Selasa, 12 Maret 2013

MACCHIATO



Cuping hidungku mengembang seiring dengan kelopak mataku yang membelalak. Sepagi ini kucium harum aroma kopi bertahta cangkir yang elegan melambai-lambaikan kepul asapnya di atas meja, samping tempat tidurku. Rudolph memang tak seromantis pria lainnya. Namun dia mengerti cara memperlakukan wanita, dengan caranya sendiri tentunya. Pria yang selama tiga tahun ini tinggal satu atap bahkan satu ranjang denganku. Kami bukan tidak menginginkan satu ikatan resmi atau apa pun yang mereka sebut dengan perkawinan. Kami hanya membiarkan cinta kami mengalir begitu saja. Ini adalah cinta dalam balutan kopi dimana manis hanya sececap, namun terasa getir mengendap di lidah. Bukan sekedar birahi di atas ranjang yang dingin. Apa lagi sekedar lembaran cek yang bernilai milyaran rupiah.
Kuhirup aroma kopi buatan Rudolph yang begitu nikmat. Kunikmati hangat-hangat sececap demi sececap, lalu kubiarkan cangkir itu diam di atas meja yang sedikit berdebu. Kemudian aku menghampiri Rudolph yang sedang berdiri berhadapan dengan cermin sembari merapikan kemejanya. Tanpa berkata aku mendekap tubuhnya yang tinggi besar, dan gagah itu. Setiap lekuk tubuhnya tercium aroma yang maskulin  dari parfum termahal yang dibelinya dari Paris. Ku rapikan kerah kemejanya sambil bersenandung dalam hati. Tak pernah terlintas untuk mempertanyakan kapan dia akan pulang, saat dia bersiap-siap pergi ke luar negeri seperti saat ini. Mungkin dia akan menghabiskan waktu liburannya ke Paris selama satu bulan. Liburan tanpaku? Ya, tentu. Bukan sekedar liburan.
Akhir bulan Desember, tentunya aku harus menyiapkan mantel tebal untuk Rudolph. L’hiver atau biasa disebut dengan winter, musim dingin. Beberapa daerah menjadi surga yang dilapisi salju yang bergitu tebalnya.
“Cherie, N'oubliez pas de gants. [sayang, jangan lupa sarung tangannya] ” kata Rudolph mengingatkanku. Sesegera aku menyiapkan sarung tangan hitam kesukaan Rudolph.
Aku memang tidak berbicara bahasa Perancis dengan lancar, tapi aku mengerti apa yang dikatakan Rudolph kepadaku. Dalam keseharian dia lebih nyaman bertutur menggunakan bahasa Indonesia. Hal itulah yang membuatku tidak bisa berkembang dalam menggunakan bahasa Perancis. Namun itu tak dibuat masalah oleh Rudolph.
“Sayang, taxi-nya sudah datang.” Kataku sambil bergegas menjinjing satu dari tiga koper Rudolph. Kemudian kami segera turun dari apartemen. Aku tidak pernah mengantarnya sampai ke bandara, karena hanya membuatku merasa sedih.
Tangan Rudolph meraih handle pintu taxi dan membukanya, kemudian berbalik menghadapku. Tanpa menghantarkan seucap kata, dia meluncurkan kecupan di dahiku, satu kecupan lagi di pipi kanan, pipi kiri, dan yang terakhir ciumannya melesat cepat ke bibirku yang merah ranum.  Entah mengapa begitu beratnya rasaku melihat langkah Rudolph yang semakin menjauh dariku. Lambaian tangannya yang lembut tetapi tegas, seakan menghantarkanku dalam kesepian. Tanganku menyambut lambaiannya, dan lalu aku segera berlalu.
Senja di apartemenku begitu bangga memamerkan keemasan sang surya yang senantiasa bersanding dengan lembayung jingga. Gedung-gedung pencakar langit laksana tonggak yang menyangga gelora sang cakrawala senja, menjaganya agar tidak runtuh. Kemudian mereka membawa lamunanku terjerembab jauh ke dalam kemunafikan. Ada lorong-lorong yang sunyi, yang tak seorang pun tahu. Aku mencoba menampik. Sebuah kemunafikan. Entahlah. Apapun itu, aku berusaha menjadi wanita yang bahagia. Lalu senyumku melengkung di atas bibirku yang membeku. Lamunanku buyar dan semakin ambyar, ketika dering suara telpon mengumpat keras sampai ke telingaku. Telepon dari Shanti, dia mengajakku keluar nanti malam. Ya, seperti biasa. Coffee shop langganan kami untuk sekedar bercuap-cuap, berdiskusi, atau berbicara seadanya tentang pasangan kami.
Aku sudah berada di ambang pintu masuk coffee shop. Tak kulihat batang hidung Shanti di meja yang biasa kami tempati. Di sofa yang berwarna hijau dekat  dengan jendela, menyelorot cahaya berwarna kuning yang berpendar dari bohlam lampu di atasnya. Sepi, hanya ada seorang pria setengah baya duduk di atas sofa tersebut.
“Rose ! ” Suara itu seperti aku kenal. Suara yang berasal dari meja bar. Ya, sudah kuduga. Itu suara Shanti. Sambil tersenyum aku melenggang dengan anggun menuju tempat Shanti duduk.
“Kok tumben kamu duduk di bar, biasanya kan di sofa ujung dekat jendela itu ?” Tanyaku sembari duduk di atas kursi yang berkaki tinggi itu.
“Udah, kamu pesan aja dulu. Kamu pesan apa Rose ? Aku yang traktir. Hehehe ”
“Aku pesan Irish coffee. Seperti biasa.” Ucapku keapada seorang barista yang berdiri di belakang meja bar.
“Okay Nona, saya siapkan. Mohon ditunggu ya.” Barista itu tersenyum begitu ramahnya, lalu dia menyodorkan pesanan Shanti. Dan dengan hanya tersenyum padanya.
Ku pandangi terus cangkir espresso yang berukuran sekitar 60-90 ml tersebut. Penasaran, karena Shanti tidak pernah memesan kopi varian yang seperti itu. Dia suka sekali dengan Cappucinno. Itu alasannya kenapa aku heran.
“Ini namanya Espresso Macchiato.” Jelas Shanti kepadaku, seakan aku tidak tahu apa-apa tentang bermacam-macam varian kopi.
“Ya ngertilah. Yang aku bingung itu, tumben banget kamu pesan kopi varian tersebut.” Cletukku karena merasa tidak nyaman dengan perkataannya.
“Haha, serius amat kamu. Sini deh aku kasih tahu. Aku kenalin barista yang sekarang sedang melayani pesananmu itu adalah sepupuku yang baru saja pulang dari Itali. Dia memang bukan berpendidikan tinggi, cuma lulus sampai SMA saja. Hans namanya, dari remaja dia suka dengan kopi. Maka dari itu dia sampai ke Itali cuma untuk belajar jadi barista yang paling top. Segala resep kopi di dunia pun dia tahu, salah satu resep andalannya yang paling nikmat  adalah Macchiato. Nah, karena aku penasaran ya aku cobain aja. Dan rasanya emang nikmat banget. Nggak salah Papahku rekrut Hans jadi barista di sini.”
Ya, memang kebetulan Coffee shop ini adalah milik Papahnya Shanti, dan sudah memiliki puluhan cabang di Indonesia. Kulihat Hans hanya tersenyum ketika Shanti menjelaskan panjang lebar tentang dirinya. Tak lama kemudian dia menyodorkan Irish coffee pesananku yang sudah siap. Kuraih pegangan gelas kopi Irlandia tersebut yang berbentuk agak tinggi terbuat dari kaca bening, sehingga dengan sengaja bisa memamerkan warna dari kopi dan cream yang begitu mencolok namun indah. Bibirku rasanya tak sabar melumat bibir gelas kopi tersebut dan kemudian menyatu dengannya. Mataku seperti ingin melonjak keluar. Bibirku masih mengatup. Wow, baru kali ini aku minum Irish coffee seenak ini. Komposisi antara black coffee, brown sugar, Irish Whiskey, dan heavy cream yang sempurna. Benar-benar tangan Hans itu ajaib.
Sepulang dari coffee shop aku langsung menuju apartemen. Sudah berjam-jam waktu kuhabiskan di sana, sekedar sharing tentang bijih kopi ataupun pengalaman pribadi dengan Hans dan Shanti. Badanku terglepar begitu saja di atas sofa kesayanganku yang kuletakkan di sudut kamar. Mataku enggan memejam, memandang langit-langit yang pucat. Seperti gamang. Seperti juga ‘sepi’. Memang sepi kataku. Lalu aku beranjak dari sofa menuju kamar mandi.  Kudapati sebuah test pack yang tergeletak di rak penyimpanan peralatan mandi. Masih tersegel dengan rapi. Dengan mimik yang ragu aku meraihnya. Ini adalah kali ketiga aku menggunakan benda tersebut ketika dua bulan aku terlambat haid. Aku selalu berharap kalau hasil yang sebelumnya adalah salah. Aku hanya bisa memejam, dan sebenarnya aku memang hanya pura-pura bodoh. Karena aku tahu, aku memang sedang hamil. Tanpa Rudolph tahu hal tersebut. Atau mungkin dia sudah tahu. Aku takut. Dan desauan angin dari celah jendela menyibakkan resah yang semakin menjadi gelisah. Aku semakin membeku di tengah risau yang mengkristal.
Pagi ini. Bosan. Satu kata yang memang jelas terlintas di benakku. Rudolph tak pernah mengijinkanku untuk bekerja, entah apa alasannya. Dulu aku bekerja di sebuah redaksi majalah, sebagai kepala redaksi sampai akhirnya aku mengenal Rudolph. Secara materi memang aku tercukupi. Namun tidak demikian dengan batinku. Entahlah, aku selalu berlari dari kenyataan ini.
Telepon selularku berdecit. Pesan singkat dari Shanti, dia dan Hans sudah berada di bawah apartemenku. Tak lama kemudian suara bel terdengar dari pintu masuk. Ketika kubuka pintu wajah ceria mereka sudah menyambut.
“Tumben kalian pagi-pagi sudah berkeliaran, biasanya masih molor.” Gurauku pada Shanti dan Hans.
“Ucapin selamat datang kek atau bikinin kopi.” Shanti langsung menyambar tak mau kalah.
Hans menghampiriku dan menyodorkan kotak makanan yang berisi cream soup asparagus, dari aromanya saja sudah terasa sedap sekali. Senyuman kulemparkan begitu saja kepadanya, jangankan sebait kata sepatah kata saja tidak terucap dari bibirku. Seperti canggung.
“Makan dulu gih itu buatan Hans, aku tahu kok kalau kamu belum makan. Abis itu kamu siap-siap. Kita mau culik kamu.” Shanti menyambung kalimatnya dengan tawa.
“Kelihatannya enak nih, makasih Hans.” Seperti biasa Hans hanya tersenyum.
Di atas sofa berwarna cokelat di ruangan tempat  untuk menjamu tamu inilah kami bercengkrama, namun tak lama. Sejenak aku bersiap-siap untuk berlibur bersama Shanti dan Hans ke pantai untuk beberapa hari.
Enam jam perjalanan kami tempuh dengan menggunakan mobil jenis MPV keluaran Eropa. Kami memulai perjalanan dari matahari bersinar gagah dan tak jarang manusia terus mengumpat karena kepalanya mulai mendidih. Kemudian kami sampai sesaat sang surya hampir tenggelam di antara mega-mega yang membaur dengan jingga. Aku terkesiap, jendela kamarku menghadap langsung ke arah pantai. Aku bisa melihat langsung ombak yang berbuih di mulut pantai, ataupun nyiur yang sedang menyapa angin yang telah menyibakkan helai-helai daunnya.
Cakrawala mulai membaurkan warna-warna indahnya. Dari jingga yang liar mengecup nila, lalu merah yang keemasaan bercumbu dengan hitam yang menjadi pekat dan kemudian menjerat hingga mereka tenggelam dalam gemintang. Ombak semakin meraung ketika malam menggelinjang dengan butir-butir kerlipan bintang yang berbinar. Di sini aku hanya bisa melenguh di bawah tarian-tarian mereka. Sayup suara derap langkah di atas pasir membisik. Hans. Dia lalu duduk tepat di sebelahku, tanpa berucap, tanpa sapaan. Hanya lengkungan senyum yang tergores di wajahnya.
“Kamu suka pantai ya ?” Hans mulai membuka pembicaraan.
“Shanti cerita ya ke kamu ? ”
“Enggak, aku dari tadi memperhatikanmu dari jauh. Kau menghabiskan waktu yang cukup lama di ujung mulut pantai ini. Seperti menyatu lalu berbicara kepada elemen-elemen yang berada di sini. Seperti tampak ada kesedihan yang kau torehkan di atas rautmu.” Kemudian Hans berdiri, kemudian mengulurkan tangannya kepadaku. Aku menyambutnya dan kami beranjak pergi meninggalkan malam yang berdeburan.
Hans mengajakku ke coffee shop milik ayah Shanti, kebetulan di dekat penginapan kami terdapat satu cabang. Tidak terlalu besar, tapi cukup cozy untuk sekedar berbincang. Kami duduk di sebuah sofa yang berwarna biru toska tepat di ujung sudut ruangan. Tak lama kemudian pelayan datang menghampiri kami. Hans terlihat sedang berbisik kepada pelayan tersebut, lalu mereka meninggalkanku sendiri. Hans hanya sejenak berpaling ke arahku dan tersenyum. ‘Sendiri’. Sekedar untuk membunuh sepi, smartphone di tanganku menjadi sasaran senjata. Semenjak senja tadi aku tidak melihat batang hidung Shanti, ponselnya pun tak aktif. Mungkin sedang bertemu dengan ‘teman’nya. Menggumam.
Beberapa menit kemudian Hans datang dengan sebuah nampan yang berisi satu cangkir espresso kecil atau biasa juga disebut demitasse yang berukuran sekitar 60-90ml dan satu gelas tinggi yang berukuran lebih besar dari yang lainnya. Secangkir Espresso macchiato dan segelas Latte Macchiato. Hans yang membuatnya sendiri. Dia menyuruhku memilih dari antara dua macchiato tersebut. Spontan aku pilih Espresso macchiato, tanpa menambahkan sedikit pun gula. Hans mengrenyitkan dahinya ketika aku memilih Espresso macchiato tanpa gula.
“Kenapa dengan Espresso macchiato?” Selaksa tanya seakan-akan tak sabar membobol keluar dari bendung benak Hans.
“Mungkin aku terbiasa dengan pahit. Selayaknya hidup, hanya memerlukan setitik susu ke dalam segelas espresso untuk memperoleh kesempurnaan.” Jelasku kepada Hans dan kemudian bibir cangkir yang terasa hangat siap kulumat di ujung bibirku.
“Aku sudah mendengar banyak cerita tentangmu dari Shanti. Memang aku tak tahu banyak, tapi setidaknya aku mengerti posisimu.” Hans menyahut begitu saja tanpa menyadari aku sedikit sensitive dengan pembahasan itu.
“Tahu apa kalian dengan hidupku?” Aku beranjak, namun tangan Hans cepat-cepat meraihku.
“Kamu jangan salah sangka dulu, Rose. Bukan aku mau mencampuri urusanmu, itu hidupmu dan itu pun pilihanmu. Aku juga mengerti kau pun sadar akan tiap-tiap resiko dari pilihanmu. Aku tidak peduli akan statusmu. Aku mencintaimu.” Aku terpaku, seakan tidak percaya ucapan Hans.
“Kamu hanya sebentar mengenalku, Tahu apa kau.” Aku kembali beranjak dari sofa melangkah sedikit menjauh.
“Aku sudah memperhatikanmu selama tiga bulan yang lalu, dan baru-baru kemarin saja aku meminta Shanti mengenalkanmu kepadaku. Agar aku bisa mengenalmu lebih dekat.” Aku memang tak menyadari keberadaannya, karena memang aku tidak pernah memperhatikan siapa saja barista yang bekerja di coffee shop itu.
Langkahku begitu ringan untuk berlari meninggalkan Hans. Dia memanggilku, telingaku berpura-pura tak mendengarnya. Langkahku menghantarkan keluar coffee shop tersebut, Hans tak mau kalah dia menyusulku dari belakang. Tapak kakiku menjejak semakin kuat dan cepat, semakin cepat. Ketika aku hendak melangkah menuju ke seberang jalan, selorot lampu mobil menyilaukanku dan tiba-tiba pandanganku gelap begitu saja. Tak kulihat Hans, supir yang menyerempetku, atau siapapun. Hanya ada satu anak kecil dan cahaya terang yang kulihat. Lalu anak kecil tersebut berlari terhuyung ke arah cahaya tersebut dan tiba-tiba lenyap.
Aku seperti terbangun dari mati. Ketika kelopak mataku terbuka, redup kulihat Shanti dan Hans sudah berada di samping ranjangku. Aku terbaring lunglai, nyeri yang benar-benar menghujam pinggang rasanya tak karuan. Hans memandangku nanar, matanya berbinar membendung air yang melimpah di kelopak matanya.
“Kalian kenapa? Kenapa aku bisa di sini?” Tanyaku lirih. Lalu Hans menggenggam erat jemariku.
“Semalam kamu kecelakaan. Sebuah mobil sedan menyerempetmu. Kamu memang tidak apa-apa, tapi….” Hans tak meneruskannya.
“Tapi apa?” Hardikku kepada Hans.
“Kamu mengalami pendarahan hebat, Rose. Sehingga janinmu keguguran.” Sambung Shanti meneruskannya.’
“Jadi kalian sudah tahu, dan sekarang sudah tidak ada harapan.” Rintik air mataku menetes tak terbendung.
“Lalu, Rudolph tau kalau kamu sedang mengandung anaknya?” Pertanyaan Shanti semakin membuat deras aliran air mataku.
“Dia sudah tahu, kemarin malam dia menghubungiku. Aku sudah memberitahukan kepadanya. Tapi memang saat itu tidak tepat. Dia malah bilang kalau tidak jadi bercerai dengan istrinya. Dan aku yakin dia tak akan pulang lagi ke Indonesia. Perusahaannya yang di sini sudah di-take over oleh temannya.” Lalu bibirku mengatup begitu saja, tak ingin membahas hal itu lagi.
Dua bulan bergulir begitu saja. Aku sudah tidak menempati apartemenku lagi, karena aku yakin tak akan bisa membayar sewanya lagi. Hans telah melamarku. Hari demi hari dia merawatku hingga aku pulih ketika aku sakit. Perhatian dan ketulusannya membuat aku luluh. Ya, dan sekarang kami telah hidup bersama. Hidup bersama seorang barista handal, dan pagi ini disambutnya dengan Latte Macchiato.
“Seperti kamu mengibaratkan Espresso Macchiato tanpa gula, bagai hidupmu yang pahit dan hanya ‘butuh’ sedikit susu di dalamnya. Kemudian itu akan membuat hidupmu sempurna. Namun tidak denganku, aku akan memberikanmu banyak susu di bawah sedikit espresso untuk menjadikan Latte macchiato yang sempurna. Pada akhirnya rasa pahit espresso tak kentara, karena susu yang mendominan hidupmu.” Hans memberikan arti yang berbeda dalam hidupku.

SEMARANG, 22 JANUARI 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar