Gadis
itu sedang menyisir rambut panjangnya yang tergerai sepinggul, saat aku
melihatnya untuk kedua kalinya. Wajahnya yang pucat menyunggingkan sebuah
senyuman kepadaku. Aku pun membalasnya ramah. Aku memang sering jogging di
senja yang memerah seperti ini di taman yang tidak jauh dari tempat tinggalku. Namun dua hari ini aku
selalu melihat gadis cantik itu. Gadis yang selalu duduk menyendiri di sebuah
bangku taman. Sejenak aku terhenti dari lari – lari kecilku. Inginku sekedar
duduk berkenalan di samping gadis bergaun satin warna hitam itu. Namun ada
sesuatu yang membuatku untuk mengurungkan niat. Sesuatu yang janggal di dalam
sana. Seperti sukma yang sedang menarikku kembali dalam langkah majuku.
Saat
fajar menyingsing, seperti layaknya penghantar siang yang terasing. Fajar
selalu mendingin dengan kilau – kilau embun yang setengah membeku di ujung
dedaunan pohon. Sepagi ini aku harus mengantarkan bunga – bunga potong ke
sebuah gereja mungil di ujung jalan dekat taman. Langit yang setengah gelap, begitu
pula udara yang masih berhembus segar menemaniku dengan celoteh nyanyian burung
– burung yang bertengger di tiap – tiap pohon sepanjang jalan. Aku mengayuh
keras sepedaku. Dengan keranjang yang penuh dengan bunga krisan, anggrek, dan
juga mawar. Sudah menjadi rutinitas yang biasa untuk dikerjakan oleh seorang
floris seperti aku. Ada yang sekedar meremehkan, ada yang mengolok, lebih lagi ada
yang mencibirku. Aku hanya tergelak saat mendengar lamat – lamat suara yang
menghujat tak berarti.
Angin
berhembus sedikit kencang. Dahiku mengernyit, terheran karena tak biasanya
angin bersiul kepagian seperti ini. Mataku memandang sebuah bangku taman, dan
masih dengan gadis aneh itu. Sementara pepohonan di luar taman melambai –
lambai tak beraturan, tidak begitu di dalam taman tersebut. Seperti ada sekat
yang mengitarinya. Daun – daun pohon penghuni taman diam tak bergeming, seakan
membeku dalam fajar yang mengkristal. Bulu kudukku berdiri, membuatku semakin
bergidik.
***
Hari
kelima, pertemuan dengan gadis bergaun satin hitam kelam di taman. Masih dengan
raut yang sama ia menatapku. Tatapan mata yang beku, dingin sedingin bongkahan
es dari kutub utara. Kali ini aku sengaja memberanikan diri untuk mendekati
gadis tersebut. Aku duduk tepat di sebelahnya, hanya selisih satu jengkal. Dia
tak memprotes akan kehadiranku. Mulutnya bungkam, sembari memangku seekor
kucing hitam berekor panjang. Jemarinya yang lentik dengan kuku – kuku yang
runcing terlihat mengusap – usap bulu kucing yang terlihat begitu mengkilap.
“Hai, aku Felix,” aku mencoba membuka pembicaraan dengan memperkenalkan diri,
sembari mengulurkan tangan untuk sekedar berjabat tangan. Namun sia – sialah hal
tersebut. Gadis itu diam bungkam semakin merapatkan bibirnya yang pucat
kebiruan. “Gimana kalau kamu aku panggil Gadis saja?” aku masih tetap berusaha
mengakrabkan diri dan berharap dia mau berbicara. Gadis itu menoleh ke arahku,
masih dengan tatapan yang dingin dan begitu dalam. Kupikir dia akan menjawab
pertanyaanku, atau sekedar berdecak. Aku sudah hilang akal untuk mengajaknya
berbicara. Percuma saja, dia tetap diam.
Langit
yang semula menggoreskan jingga kemerahan dengan semburat warna keemasan,
menggeliat di antara senja yang membubuhkan nila pada lukisan senja itu.
Sebagai pertanda semuanya akan tergusur oleh pekat dan semakin gelap. Sudah
lebih dari tiga jam aku duduk bersandingan dengan Gadis. Aku hanya bisa
memperhatikan geraknya yang lambat dan dingin. “Gadis, kamu suka bunga?”
tanyaku kepada Gadis, walaupun aku tahu semuanya akan sia – sia. “Kalau kamu
suka, besok akan aku bawakan untukmu.” Kemudian aku melangkah pergi menjauhi
Gadis. Pada langkah ketiga yang tak disangka dan tak diduga, suara lirih dari
bibir Gadis yang membeku akhirnya terbisikan di telingaku. “Mawar putih,” Dua
kata yang terucap. Aku menoleh dan melemparkan senyum kepadanya. Gadis pun
mengukir senyumannya di atas bibirnya yang kebiruan.
***
“Lihat
mi, si Felix itu bukan sekedar hilang ingatan. Tapi juga sudah gila.”
Lagi
– lagi cibiran Mbok Sumirah terlontar saat sedang bercakap – cakap dengan Tarmi
pembantu dekat rumahku. Aku tak sengaja mendengar obrolan mereka. Sorot mata
mereka memandangku seakan sedang menghakimi.
Pada
pertemuan keenam, dengan setangkai bunga mawar putih segar di tanganku. Semuanya
terlihat berubah ketika bunga itu sampai pada tangan Gadis yang kurus dan tak
berpori. Bunga itu memucat, sepucat wajah Gadis yang membeku. Tangkainya
menguning, dan daunnya sedikit mengering.
“Bunga
ini mengingatkanku pada bunga pertama yang kau berikan padaku.”
Aku
tercengang mendengar apa yang Gadis katakan padaku.
“Mawar
itu masih kusimpan hingga mengering kelopaknya, duri – duri yang tak lagi
tajam, tangkai yang sedikit rapuh.”
“Tapi
Gadis, bunga itu kan baru pertama kali aku berikan kepadamu.”
Parasnya
yang pucat sedikit merona samar – samar. Mungkin hanya aku yang bisa menangkap
rona merah di pipi Gadis itu. Dengan malu – malu dia menggeleng pelan. Pertanda
aku pernah memberinya bunga sebelum pertemuan – pertemuan beberapa hari yang
lalu. Aku geram, karena tak mampu mengingat beberapa kejadian – kejadian
penting yang sudah lama aku bangun. Hingga kejadian apa yang telah membuatku
kehilangan memori pun aku tak ingat. Aku seperti dilahirkan kembali, dan terus
mengingat – ingat siapa aku sebenarnya.
“Aku
tahu siapa kamu Fel,” Gadis berucap seperti dia mengerti apa yang aku pikirkan.
Aku
memandang nanar kedua buah bola mata Gadis yang begitu indah, namun bercahaya
redup. Cahaya yang seakan menyimpan beribu kisah yang pilu. Kisah yang penuh
kesah berkeluh. Sorot mata yang dalam namun begitu muram. Aku seperti berada
dalam dunia peri dengan gelak tawa anak-anak kecil berwajah pucat, berlari ke
sana-sini. Tiba-tiba aku merasa cemas, bulu kudukku berdiri tajam. Sepertinya
aku sudah merasa tak nyaman untuk berada di taman itu. Aku mulai bangkit dari
tempatku duduk. Memandang sejenak wajah Gadis yang sedang menatap kosong pada
tangkai bunga mawar yang telah benar-benar mengering. “Kamu bisa datang lagi ke
sini kalau kamu mau tahu siapa kamu,” tatapan mata Gadis begitu dalam dan penuh
pengharapan agar aku bisa datang besok saat senja. Aku mengangguk dan
menyunggingkan senyum kepadanya.
***
Ini
adalah pertemuan ketujuh. Pada hari Kamis di kala senja bergerimis. Ataukah
akan sedikit ada tangis yang mengemis? Bayang yang suram semuanya tertangkis
ketika tangan Gadis yang kurus dan dingin menggandengku dengan genggaman yang
erat. Berjalan perlahan menuju sungai kecil yang dalam di belakang gereja
mungil dan tua. Derap langkah Gadis yang perlahan dan kadang terseok
mengantarku ke tepi sungai itu. Ada ribuan kupu-kupu liar yang meliuk-liuk
indah layaknya ballerina dengan kaki-kaki mungilnya meloncat sana-sini. Baru kali
ini aku melihat ada kupu-kupu yang berkoloni sebanyak ini di dekat sungai.
“Itu!”
Gadis menunjuk ke arah semak belukar yang sedikit berduri.
Aku
menghampiri semak itu dengan perlahan, berjaga-jaga kalau saja ada ular atau
hewan berbahaya di balik sana. Tanganku yang tak besar cenderung kurus
menyibakkan semak-semak yang menjuntai tak beraturan. Pupilku tersentak hingga
bulat dan membesar. Kudapati sebuah tumpukan tulang belulang yang kuterka itu
adalah tulang-tulang leher hingga panggul yang berserakan tak karuan. Beberapa
sedikit berlumut.
“Tulang
siapa ini?” tanyaku menjadi ringsut, ketika kulihat mata Gadis yang begitu
bulat dan dingin itu berlinang air mata.
“Di
semak sebelah batu besar yang berlumut itu juga ada.”
Aku
kembali mencari, barangkali ada tulang-tulang tak bernyawa yang singgah di
tempat tak bertuan ini. Kutemukan sebuah
tengkorak yang lapuk, rahangnya pun sudah tak menyatu. Seperti sudah bertahun-tahun
tergeletak tak ada yang peduli.
“Gadis,
sebenarnya apa yang ingin kau tunjukkan kepadaku? Langit sudah gelap, seperti
liang yang menganga di cakrawala. Liang itu seakan mau menelan mentah-mentah
tubuh kita. Aku harus segera pulang.”
“Jangan.
Kau jangan tinggalkan aku sendirian di sini lagi.”
“Apa
maksudmu dengan ‘lagi’?”
“Felix,
memang benar namaku Gadis. Aku mengira kau sudah mengingatku kembali ketika kau
menyebut namaku. Dan aku tersadar kau sudah tak bisa mengingat semuanya lagi.”
Beberapa
orang mengakatakan tentang kejadian yang membuatku hilang ingatan. Semuanya
simpang siur. Ada yang bilang aku dikeroyok gerombolan perampok yang bertubi-tubi
telah mendaratkan benda keras ke kepalaku. Ada yang bilang kepalaku terbentur
batu besar ketika jatuh di dekat sungai.
“Felix,
kamu lah kisah yang mendesah, segala kunci yang tak bertepi. Namun sayang
ingatanmu tak kunjung pulih hingga bertahun-tahun. Aku selalu menunggumu dalam
dekap kabut yang membekukan.”
Mataku
mulai berkaca-kaca, langit yang gelap bergulita kemudian berpendar cahaya
kemuning yang binar. Seperti ribuan bintang, namun semakin mendekat. Ribuan
kunang-kunang terbang berderik di sekeliling kami. Aku benar-benar seperti
berada dalam dunia peri.
“Felix,
aku adalah kekasihmu, yang sudah lama menghilang dari himpit otakmu. Semuanya
terjadi begitu tiba-tiba. Segerombolan perampok mengeroyokku ketika aku sedang
menunggumu di taman. Aku harapkan kau yang datang dengan membawa bunga mawar
putih. Namun hanya ada lelaki-lelaki brangasan dan rakus itu……”
Cerita
demi cerita berucap kata, runtun menjadi sebuah film yang berputar di otakku.
Kejadian demi kejadian samar-samar mulai terlintas dengan tuntas. Beberapa
ingatan mulai pulih. Mulai dari aku terlambat bertemu dengan Gadis, karena ada
masalah dengan mesin motorku. Aku harus berlari-lari penuh peluh yang tak
berhenti mengeluh. Setiba di taman itu aku mendapati Gadis di antara
gerombolan-gerombolan perampok. Gaun Gadis terlihat robek di sana sini. Ada
darah yang mengalir di antara sela pahanya. Dasar laki-laki rakus yang tak
punya otak. Aku berusaha melawan mereka berlima. Laki-laki yang berbadan besar
dan berotot kekar, tak satu pun mereka berbadan ringkih sepertiku. Aku beberapa
kali terhantam oleh pukulan tangan-tangan yang bertulang keras dan daging yang liat.
Seorang dari mereka menghantam kepalaku berkali-kali dengan batang kayu besar. Hingga
akhirnya aku pun tak sadarkan diri. Jangankan mengingat kejadian itu, siapa aku
saja aku tidak tahu.
“Mereka
menikamku dengan pisau lipat tepat di lambungku. Aku merangkak untuk melarikan
diri, namun dua orang dari mereka menyeretku. Mereka membuangku di sungai ini,
memotongku menjadi tiga bagian. Jangankan berteriak, untuk sekedar melenguh
seperti layaknya sapi yang disembelih pun aku tak bisa.”
Bibirku
bergetar, semua sesal tak akan pernah menyembuhkan luka. Seandainya saat itu
aku tak terlambat. Seandainya motorku tak sedang mogok. Aku menghujat diri,
dengan ceracau yang parau. Kupeluk Gadis yang begitu kasat untuk sekedar
disentuh. Lalu kunang-kunang yang berkoloni itu mengajak kami berpijak ke tanah
yang tak pernah aku ketahui. Dimana cahaya terang yang begitu menyilaukan
memandikan tubuhku. Dan aku semakin masuk ke dalam cahaya itu, dengan berjuta -
juta kunang-kunang yang bergemerlap.
Semarang, 02 Maret 2013
Kagum liat kata-katanya, bagus banget !
BalasHapusdi sekolah pelajaran B.I-ku selalu jelek, ga efektif kata-katanya -.-
Mampir + Follow juga ya : rpp-codename.blogspot.com
hehehe terimakasih, boleh kritik dan sarannya kok di sini. bebas :) iya sudah aku follow. Thanks
BalasHapus