampir ke kafe biasa kami kunjungi. Senja yang tak bergeming, menanti remahan kisah kasih yang telah menggebu. Sayang sekali jingga yang seharusnya menari indah di bentangan cakrawala, tak dapat kunikmati di tengah kota yang riuh gemuruh ini. Hanya ada selorot mentari yang menyisakan cahayanya lewat tingkap jendela.
“Hey, ngalamun aja, Vi.” Ujar Dave kepadaku yang sedang asyik melihat pemandangan jalan lewat celah jendela.
“Ah, enggak. Mungkin kecapekan kali Dave.”
“Ya udah, makan dulu.”
“Iya, nanti aja deh Dave. Nggak laper.”
“Eh Vi, entar aku nebeng tidur di kost kamu ya. Please.”
“haah?! Ngapain kamu. Itu tu ikut Roby aja. Nggak tidur di studio aja? Kenapa sih kamu?”
“Lagi ada masalah sama Papah, males pulang aja Vi. Si Roby kan ada istrinya, nah aku jadi nggak enak.” Tatapan mata Dave seakan tidak tenang, tanggannya gemetar dan sesegera mengambil sebatang rokok dan menyalakannya dengan pematik.
“Hadeeeeh, emank ya kamu ini. Udah tua pake kabur-kabur segala. Ya udah, tapi inget semalem aja. Satu lagi, kamu tidur di sofa.”
“Iya bawel, lagian nggak akan deh macem-macem.”
Malam ini angin berhembus sedikit kencang. Kuintip dari celah jendela kamarku bulan melengkungkan senyuman yang membuatku pun ikut tersenyum. Aku berniat melanjutkan tulisanku. Sejenak kuperhatikan Dave yang sedang membersihkan perangkat kameranya, tak banyak kata. Tak seperti biasanya. Aku tak mendesaknya untuk cerita. Aku hanya diam dalam duniaku sendiri, bergeming dalam tulisan-tulisanku.
Sudah kelewat malam mataku terus beradu dengan layar laptop. Malam telah larut, dan kulihat Dave pun larut dalam deraian mimpi. Tubuhnya yang tinggi besar terlelap di atas tempat tidurku, seperti beruang yang sedang hibernasi. Paras Dave yang sedang terlelap mengundangku untuk tersenyum. Tampan. Ah, sudahlah. Kemudianku kembali hanyut dalam barisan kata-kata dan imaginasiku yang menjadi liar.
Secercah cahaya mentari mengintip lewat celah-celah tirai jendela. Tak sadar kalau kepalaku tergeletak di atas meja, dengan laptop masih menyala. Kudapati Dave sudah tidak ada di tempat tidur. Saat kutengok dari jendela mobilnya masih parkir di halaman depan. Suara engsel pintu yang mereot mengagetkanku.
“Kamu capek ya Vi? Ini aku bawain sarapan. Tadinya mau aku ajak keluar sekalian, tapi nggak tega bangunin kamu.” Ujar Dave dengan menyodorkan sebungkus makanan kepadaku. Aku hanya bergeming, serasa roh-roh yang tinggal dalam tubuhku belum genap kembali lagi.
“Udah sana mandi dulu, abis itu makan.” Kata Dave sembari mengacak-acak rambutku.
“Iiih iya iya bawel.” Aku langsung menyambar handuk dan menuju kamar mandi.
***
Sudah genap dua minggu aku tak bertemu Dave, menerima SMS atau teleponnya pun tidak. Gelisah bercampur resah. Aku hanya mendapat pesan singkat dari Roby, yang menyuruhku untuk mengambil fee ke studio. Aku tak habis pikir, kenapa tidak Dave sendiri yang menghubungiku. Biasanya juga dia langsung meneleponku. Sekarang aku sudah berada di studio, namun tak kudapati Dave. Hanya ada Roy, yaitu adik Dave dan Roby. Roy memang akhir-akhir ini sering membantu mengelola studio tersebut.
“By, anyway si Dave kemana?” Tanyaku kepada Roby yang sedang sibuk mengolah foto.
Roby seperti risau, gelagatnya tak tenang. Lalu sesekali memandang ke arah Roy, dan kemudian mereka hanya saling beradu pandang. Dengan derap langkahnya yang seakan terseok, parasnya terlihat muram, Roy menghampiriku.
“Vi, kita ke rumahku saja ya. Aku mau nunjukin sesuatu ke kamu.” Suara Roy tercekat, begitu dalam.
“Ada apa sih ini?” Namun kemudian Roy meraih pergelangan tanganku dan mengajakku pergi ke rumahnya.
Di setiap perjalanan Roy hanya bungkam. Pandangannya terus menuju ke depan, tak menghiraukanku yang duduk di sebelahnya. Aku tak mengerti, aku mencoba mengikuti alurnya saja. Dan aku pun diam sampai akhirnya sampai di rumahnya.
“Terus Dave dimana?” Tanyaku kepada Roy, ketika dia membawaku masuk ke kamar Dave. Kulihat di dinding-dinding kamarnya terdapat foto-fotoku. Ha? Ya semua itu foto-foto wajahku. Aku tertegun melihat semua ini.
“Vi, aku mau sampein pesan Dave untuk kamu. Tapi janji kamu jangan marah atau sedih, atau apapun yang bikin Dave juga ikut sedih.”
“Apa Roy?” Tanyaku dalam geming.
“Aku minta maaf karena kami tidak memeberimu kabar, ini permintaan Dave. Kalau Dave sudah….”
“Dave kenapa? Ada apa dengan Dave?” Tanyaku semakin menghujam tajam.
“Dave meninggal, Vi.”
Lidahku seperti tercekat mendengarnya. Wajahku serasa ditampar. Serontak air mataku tak mampu bertahan di kelopak mata. Mengucur deras.
“Dia terkena kangker otak, yang sebenarnya sudah lama dideritanya. Setelah pulang dari menginap di tempatmu penyakitnya kambuh, dia terus-terusan menghantamkan kepalanya ke dinding. Aku pun tak tega melihat keadaannya. Dokter pun tak bisa menyelamatkannya, karena memang begitu kejamnya penyakit itu hingga menyebar dan menggerogoti tubuhnya. Dave tidak mau kamu tahu penderitaannya, maka dari itu dia menyembunyikan semua ini ke kamu. Vi, Dave sayang banget sama kamu.” Roy memberikan sepucuk surat kepadaku. Dari Dave.
Selembar kertas yang bertuliskan huruf-huruf dengan tinta pena berwarna hitam pekat itu,  selebihnya aku sebut sembilu. Rasanya seperti menghujam dadaku berkali-kali. Dave bilang di surat itu kalau dia sayang padaku, namun ini tak adil. Dia tak mengijinkan aku untuk memberitahukan perasaanku. Ini seperti bilur yang tersiram buih ombak pantai. Perih. Tangisku sesenggukan. Roy memelukku untuk meredam tangisku. Dia pun tak sanggup menahan aliran air matanya, ketika melihatku terpuruk.
***
Cerita pendekku sudah selesai.
***
“Siapa sih itu?”
“Mana?”
“Cewek di seberang meja kita. Yang lagi sibuk ngetik.”
Suara kedua laki-laki itu terdengar lamat-lamat dari telingaku, karena suasana kafe yang riuh melenguh. Sesekali aku memperhatikan mereka sembari menghisap puntung rokok yang masih setengah di tanganku. Tanpa sadar salah satu dari antara mereka mengarahkan kamera DSLR kepadaku dan flash yang berasal dari kamera tersebut membuatku terkesiap. Langkahnya gontai menghampiriku. Sepertinya sedikit mabuk, tapi tidak ada botol chivas regal, cointreau, Red Label, atau semacam minuman yang saya sebut tadi di mejanya. Dia sudah duduk di depanku begitu saja. Sedikit risih memang, namun tetap mencoba untuk tenang. Tiba-tiba saja ia mengulurkan tangan. “Roy” Tanganku menyambutnya, “Carmella”.
SEMARANG, 02 FEBRUARI 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar