Senja
hari ini berwarna merah keemasan. Wajah Nurmala menengadah ke atas, memandang
bentangan cakrawala yang mulai mengeras warna langitnya. Tiba – tiba dia ingat
kepada Yuli, teman semasa dia masih kecil. Tujuh belas tahun silam. Kemudian
tentang ilalang panjang dan pohon jamblang yang terdapat di bukit belakang
rumahnya.
Senja
kesekian kalinya di usia dua puluh enam tahun. Dimana semuanya sudah banyak berubah.
Di bawah kolong langit ini Nurmala hidup sendirian, tidak dengan orang tua,
kakak, adik, atau pun teman masa kecilnya. Semuanya pergi meninggalkannya satu
per satu. Kampung ini telah dihuni dengan manusia – manusia baru.
Ingatan
Nurmala kembali merujuk kepada bukit belakang rumahnya. Dia berjalan menyusuri
jalan setapak yang sedikit becek karena hujan semalaman. Sepanjang jalan
Nurmala menyusuri gang – gang kecil, jalan setapak yang licin, terkadang jalan
dengan material padas. “Sudah banyak berubah,” gumamnya. Sekarang sudah ramai
dipenuhi rumah yang berjajar seadanya. Rumah – rumah mungil yang tidak
memerlukan arsitektur yang rumit, sekiranya hanya dengan dua kamar, ruang tamu,
kamar mandi, dapur yang semuanya serba seadanya. Jarak bukit belakang rumah
menjadi seolah – olah tidak sejauh dulu, atau mungkin sudah terlampau banyak
bangunan sehingga jaraknya terasa dekat. Tapi memang itu yang terasa.
Nurmala
ingat benar, dia dan Yuli harus menyeberang kali kecil yang jernih dahulu untuk
menuju bukit tersebut. Namun sekarang kali tersebut sudah berubah menjadi kali
yang menjijikkan, hanya ada sampah – sampah yang menggunung. Tak habis pikir,
sampah – sampah itulah yang menyebabkan meluapnya aliran kali. Airnya pun sudah
tak layak untuk menjadi konsumsi masyarakat sekitarnya. Nurmala hanya bisa
menghela nafas melihat kondisi kali itu.
Setelah
menyeberang kali yang tertutup sampah, Nurmala sampai di bukit yang dia tuju.
Pohon jamblang yang tua renta itu masih berdiri kokoh, hanya saja daun –
daunnya sudah jarang. Kemudian Nurmala terduduk di bawah pohon tersebut,
menikmati senja yang semakin pekat. Lidahnya tercekat, seakan ada sesuatu yang
menyumbat tenggorokannya untuk sekedar berkata. Matanya nanar melihat deretan
beton – beton yang bercerobong, mengeluarkan asap yang hitam. Mengotori langit
senjanya. Kepulan hitam tersebut membuat langit penuh dengan jelaga, hingga
burung – burung pun enggan menari lagi di angkasa. Tidak ada ilalang panjang
atau bunga – bunga rumput lagi. Tidak ada sapi – sapi yang gemuk yang sedang
memakan rumput yang terhampar luas di bukit tersebut. Semua telah menjadi
cerita. Sekarang hanya ada beton – beton bercerobong dan sapi – sapi kurus yang
mengais - ngais makanan di pembuangan sampah.
Hati
Nurmala pedih, seperti disayat belati. Kenangan semasa kanak –kanaknya telah
musnah tergerus jaman yang semakin menggila. Sejenak pikirnya menerawang jauh
kembali ke masa tujuh belas tahun yang lalu. Tak hayalnya seorang petualang,
Nurmala dan Yuli berjalan menyusuri jalan setapak, memanjat jalan berpadas,
menyeberang kali berair jernih. Dimana pada saat itu pohon jamblang tersebut masih
berdaun lebat dengan batang yang tidak terlalu besar, buah – buahnya pun
bergerombol di tangkai – tangkai pohon yang kokoh. Nurmala duduk bersandingan
dengan Yuli. Masing – masing mereka membawa tas dengan barang bawaannya masing
- masing. Di dalam tas Yuli ada sekerat roti, ubi rebus dan kacang tanah rebus
yang dibungkus dengan plastik bening, tidak lupa juga sebotol air putih. Sedangkan
tas Nurmala hanya ada sebotol air putih, buku gambar, beberapa pensil, dan juga
permen. Ya, memang hanya itu, karena untuk keluar rumah pun dia harus pergi
diam – diam dari orang tuanya. Merunduk serendah – rendahnya saat melewati
kamar ibunya. Berbeda dengan Yuli yang begitu
mudahnya mendapat ijin dari orang tuanya untuk pergi bermain. Terkadang
Nurmala iri dengan Yuli, kedua orang tuanya begitu dekat sekali dengannya.
Berbeda dengan Nurmala, ayahnya sebagai pengusaha yang selalu sibuk setiap
harinya dan hampir tak pernah punya waktu untuknya. Ibunya selalu bersikap keras
kepadanya, lebih mirip seorang ibu tiri yang ada di cerita dongeng - dongeng.
Di
bawah pohon jamblang yang teduh, menghirup udara yang masih benar – benar asri,
duduk beralaskan karung goni. Yuli sedang merangkai bunga – bunga rumput yang
dibuatnya mirip seperti mahkota. Sedangkan Nurmala sibuk dengan buku gambarnya,
melukis jingga yang berarak menuju senja.
“Yul,
kamu suka senja?” tanya Nurmala sembari menggoreskan pensil ke sana sini di
atas buku gambarnya.
“Suka,
kenapa Nur?” Yuli kembali bertanya kepada Nurmala yang masih tetap tekun
menggoreskan pensilnya.
“Aku
juga suka sekali,” Nurmala tiba – tiba menghentikan goresannya. “Yul, aku ingin
selalu bisa melihat senja seperti ini bersama kamu.”
Mata
Nurmala memandang nanar deretan burung – burung belibis yang terbang melewati
gradasi warna yang sedang menari – nari di cakrawala. Yuli menyunggingkan
senyuman, lalu memakaikan mahkota bunga rumputnya kepada Nurmala. Nurmala
mengacungkan kelingkingnya kepada Yuli, tanda persahabatan mereka bersama
senja. Kemudian Yuli pun menyambutnya dengan jari kelingkingnya.
Kemudian
Yuli bangkit dari tempat dia duduk, meraih tangan Nurmala dan mengajaknya ke
tempat gerombolan sapi – sapi dan kambing yang sedang asyik mengunyah rumput.
Ada empat ekor sapi, sepuluh ekor kambing, dan satu ekor kambing masih anakan.
Mereka dibiarkan bebas mencari makan, sedang penggembalanya duduk di bawah
pohon mahoni dan terlihat sedang menyeruput kopi tubruknya.
“Pak..
Pak, itu kambing dan sapi bapak ya?” tanya Yuli dengan tingkah polah kanak –
kanaknya.
“Iya,
itu punya bapak semua,” penggembala tersebut menjawab dengan ramah.
“Kok
dilepas gitu aja sih pak, nggak takut hilang?” tanya Nurmala sambil mengelus –
elus sapi yang sedang asyik makan
“Sapi
dan kambing itu semuanya memang sengaja saya bebaskan, biar mereka tidak stress
berada di kandang terus. Mereka kan juga butuh jalan – jalan seperti kalian,”
Bapak penggembala tersebut tertawa dengan beberapa gigi serinya yang sudah
tanggal. Kontan Nurmala dan Yuli ikut tertawa cekikikan, ditambah lagi melihat
mimik wajah bapak penggembala yang terkekeh dengan gigi ompongnya.
Nurmala
dan Yuli asyik bermain – main dengan kambing milik Bapak penggembala itu. Di
bawah senja yang merona mereka berlari – larian. Hingga mereka merasa lelah
lalu merebahkan diri di atas rerumputan dekat pohon jamblang. “Nur, kamu
percaya reinkarnasi nggak?” tanya Yuli dengan pengetahuan yang masih seadanya.
“emmmm,
mungkin percaya. Kenapa Yul kamu tiba – tiba tanya seperti itu?” seloroh
nurmala sambil memandang bentangan langit yang menjelma menjadi nila, dan
sebentar lagi akan menjadi hitam pekat.
“Kalau
semisal suatu saat Tuhan mengambil nyawamu, kamu ingin menjadi apa di kehidupan
berikutnya?”
“Aku
ingin hidup sebagai burung parkit!” serontak Nurmala menjawab dengan semangat.
“Kenapa
kamu ingin menjadi burung parkit?” Yuli menatap Nurmala sambil mengernyitkan
dahinya.
“Karena
burung parkit itu cantik, memiliki bulu yang beraneka ragam warnanya. Dia bisa
terbang bebas tanpa takut dengan ancaman bahaya. Tuhan menyediakan rumah –
rumahnya di setiap pohon, dan memberikannya makan setiap saat dia butuh. Dan
yang terpenting, aku bisa mengunjungimu setiap saat. Kau bisa temukan aku
bertengger di bingkai jendela kamarmu saat aku menjadi burung parkit itu,” Nurmala menggores
senyuman di atas bibir mungilnya. “Kalau kamu Yul?”
“Kalau
aku dilahirkan kembali, aku ingin menjadi diriku sendiri Nur,” Yuli bangkit
dari tempatnya rebah, kemudian duduk memandang langit yang semakin nila.
“Kamu
curang, kenapa ingin menjadi dirimu lagi?” tanya Nurmala kesal sambil bangkit
dan terduduk kemudian bergeming.
“Kan
biar aku bisa merawat kamu ‘burung parkit’,” Yuli terbahak ketika melihat wajah
Nurmala semakin kesal.
“Kamu
ini malah bercanda Yul,” Nurmala masih saja melengos.
“Ah
kamu gitu aja juga marah, Nur. Ayo kita pulang saja, nanti ibumu marah – marah
lagi. “
Mereka
berlalu meninggalkan pohon jamblang, senja, bunga rumput, dan ilalang panjang.
Kunjungan mereka saat itu adalah untuk terakhir kalinya. Kenangan – kenangan itu
lamat – lamat larut dengan perkembangan jaman yang semakin tak bisa diterka.
Diam
tak bergeming seakan mesin waktu kembali menyeret Nurmala ke masa sekarang.
Mata Nurmala memejam, mendengarkan seloroh angin yang berhembus berbisik di
telinga. Sesaat kelopak kedua matanya terbuka, Yuli sudah ada di sebelahnya.
Serontak Nurmala kaget setengah mati. “Yul, kau kemana saja?!” sambil
melemparnya dengan biji buah jamblang yang telah mengering.
“Saat
itu aku pergi sebentar Nur, maaf aku tidak pamit. Aku sudah berusaha
melambaikan tangan ke arahmu, namun kamu terlihat acuh seakan tak melihatku.
Aku terus terseret oleh air Nur”
“Aku
marah padamu Yul, aku sedih. Kamu sudah janji untuk selalu menemaniku melihat
senja di bawah pohon jamblang ini. Tapi kamu pergi meninggalkanku tanpa pamit.
Kamu tidak tahu kan kalau aku kesepian. Sehari setelah kamu pergi aku mencarimu
di bukit berpadas jalan yang kita lewati
sebelum menyeberang kali, aku terjatuh juga tak ada orang pun yang tahu.”
Nurmala merajuk persis seperti saat dia masih kecil dan sambil menunjukkan
bekas luka di kepalanya.
“Maaf Nur, sekarang aku sudah berada di sini
bersamamu. Tepat di senja jingga di bawah pohon jamblang ini. Lihat Nur, begitu
marahnya ketika aku melihat cerobong – cerobong baja yang mengepulkan asap
berjelaga di langit senja kita. Aku ingin melemparinya dengan segala benda
hingga cerobong asap itu tertutup, hingga asap – asap itu tidak keluar lagi
dari mulut monster – monster itu.”
Nurmala
duduk meringkuk, menangkupkan kedua tangannya ke wajahnya. Dia menangis sendu
hingga air matanya menghujan deras sampai ke tanah. Air itu terus mengalir
meresap ke dalam tanah, jauh… jauh … jauh ke dalam tanah. Air mata Nurmala
mengalir hingga di sekitar tempat Yuli duduk. Meresap hingga ke dalam tanah,
jauh… jauh… jauh ke dalam tanah. Yuli terbelalak, disekitar tempat mereka duduk
tumbuhlah tunas – tunas ilalang panjang dan juga rerumputan. Mereka tumbuh
semakin cepat, seiring aliran air mata Nurmala yang semakin deras. Ilalang
panjang itu mulai tinggi dan rumput – rumput itu mulai berbunga. Kemudian
hinggaplah seekor burung parkit yang mungil di atas pucuk ilalang panjang.
Burung parkit yang sedang memandang bunga rumput yang bergoyang – goyang
terhembus angin. Seakan mereka sedang mengisyaratkan persahabatan yang riang
dan ceria di bawah langit yang merah keemasan.
Bapak
penggembala sapi dan kambing yang sudah sangat tua dan renta, bahkan giginya pun sudah tanggal semua, mengamati liukan bunga
rumput dan burung parkit tersebut. Dalam gumamnya dia berkata lirih, “Burung
parkit cantik dan bunga rumput itu seperti dua anak kecil yang dulu pernah
bermain – main bersama sapi – sapiku dan kambing – kambingku. Mereka terlihat
cantik dan serasi.”
Semarang, 21 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar