Cuping
hidungku mengembang seiring dengan kelopak mataku yang membelalak. Sepagi ini kucium
harum aroma kopi bertahta cangkir yang elegan melambai-lambaikan kepul asapnya di
atas meja, samping tempat tidurku. Rudolph memang tak seromantis pria lainnya.
Namun dia mengerti cara memperlakukan wanita, dengan caranya sendiri tentunya.
Pria yang selama tiga tahun ini tinggal satu atap bahkan satu ranjang denganku.
Kami bukan tidak menginginkan satu ikatan resmi atau apa pun yang mereka sebut
dengan perkawinan. Kami hanya membiarkan cinta kami mengalir begitu saja. Ini
adalah cinta dalam balutan kopi dimana manis hanya sececap, namun terasa getir
mengendap di lidah. Bukan sekedar birahi di atas ranjang yang dingin. Apa lagi
sekedar lembaran cek yang bernilai milyaran rupiah.
Kuhirup
aroma kopi buatan Rudolph yang begitu nikmat. Kunikmati hangat-hangat sececap
demi sececap, lalu kubiarkan cangkir itu diam di atas meja yang sedikit berdebu.
Kemudian aku menghampiri Rudolph yang sedang berdiri berhadapan dengan cermin
sembari merapikan kemejanya. Tanpa berkata aku mendekap tubuhnya yang tinggi
besar, dan gagah itu. Setiap lekuk tubuhnya tercium aroma yang maskulin dari parfum termahal yang dibelinya dari Paris.
Ku rapikan kerah kemejanya sambil bersenandung dalam hati. Tak pernah terlintas
untuk mempertanyakan kapan dia akan pulang, saat dia bersiap-siap pergi ke luar
negeri seperti saat ini. Mungkin dia akan menghabiskan waktu liburannya ke
Paris selama satu bulan. Liburan tanpaku? Ya, tentu. Bukan sekedar liburan.
Akhir
bulan Desember, tentunya aku harus menyiapkan mantel tebal untuk Rudolph.
L’hiver atau biasa disebut dengan winter, musim dingin. Beberapa daerah menjadi
surga yang dilapisi salju yang bergitu tebalnya.
“Cherie,
N'oubliez pas de gants. [sayang, jangan lupa sarung
tangannya] ” kata Rudolph mengingatkanku. Sesegera aku menyiapkan sarung
tangan hitam kesukaan Rudolph.
Aku
memang tidak berbicara bahasa Perancis dengan lancar, tapi aku mengerti apa
yang dikatakan Rudolph kepadaku. Dalam keseharian dia lebih nyaman bertutur
menggunakan bahasa Indonesia. Hal itulah yang membuatku tidak bisa berkembang
dalam menggunakan bahasa Perancis. Namun itu tak dibuat masalah oleh Rudolph.
“Sayang,
taxi-nya sudah datang.” Kataku sambil bergegas menjinjing satu dari tiga koper
Rudolph. Kemudian kami segera turun dari apartemen. Aku tidak pernah
mengantarnya sampai ke bandara, karena hanya membuatku merasa sedih.
Tangan
Rudolph meraih handle pintu taxi dan membukanya, kemudian berbalik menghadapku.
Tanpa menghantarkan seucap kata, dia meluncurkan kecupan di dahiku, satu
kecupan lagi di pipi kanan, pipi kiri, dan yang terakhir ciumannya melesat
cepat ke bibirku yang merah ranum. Entah
mengapa begitu beratnya rasaku melihat langkah Rudolph yang semakin menjauh
dariku. Lambaian tangannya yang lembut tetapi tegas, seakan menghantarkanku
dalam kesepian. Tanganku menyambut lambaiannya, dan lalu aku segera berlalu.
Senja di apartemenku begitu bangga memamerkan keemasan
sang surya yang senantiasa bersanding dengan lembayung jingga. Gedung-gedung
pencakar langit laksana tonggak yang menyangga gelora sang cakrawala senja,
menjaganya agar tidak runtuh. Kemudian mereka membawa lamunanku terjerembab jauh
ke dalam kemunafikan. Ada lorong-lorong yang sunyi, yang tak seorang pun tahu. Aku
mencoba menampik. Sebuah kemunafikan. Entahlah. Apapun itu, aku berusaha
menjadi wanita yang bahagia. Lalu senyumku melengkung di atas bibirku yang
membeku. Lamunanku buyar dan semakin ambyar, ketika dering suara telpon
mengumpat keras sampai ke telingaku. Telepon dari Shanti, dia mengajakku keluar
nanti malam. Ya, seperti biasa. Coffee shop langganan kami untuk sekedar
bercuap-cuap, berdiskusi, atau berbicara seadanya tentang pasangan kami.
Aku sudah berada di ambang pintu masuk coffee shop. Tak
kulihat batang hidung Shanti di meja yang biasa kami tempati. Di sofa yang
berwarna hijau dekat dengan jendela,
menyelorot cahaya berwarna kuning yang berpendar dari bohlam lampu di atasnya.
Sepi, hanya ada seorang pria setengah baya duduk di atas sofa tersebut.
“Rose ! ” Suara itu seperti aku kenal. Suara
yang berasal dari meja bar. Ya, sudah kuduga. Itu suara Shanti. Sambil
tersenyum aku melenggang dengan anggun menuju tempat Shanti duduk.
“Kok tumben kamu duduk di bar, biasanya kan di sofa ujung
dekat jendela itu ?” Tanyaku sembari duduk di atas kursi yang berkaki
tinggi itu.
“Udah, kamu pesan aja dulu. Kamu pesan apa Rose ?
Aku yang traktir. Hehehe ”
“Aku pesan Irish coffee. Seperti biasa.” Ucapku keapada
seorang barista yang berdiri di belakang meja bar.
“Okay Nona, saya siapkan. Mohon ditunggu ya.” Barista itu
tersenyum begitu ramahnya, lalu dia menyodorkan pesanan Shanti. Dan dengan
hanya tersenyum padanya.
Ku pandangi terus cangkir espresso yang berukuran sekitar
60-90 ml tersebut. Penasaran, karena Shanti tidak pernah memesan kopi varian
yang seperti itu. Dia suka sekali dengan Cappucinno. Itu alasannya kenapa aku
heran.
“Ini namanya Espresso
Macchiato.” Jelas Shanti kepadaku, seakan aku tidak tahu apa-apa tentang bermacam-macam
varian kopi.
“Ya ngertilah. Yang aku bingung itu, tumben banget kamu
pesan kopi varian tersebut.” Cletukku karena merasa tidak nyaman dengan
perkataannya.
“Haha, serius amat kamu. Sini deh aku kasih tahu. Aku
kenalin barista yang sekarang sedang melayani pesananmu itu adalah sepupuku
yang baru saja pulang dari Itali. Dia memang bukan berpendidikan tinggi, cuma
lulus sampai SMA saja. Hans namanya, dari remaja dia suka dengan kopi. Maka
dari itu dia sampai ke Itali cuma untuk belajar jadi barista yang paling top.
Segala resep kopi di dunia pun dia tahu, salah satu resep andalannya yang
paling nikmat adalah Macchiato. Nah,
karena aku penasaran ya aku cobain aja. Dan rasanya emang nikmat banget. Nggak
salah Papahku rekrut Hans jadi barista di sini.”
Ya, memang kebetulan Coffee shop ini adalah milik
Papahnya Shanti, dan sudah memiliki puluhan cabang di Indonesia. Kulihat Hans
hanya tersenyum ketika Shanti menjelaskan panjang lebar tentang dirinya. Tak
lama kemudian dia menyodorkan Irish coffee pesananku yang sudah siap. Kuraih
pegangan gelas kopi Irlandia tersebut yang berbentuk agak tinggi terbuat dari
kaca bening, sehingga dengan sengaja bisa memamerkan warna dari kopi dan cream
yang begitu mencolok namun indah. Bibirku rasanya tak sabar melumat bibir gelas
kopi tersebut dan kemudian menyatu dengannya. Mataku seperti ingin melonjak
keluar. Bibirku masih mengatup. Wow, baru kali ini aku minum Irish coffee
seenak ini. Komposisi antara black coffee, brown sugar, Irish Whiskey, dan
heavy cream yang sempurna. Benar-benar tangan Hans itu ajaib.
Sepulang dari coffee shop aku langsung menuju apartemen.
Sudah berjam-jam waktu kuhabiskan di sana, sekedar sharing tentang bijih kopi
ataupun pengalaman pribadi dengan Hans dan Shanti. Badanku terglepar begitu
saja di atas sofa kesayanganku yang kuletakkan di sudut kamar. Mataku enggan
memejam, memandang langit-langit yang pucat. Seperti gamang. Seperti juga
‘sepi’. Memang sepi kataku. Lalu aku beranjak dari sofa menuju kamar
mandi. Kudapati sebuah test pack yang tergeletak di rak penyimpanan
peralatan mandi. Masih tersegel dengan rapi. Dengan mimik yang ragu aku
meraihnya. Ini adalah kali ketiga aku menggunakan benda tersebut ketika dua
bulan aku terlambat haid. Aku selalu berharap kalau hasil yang sebelumnya
adalah salah. Aku hanya bisa memejam, dan sebenarnya aku memang hanya pura-pura
bodoh. Karena aku tahu, aku memang sedang hamil. Tanpa Rudolph tahu hal
tersebut. Atau mungkin dia sudah tahu. Aku takut. Dan desauan angin dari celah
jendela menyibakkan resah yang semakin menjadi gelisah. Aku semakin membeku di
tengah risau yang mengkristal.
Pagi ini. Bosan. Satu kata yang memang jelas terlintas di
benakku. Rudolph tak pernah mengijinkanku untuk bekerja, entah apa alasannya.
Dulu aku bekerja di sebuah redaksi majalah, sebagai kepala redaksi sampai
akhirnya aku mengenal Rudolph. Secara materi memang aku tercukupi. Namun tidak
demikian dengan batinku. Entahlah, aku selalu berlari dari kenyataan ini.
Telepon selularku berdecit. Pesan singkat dari Shanti,
dia dan Hans sudah berada di bawah apartemenku. Tak lama kemudian suara bel
terdengar dari pintu masuk. Ketika kubuka pintu wajah ceria mereka sudah
menyambut.
“Tumben kalian pagi-pagi sudah berkeliaran, biasanya
masih molor.” Gurauku pada Shanti dan Hans.
“Ucapin selamat datang kek atau bikinin kopi.” Shanti
langsung menyambar tak mau kalah.
Hans menghampiriku dan menyodorkan kotak makanan yang
berisi cream soup asparagus, dari aromanya saja sudah terasa sedap sekali.
Senyuman kulemparkan begitu saja kepadanya, jangankan sebait kata sepatah kata saja
tidak terucap dari bibirku. Seperti canggung.
“Makan dulu gih itu buatan Hans, aku tahu kok kalau kamu
belum makan. Abis itu kamu siap-siap. Kita mau culik kamu.” Shanti menyambung
kalimatnya dengan tawa.
“Kelihatannya enak nih, makasih Hans.” Seperti biasa Hans
hanya tersenyum.
Di atas sofa berwarna cokelat di ruangan tempat untuk menjamu tamu inilah kami bercengkrama,
namun tak lama. Sejenak aku bersiap-siap untuk berlibur bersama Shanti dan Hans
ke pantai untuk beberapa hari.
Enam jam perjalanan kami tempuh dengan menggunakan mobil
jenis MPV keluaran Eropa. Kami memulai perjalanan dari matahari bersinar gagah
dan tak jarang manusia terus mengumpat karena kepalanya mulai mendidih.
Kemudian kami sampai sesaat sang surya hampir tenggelam di antara mega-mega
yang membaur dengan jingga. Aku terkesiap, jendela kamarku menghadap langsung
ke arah pantai. Aku bisa melihat langsung ombak yang berbuih di mulut pantai,
ataupun nyiur yang sedang menyapa angin yang telah menyibakkan helai-helai daunnya.
Cakrawala mulai membaurkan warna-warna indahnya. Dari
jingga yang liar mengecup nila, lalu merah yang keemasaan bercumbu dengan hitam
yang menjadi pekat dan kemudian menjerat hingga mereka tenggelam dalam
gemintang. Ombak semakin meraung ketika malam menggelinjang dengan butir-butir
kerlipan bintang yang berbinar. Di sini aku hanya bisa melenguh di bawah
tarian-tarian mereka. Sayup suara derap langkah di atas pasir membisik. Hans.
Dia lalu duduk tepat di sebelahku, tanpa berucap, tanpa sapaan. Hanya
lengkungan senyum yang tergores di wajahnya.
“Kamu suka pantai ya ?” Hans mulai membuka
pembicaraan.
“Shanti cerita ya ke kamu ? ”
“Enggak, aku dari tadi memperhatikanmu dari jauh. Kau
menghabiskan waktu yang cukup lama di ujung mulut pantai ini. Seperti menyatu
lalu berbicara kepada elemen-elemen yang berada di sini. Seperti tampak ada
kesedihan yang kau torehkan di atas rautmu.” Kemudian Hans berdiri, kemudian
mengulurkan tangannya kepadaku. Aku menyambutnya dan kami beranjak pergi meninggalkan
malam yang berdeburan.
Hans mengajakku ke coffee shop milik ayah Shanti,
kebetulan di dekat penginapan kami terdapat satu cabang. Tidak terlalu besar,
tapi cukup cozy untuk sekedar
berbincang. Kami duduk di sebuah sofa yang berwarna biru toska tepat di ujung
sudut ruangan. Tak lama kemudian pelayan datang menghampiri kami. Hans terlihat
sedang berbisik kepada pelayan tersebut, lalu mereka meninggalkanku sendiri.
Hans hanya sejenak berpaling ke arahku dan tersenyum. ‘Sendiri’. Sekedar untuk
membunuh sepi, smartphone di tanganku menjadi sasaran senjata. Semenjak senja
tadi aku tidak melihat batang hidung Shanti, ponselnya pun tak aktif. Mungkin
sedang bertemu dengan ‘teman’nya. Menggumam.
Beberapa menit kemudian Hans datang dengan sebuah nampan
yang berisi satu cangkir espresso kecil atau biasa juga
disebut demitasse yang berukuran sekitar 60-90ml dan satu gelas tinggi
yang berukuran lebih besar dari yang lainnya. Secangkir Espresso macchiato dan
segelas Latte Macchiato. Hans yang membuatnya sendiri. Dia menyuruhku memilih
dari antara dua macchiato tersebut. Spontan aku pilih Espresso macchiato, tanpa
menambahkan sedikit pun gula. Hans mengrenyitkan dahinya ketika aku memilih
Espresso macchiato tanpa gula.
“Kenapa
dengan Espresso macchiato?” Selaksa tanya seakan-akan tak sabar membobol keluar
dari bendung benak Hans.
“Mungkin
aku terbiasa dengan pahit. Selayaknya hidup, hanya memerlukan setitik susu ke
dalam segelas espresso untuk memperoleh kesempurnaan.” Jelasku kepada Hans dan
kemudian bibir cangkir yang terasa hangat siap kulumat di ujung bibirku.
“Aku
sudah mendengar banyak cerita tentangmu dari Shanti. Memang aku tak tahu
banyak, tapi setidaknya aku mengerti posisimu.” Hans menyahut begitu saja tanpa
menyadari aku sedikit sensitive dengan pembahasan itu.
“Tahu
apa kalian dengan hidupku?” Aku beranjak, namun tangan Hans cepat-cepat
meraihku.
“Kamu
jangan salah sangka dulu, Rose. Bukan aku mau mencampuri urusanmu, itu hidupmu
dan itu pun pilihanmu. Aku juga mengerti kau pun sadar akan tiap-tiap resiko
dari pilihanmu. Aku tidak peduli akan statusmu. Aku mencintaimu.” Aku terpaku,
seakan tidak percaya ucapan Hans.
“Kamu
hanya sebentar mengenalku, Tahu apa kau.” Aku kembali beranjak dari sofa
melangkah sedikit menjauh.
“Aku
sudah memperhatikanmu selama tiga bulan yang lalu, dan baru-baru kemarin saja
aku meminta Shanti mengenalkanmu kepadaku. Agar aku bisa mengenalmu lebih
dekat.” Aku memang tak menyadari keberadaannya, karena memang aku tidak pernah
memperhatikan siapa saja barista yang bekerja di coffee shop itu.
Langkahku
begitu ringan untuk berlari meninggalkan Hans. Dia memanggilku, telingaku
berpura-pura tak mendengarnya. Langkahku menghantarkan keluar coffee shop
tersebut, Hans tak mau kalah dia menyusulku dari belakang. Tapak kakiku
menjejak semakin kuat dan cepat, semakin cepat. Ketika aku hendak melangkah
menuju ke seberang jalan, selorot lampu mobil menyilaukanku dan tiba-tiba
pandanganku gelap begitu saja. Tak kulihat Hans, supir yang menyerempetku, atau
siapapun. Hanya ada satu anak kecil dan cahaya terang yang kulihat. Lalu anak
kecil tersebut berlari terhuyung ke arah cahaya tersebut dan tiba-tiba lenyap.
Aku
seperti terbangun dari mati. Ketika kelopak mataku terbuka, redup kulihat
Shanti dan Hans sudah berada di samping ranjangku. Aku terbaring lunglai, nyeri
yang benar-benar menghujam pinggang rasanya tak karuan. Hans memandangku nanar,
matanya berbinar membendung air yang melimpah di kelopak matanya.
“Kalian
kenapa? Kenapa aku bisa di sini?” Tanyaku lirih. Lalu Hans menggenggam erat
jemariku.
“Semalam
kamu kecelakaan. Sebuah mobil sedan menyerempetmu. Kamu memang tidak apa-apa,
tapi….” Hans tak meneruskannya.
“Tapi
apa?” Hardikku kepada Hans.
“Kamu
mengalami pendarahan hebat, Rose. Sehingga janinmu keguguran.” Sambung Shanti
meneruskannya.’
“Jadi
kalian sudah tahu, dan sekarang sudah tidak ada harapan.” Rintik air mataku
menetes tak terbendung.
“Lalu,
Rudolph tau kalau kamu sedang mengandung anaknya?” Pertanyaan Shanti semakin
membuat deras aliran air mataku.
“Dia
sudah tahu, kemarin malam dia menghubungiku. Aku sudah memberitahukan
kepadanya. Tapi memang saat itu tidak tepat. Dia malah bilang kalau tidak jadi
bercerai dengan istrinya. Dan aku yakin dia tak akan pulang lagi ke Indonesia.
Perusahaannya yang di sini sudah di-take over oleh temannya.” Lalu bibirku
mengatup begitu saja, tak ingin membahas hal itu lagi.
Dua
bulan bergulir begitu saja. Aku sudah tidak menempati apartemenku lagi, karena
aku yakin tak akan bisa membayar sewanya lagi. Hans telah melamarku. Hari demi
hari dia merawatku hingga aku pulih ketika aku sakit. Perhatian dan
ketulusannya membuat aku luluh. Ya, dan sekarang kami telah hidup bersama.
Hidup bersama seorang barista handal, dan pagi ini disambutnya dengan Latte
Macchiato.
“Seperti
kamu mengibaratkan Espresso Macchiato tanpa gula, bagai hidupmu yang pahit dan
hanya ‘butuh’ sedikit susu di dalamnya. Kemudian itu akan membuat hidupmu
sempurna. Namun tidak denganku, aku akan memberikanmu banyak susu di bawah
sedikit espresso untuk menjadikan Latte macchiato yang sempurna. Pada akhirnya
rasa pahit espresso tak kentara, karena susu yang mendominan hidupmu.” Hans
memberikan arti yang berbeda dalam hidupku.
SEMARANG, 22 JANUARI 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar