Pagi seharusnya meronce
butiran embun dari celah dedaunan, namun tidak untuk kali ini. Ia memilih
merapatkan kelambunya yang hitam kelam di telapak cakrawala. Kemudian perlahan
mengarsir rerintik gerimis yang menjadi
penutup akhir musim kemarau. Ada beberapa burung gereja bertengger di bingkai
jendela kamarku. Bingkai kayu usang dan lapuk dengan kaca yang tidak lagi
jernih. Salah satu dari mereka mencucuk – cucukkan paruhnya yang mungil pada
kaca jendela yang mulai renta. Aku meletakkan untaian Rosario di atas kitab
yang bertuliskan ayat – ayat. Sedikit kubuka jendela kamarku, memberikan celah
untuk mereka masuk. Namun mereka malah
terbang berhamburan menuju tempat teduh lainnya. Ada satu di antara
mereka yang masih tetap tinggal. Kakinya yang mungil meloncat – loncat ke sana
kemari. Hingga akhirnya ia pun masuk ke dalam kamarku.
Dengan derap yang
perlahan aku melangkah mendekatinya. Ia malah semakin mendekat, hingga kemudian
terbang mendarat di pundakku. Aku jadi teringat Thomas. Pria yang masih
mempunyai darah keturunan raja tanah Toraja. Badannya yang tinggi dan kekar
ditambah parasnya lebih dari tampan. Ia sering kali menjuluki dirinya sendiri sebagai
burung gereja yang bebas hinggap kemana saja. Entah apa maksudnya. Tidak
dipungkiri dengan profesinya sebagai arsitek ia pun banyak menerima tawaran
proyek di berbagai daerah, bahkan sampai ke luar negeri. Pada saat yang tak
diduga Thomas mendapat kesempatan untuk mendesign sebuah bangunan masjid di ibu
kota. Masjid yang dibangun dengan megah sekali. Lantainya terbuat dari marmer
pilihan, tiang – tiangnya menyangga dengan kokoh kubah yang berlapiskan emas.
Aku begitu banyak
memantau keberadaan Thomas. Hingga kemudian aku mengetahui pertemuannya dengan
gadis yang baru – baru ini aku ketahui adalah anak dari tokoh pemuka agama yang
tinggal di tempat Thomas mengurus proyeknya. Gadis yang santun dan taat
beribadah. Aku tahu dia menaruh hati kepada gadis itu. Hingga suatu kesempatan
mereka benar – benar menjadi dekat. Entah apa saja yang mereka lakukan pada
pertemuan – pertemuan itu, aku pun tak ambil pusing. Gadis itu selalu terlihat
tersipu ketika sedang bersama Thomas. Seperti ada pancaran cinta yang begitu
malu – malu saat mereka sedang berdua. Ah cinta? Omong kosong.
Thomas yang biasanya
menghubungiku rutin setiap hari, tiba – tiba menjadi seperti enggan
memperhatikanku lagi. Tak ada SMS kalau aku tak mendahului menanyakan kabar.
Telepon darinya pun menjadi kadang – kadang, dan akhirnya menjadi tidak pernah.
Aku mengerti sebab yang membuatnya seperti itu. Namun aku hanya diam dalam
dekap resah yang basah karena air di pelupuk mata berjatuhan hingga pipi, mengalir
ke dagu dan berakhir di dada. Kemudian meresap pada celah – celah kalbu yang
terperosok dalam dungu.
Semakin hari semakin
tak ada kabar. Thomas pasti sedang berkonsentrasi penuh dengan proyeknya atau
mungkin malah berkonsentrasi penuh dengan gadis itu. Aku bisa melihat
aktivitasnya dengan dia selalu update di
jejaring sosial, bahkan aku pun bisa melacak keberadaannya. Atau mungkin
mencari tahu dari rekan –rekan kerjanya yang aku kenal. Hingga pada suatu saat
aku menemukan titik kejenuhan untuk melakukan semua hal itu. Aku mulai diam,
tanpa pengharapan dan menghilang begitu saja dalam gorong – gorong yang disebut
keputusasaan.
Hingga dua tahun aku
sudah tidak pernah berhubungan dengan Thomas, sekedar berkabar saja tidak.
Musim berganti musim, waktu bergulir bagai air yang menetes dari reruncing
ujung stalagtit.
Kemudian tiba – tiba aku
merasakan desau angin membawa kabar tentang luka dan pilu. Thomas yang telah
menjalin hubungan dengan gadis santun dan berbudi baik itu, mendapat banyak
pertentangan dari berbagai pihak. Kedua belah pihak keluarga mereka tidak
merestui hubungan lintas agama tersebut. Bagaimana mungkin bisa satu bahtera
mempunyai dua orang nahkoda. Begitulah ceracau yang mengacau saat terjadi
perdebatan dengan keluarga pihak Thomas. Begitu pula dengan keluarga gadis itu.
Pada suatu waktu Thomas
kembali ke kota ini. Sesekali dia menghubungiku untuk bertemu. Aku mengiyakan
permintaannya. Pertemuan yang tidak lama, dan juga tidak sebentar. Di bawah
naungan atap cakrawala yang gulita, berhiaskan reronce gemintang yang begitu
gemerlap. Aku sesekali mencuri pandang untuk sekedar melihat wajah Thomas yang
telah banyak berubah. Rambutnya yang sudah terlalu panjang karena tidak segera
dipotong. Raut mukanya seperti lelah. Aku terus saja diam tak bergeming, entah
apa yang harus kumulai dengan pertemuan ini.
“Tabitha, sebenarnya
aku ingin minta maaf kepadamu. Aku telah banyak mengecewakanmu.”
Otakku tiba – tiba
mampat, tak tahu harus menangis atau mengumpat. Dia datang seperti makhluk yang
tidak mempunyai dosa apa – apa. Semua perasaan yang gamang itu kusisipkan jauh
di dalam sana, lalu kemudian membungkusnya dengan senyum yang merekah.
“Aku lelah menyimpan
hubungan ini darimu, dan aku yakin kamu pasti sudah tahu semuanya.”
Lidahku semakin
tercekat, tenggorokanku bergetar namun seperti ada yang menyumbat. Thomas
bercerita semakin dalam, tentang pertemuannya, tentang semua rasa yang dia
miliki untuk gadis itu. Aku tak habis pikir pria macam apa dia yang tega
membiarkan perih menghujam hati ini.
“Aku begitu
mencintainya. Namun begitu berat cobaan kami untuk bersatu. Apakah burung
gereja tidak boleh bertengger di atas kubah masjid?”
“Kau masih berhubungan
dengan gadis itu Thom?”
“Sudah lama tidak,
setelah aku sempat pulang ke Makassar sekitar lima bulan yang lalu. Tapi Bitha,
rasa ini masih membekas.”
“Thom, kau pikir
bagaimana perasaanku saat kamu tiba – tiba menghilang dan tidak pernah
menghubungiku? Lalu kamu tahu rasanya kalau tahu bahwa ternyata kamu bersama
gadis lain?”
Bibir Thomas membeku,
enggan bertutur. Cahaya matanya semakin redup. Entah apa yang sedang bergumul dalam otaknya saat itu.
“Tabitha, aku juga
ingin sekalian berpamitan. Besok lusa aku sudah harus pulang ke Makassar.
Mungkin aku akan menetap di sana lagi.”
Kontan perasaanku jadi
tak karuan. Lantas apa maksudnya dia kembali menemuiku sekarang?
“Kau tak akan pernah
menemuiku lagi setelah pertemuan ini Thom?”
“Aku akan selalu
menghubungimu rutin seperti sedia kala. Atau mungkin aku akan datang menemuimu
dua bulan sekali. Itu pun kalau kamu sudi memulainya lagi.”
“Kau memang laki – laki
yang tak tahu malu Thom. Setelah semua yang kau lakukan kepadaku.”
“Tabitha, aku memohon
maaf untuk semua itu,” Thomas meraih tanganku yang berpangku diatas pahaku.
“Tolong beri aku kesempatan satu kali lagi untuk memulainya.”
Mataku nanar melihat
mimik wajah Thomas yang mengemis dan begitu memelas meminta cintanya kembali.
Dan aku tak mengira akan menjadi sedramatik ini.
***
Hubungan kami kembali
seperti semula. Hubungan yang terjalin dengan perbedaan ruang dan waktu.
Hubungan jarak jauh. Dengan tanpa sepengetahuanku Thomas masih sering
berhubungan dengan gadis itu. Entah bagaimana dia menutupi semuanya itu. Aku
tak pernah menduga dia ingkari dan dustai janji yang dia ucap sendiri.
Ombak, sampan, pasir,
senja, jingga, nila, karang. Semua menjadi saksi yang tak berucap. Hingga aku
pun akhirnya tahu tentang Thomas dan Mariam, yang baru – baru aku ketahui
namanya dari kolom berita di koran. Mereka menghempaskan diri di antara ombak
yang bergulung hingga menelan mereka. Aku tak akan melarang jikalau Thomas
memang terlalu cinta dengan Mariam. Tapi mengapa harus dia selalu berhianat
kepadaku.
Sekarang semua orang
marah padanya. Mungkin Tuhan yang lebih marah. Semua berita yang simpang siur
menjadikan pikirku semakin gamang. Bimbang. Aku ingat, malam itu aku menangis
tak berguna. Entah menangisi apa aku pun tak mengerti. Kemudian lamat – lamat
aku mendengar suara dari balik jendela yang bertirai rapuh. “Tabitha, jangan
menangis.”
Dialah suara dari buah
kekecewaan. Tangis yang menggerus di malam yang bergulita di atas ombak – ombak
yang menari di pelataran rembulan. Dialah suara yang hingga kini mengguntur di
saat hujan menghujam. Tangis yang merepih di sela mega hitam yang menggantung
di hempasan cakrawala. Dialah burung gereja yang selalu bertengger di kubah
masjid.
Semarang, 05 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar