Minggu, 17 Maret 2013

KISAH BURUNG GEREJA DI KUBAH MASJID



Pagi seharusnya meronce butiran embun dari celah dedaunan, namun tidak untuk kali ini. Ia memilih merapatkan kelambunya yang hitam kelam di telapak cakrawala. Kemudian perlahan mengarsir rerintik gerimis  yang menjadi penutup akhir musim kemarau. Ada beberapa burung gereja bertengger di bingkai jendela kamarku. Bingkai kayu usang dan lapuk dengan kaca yang tidak lagi jernih. Salah satu dari mereka mencucuk – cucukkan paruhnya yang mungil pada kaca jendela yang mulai renta. Aku meletakkan untaian Rosario di atas kitab yang bertuliskan ayat – ayat. Sedikit kubuka jendela kamarku, memberikan celah untuk mereka masuk. Namun mereka malah  terbang berhamburan menuju tempat teduh lainnya. Ada satu di antara mereka yang masih tetap tinggal. Kakinya yang mungil meloncat – loncat ke sana kemari. Hingga akhirnya ia pun masuk ke dalam kamarku.
Dengan derap yang perlahan aku melangkah mendekatinya. Ia malah semakin mendekat, hingga kemudian terbang mendarat di pundakku. Aku jadi teringat Thomas. Pria yang masih mempunyai darah keturunan raja tanah Toraja. Badannya yang tinggi dan kekar ditambah parasnya lebih dari tampan. Ia sering kali menjuluki dirinya sendiri sebagai burung gereja yang bebas hinggap kemana saja. Entah apa maksudnya. Tidak dipungkiri dengan profesinya sebagai arsitek ia pun banyak menerima tawaran proyek di berbagai daerah, bahkan sampai ke luar negeri. Pada saat yang tak diduga Thomas mendapat kesempatan untuk mendesign sebuah bangunan masjid di ibu kota. Masjid yang dibangun dengan megah sekali. Lantainya terbuat dari marmer pilihan, tiang – tiangnya menyangga dengan kokoh kubah yang berlapiskan emas.
Aku begitu banyak memantau keberadaan Thomas. Hingga kemudian aku mengetahui pertemuannya dengan gadis yang baru – baru ini aku ketahui adalah anak dari tokoh pemuka agama yang tinggal di tempat Thomas mengurus proyeknya. Gadis yang santun dan taat beribadah. Aku tahu dia menaruh hati kepada gadis itu. Hingga suatu kesempatan mereka benar – benar menjadi dekat. Entah apa saja yang mereka lakukan pada pertemuan – pertemuan itu, aku pun tak ambil pusing. Gadis itu selalu terlihat tersipu ketika sedang bersama Thomas. Seperti ada pancaran cinta yang begitu malu – malu saat mereka sedang berdua. Ah cinta? Omong kosong.
Thomas yang biasanya menghubungiku rutin setiap hari, tiba – tiba menjadi seperti enggan memperhatikanku lagi. Tak ada SMS kalau aku tak mendahului menanyakan kabar. Telepon darinya pun menjadi kadang – kadang, dan akhirnya menjadi tidak pernah. Aku mengerti sebab yang membuatnya seperti itu. Namun aku hanya diam dalam dekap resah yang basah karena air di pelupuk mata berjatuhan hingga pipi, mengalir ke dagu dan berakhir di dada. Kemudian meresap pada celah – celah kalbu yang terperosok dalam dungu.
Semakin hari semakin tak ada kabar. Thomas pasti sedang berkonsentrasi penuh dengan proyeknya atau mungkin malah berkonsentrasi penuh dengan gadis itu. Aku bisa melihat aktivitasnya dengan dia selalu update di jejaring sosial, bahkan aku pun bisa melacak keberadaannya. Atau mungkin mencari tahu dari rekan –rekan kerjanya yang aku kenal. Hingga pada suatu saat aku menemukan titik kejenuhan untuk melakukan semua hal itu. Aku mulai diam, tanpa pengharapan dan menghilang begitu saja dalam gorong – gorong yang disebut keputusasaan.
Hingga dua tahun aku sudah tidak pernah berhubungan dengan Thomas, sekedar berkabar saja tidak. Musim berganti musim, waktu bergulir bagai air yang menetes dari reruncing ujung stalagtit.
Kemudian tiba – tiba aku merasakan desau angin membawa kabar tentang luka dan pilu. Thomas yang telah menjalin hubungan dengan gadis santun dan berbudi baik itu, mendapat banyak pertentangan dari berbagai pihak. Kedua belah pihak keluarga mereka tidak merestui hubungan lintas agama tersebut. Bagaimana mungkin bisa satu bahtera mempunyai dua orang nahkoda. Begitulah ceracau yang mengacau saat terjadi perdebatan dengan keluarga pihak Thomas. Begitu pula dengan keluarga gadis itu.
Pada suatu waktu Thomas kembali ke kota ini. Sesekali dia menghubungiku untuk bertemu. Aku mengiyakan permintaannya. Pertemuan yang tidak lama, dan juga tidak sebentar. Di bawah naungan atap cakrawala yang gulita, berhiaskan reronce gemintang yang begitu gemerlap. Aku sesekali mencuri pandang untuk sekedar melihat wajah Thomas yang telah banyak berubah. Rambutnya yang sudah terlalu panjang karena tidak segera dipotong. Raut mukanya seperti lelah. Aku terus saja diam tak bergeming, entah apa yang harus kumulai dengan pertemuan ini.
“Tabitha, sebenarnya aku ingin minta maaf kepadamu. Aku telah banyak mengecewakanmu.”
Otakku tiba – tiba mampat, tak tahu harus menangis atau mengumpat. Dia datang seperti makhluk yang tidak mempunyai dosa apa – apa. Semua perasaan yang gamang itu kusisipkan jauh di dalam sana, lalu kemudian membungkusnya dengan senyum yang merekah.
“Aku lelah menyimpan hubungan ini darimu, dan aku yakin kamu pasti sudah tahu semuanya.”
Lidahku semakin tercekat, tenggorokanku bergetar namun seperti ada yang menyumbat. Thomas bercerita semakin dalam, tentang pertemuannya, tentang semua rasa yang dia miliki untuk gadis itu. Aku tak habis pikir pria macam apa dia yang tega membiarkan perih menghujam hati ini.
“Aku begitu mencintainya. Namun begitu berat cobaan kami untuk bersatu. Apakah burung gereja tidak boleh bertengger di atas kubah masjid?”
“Kau masih berhubungan dengan gadis itu Thom?”
“Sudah lama tidak, setelah aku sempat pulang ke Makassar sekitar lima bulan yang lalu. Tapi Bitha, rasa ini masih membekas.”
“Thom, kau pikir bagaimana perasaanku saat kamu tiba – tiba menghilang dan tidak pernah menghubungiku? Lalu kamu tahu rasanya kalau tahu bahwa ternyata kamu bersama gadis lain?”
Bibir Thomas membeku, enggan bertutur. Cahaya matanya semakin redup. Entah apa  yang sedang bergumul dalam otaknya saat itu.
“Tabitha, aku juga ingin sekalian berpamitan. Besok lusa aku sudah harus pulang ke Makassar. Mungkin aku akan menetap di sana lagi.”
Kontan perasaanku jadi tak karuan. Lantas apa maksudnya dia kembali menemuiku sekarang?
“Kau tak akan pernah menemuiku lagi setelah pertemuan ini Thom?”
“Aku akan selalu menghubungimu rutin seperti sedia kala. Atau mungkin aku akan datang menemuimu dua bulan sekali. Itu pun kalau kamu sudi memulainya lagi.”
“Kau memang laki – laki yang tak tahu malu Thom. Setelah semua yang kau lakukan kepadaku.”
“Tabitha, aku memohon maaf untuk semua itu,” Thomas meraih tanganku yang berpangku diatas pahaku. “Tolong beri aku kesempatan satu kali lagi untuk memulainya.”
Mataku nanar melihat mimik wajah Thomas yang mengemis dan begitu memelas meminta cintanya kembali. Dan aku tak mengira akan menjadi sedramatik ini.
***
Hubungan kami kembali seperti semula. Hubungan yang terjalin dengan perbedaan ruang dan waktu. Hubungan jarak jauh. Dengan tanpa sepengetahuanku Thomas masih sering berhubungan dengan gadis itu. Entah bagaimana dia menutupi semuanya itu. Aku tak pernah menduga dia ingkari dan dustai janji yang dia ucap sendiri.
Ombak, sampan, pasir, senja, jingga, nila, karang. Semua menjadi saksi yang tak berucap. Hingga aku pun akhirnya tahu tentang Thomas dan Mariam, yang baru – baru aku ketahui namanya dari kolom berita di koran. Mereka menghempaskan diri di antara ombak yang bergulung hingga menelan mereka. Aku tak akan melarang jikalau Thomas memang terlalu cinta dengan Mariam. Tapi mengapa harus dia selalu berhianat kepadaku.
Sekarang semua orang marah padanya. Mungkin Tuhan yang lebih marah. Semua berita yang simpang siur menjadikan pikirku semakin gamang. Bimbang. Aku ingat, malam itu aku menangis tak berguna. Entah menangisi apa aku pun tak mengerti. Kemudian lamat – lamat aku mendengar suara dari balik jendela yang bertirai rapuh. “Tabitha, jangan menangis.”
Dialah suara dari buah kekecewaan. Tangis yang menggerus di malam yang bergulita di atas ombak – ombak yang menari di pelataran rembulan. Dialah suara yang hingga kini mengguntur di saat hujan menghujam. Tangis yang merepih di sela mega hitam yang menggantung di hempasan cakrawala. Dialah burung gereja yang selalu bertengger di kubah masjid.

Semarang, 05 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar