Selasa, 12 Maret 2013

BUKIT BELAKANG RUMAH



Senja hari ini berwarna merah keemasan. Wajah Nurmala menengadah ke atas, memandang bentangan cakrawala yang mulai mengeras warna langitnya. Tiba – tiba dia ingat kepada Yuli, teman semasa dia masih kecil. Tujuh belas tahun silam. Kemudian tentang ilalang panjang dan pohon jamblang yang terdapat di bukit belakang rumahnya.
Senja kesekian kalinya di usia dua puluh enam tahun. Dimana semuanya sudah banyak berubah. Di bawah kolong langit ini Nurmala hidup sendirian, tidak dengan orang tua, kakak, adik, atau pun teman masa kecilnya. Semuanya pergi meninggalkannya satu per satu. Kampung ini telah dihuni dengan manusia – manusia baru.
Ingatan Nurmala kembali merujuk kepada bukit belakang rumahnya. Dia berjalan menyusuri jalan setapak yang sedikit becek karena hujan semalaman. Sepanjang jalan Nurmala menyusuri gang – gang kecil, jalan setapak yang licin, terkadang jalan dengan material padas. “Sudah banyak berubah,” gumamnya. Sekarang sudah ramai dipenuhi rumah yang berjajar seadanya. Rumah – rumah mungil yang tidak memerlukan arsitektur yang rumit, sekiranya hanya dengan dua kamar, ruang tamu, kamar mandi, dapur yang semuanya serba seadanya. Jarak bukit belakang rumah menjadi seolah – olah tidak sejauh dulu, atau mungkin sudah terlampau banyak bangunan sehingga jaraknya terasa dekat. Tapi memang itu yang terasa.
Nurmala ingat benar, dia dan Yuli harus menyeberang kali kecil yang jernih dahulu untuk menuju bukit tersebut. Namun sekarang kali tersebut sudah berubah menjadi kali yang menjijikkan, hanya ada sampah – sampah yang menggunung. Tak habis pikir, sampah – sampah itulah yang menyebabkan meluapnya aliran kali. Airnya pun sudah tak layak untuk menjadi konsumsi masyarakat sekitarnya. Nurmala hanya bisa menghela nafas melihat kondisi kali itu.
Setelah menyeberang kali yang tertutup sampah, Nurmala sampai di bukit yang dia tuju. Pohon jamblang yang tua renta itu masih berdiri kokoh, hanya saja daun – daunnya sudah jarang. Kemudian Nurmala terduduk di bawah pohon tersebut, menikmati senja yang semakin pekat. Lidahnya tercekat, seakan ada sesuatu yang menyumbat tenggorokannya untuk sekedar berkata. Matanya nanar melihat deretan beton – beton yang bercerobong, mengeluarkan asap yang hitam. Mengotori langit senjanya. Kepulan hitam tersebut membuat langit penuh dengan jelaga, hingga burung – burung pun enggan menari lagi di angkasa. Tidak ada ilalang panjang atau bunga – bunga rumput lagi. Tidak ada sapi – sapi yang gemuk yang sedang memakan rumput yang terhampar luas di bukit tersebut. Semua telah menjadi cerita. Sekarang hanya ada beton – beton bercerobong dan sapi – sapi kurus yang mengais - ngais makanan di pembuangan sampah.
Hati Nurmala pedih, seperti disayat belati. Kenangan semasa kanak –kanaknya telah musnah tergerus jaman yang semakin menggila. Sejenak pikirnya menerawang jauh kembali ke masa tujuh belas tahun yang lalu. Tak hayalnya seorang petualang, Nurmala dan Yuli berjalan menyusuri jalan setapak, memanjat jalan berpadas, menyeberang kali berair jernih. Dimana pada saat itu pohon jamblang tersebut masih berdaun lebat dengan batang yang tidak terlalu besar, buah – buahnya pun bergerombol di tangkai – tangkai pohon yang kokoh. Nurmala duduk bersandingan dengan Yuli. Masing – masing mereka membawa tas dengan barang bawaannya masing - masing. Di dalam tas Yuli ada sekerat roti, ubi rebus dan kacang tanah rebus yang dibungkus dengan plastik bening, tidak lupa juga sebotol air putih. Sedangkan tas Nurmala hanya ada sebotol air putih, buku gambar, beberapa pensil, dan juga permen. Ya, memang hanya itu, karena untuk keluar rumah pun dia harus pergi diam – diam dari orang tuanya. Merunduk serendah – rendahnya saat melewati kamar ibunya. Berbeda dengan Yuli yang begitu  mudahnya mendapat ijin dari orang tuanya untuk pergi bermain. Terkadang Nurmala iri dengan Yuli, kedua orang tuanya begitu dekat sekali dengannya. Berbeda dengan Nurmala, ayahnya sebagai pengusaha yang selalu sibuk setiap harinya dan hampir tak pernah punya waktu untuknya. Ibunya selalu bersikap keras kepadanya, lebih mirip seorang ibu tiri yang ada di cerita dongeng - dongeng.
Di bawah pohon jamblang yang teduh, menghirup udara yang masih benar – benar asri, duduk beralaskan karung goni. Yuli sedang merangkai bunga – bunga rumput yang dibuatnya mirip seperti mahkota. Sedangkan Nurmala sibuk dengan buku gambarnya, melukis jingga yang berarak menuju senja.
“Yul, kamu suka senja?” tanya Nurmala sembari menggoreskan pensil ke sana sini di atas buku gambarnya.
“Suka, kenapa Nur?” Yuli kembali bertanya kepada Nurmala yang masih tetap tekun menggoreskan pensilnya.
“Aku juga suka sekali,” Nurmala tiba – tiba menghentikan goresannya. “Yul, aku ingin selalu bisa melihat senja seperti ini bersama kamu.”
Mata Nurmala memandang nanar deretan burung – burung belibis yang terbang melewati gradasi warna yang sedang menari – nari di cakrawala. Yuli menyunggingkan senyuman, lalu memakaikan mahkota bunga rumputnya kepada Nurmala. Nurmala mengacungkan kelingkingnya kepada Yuli, tanda persahabatan mereka bersama senja. Kemudian Yuli pun menyambutnya dengan jari kelingkingnya.
Kemudian Yuli bangkit dari tempat dia duduk, meraih tangan Nurmala dan mengajaknya ke tempat gerombolan sapi – sapi dan kambing yang sedang asyik mengunyah rumput. Ada empat ekor sapi, sepuluh ekor kambing, dan satu ekor kambing masih anakan. Mereka dibiarkan bebas mencari makan, sedang penggembalanya duduk di bawah pohon mahoni dan terlihat sedang menyeruput kopi tubruknya.
“Pak.. Pak, itu kambing dan sapi bapak ya?” tanya Yuli dengan tingkah polah kanak – kanaknya.
“Iya, itu punya bapak semua,” penggembala tersebut menjawab dengan ramah.
“Kok dilepas gitu aja sih pak, nggak takut hilang?” tanya Nurmala sambil mengelus – elus sapi yang sedang asyik makan
“Sapi dan kambing itu semuanya memang sengaja saya bebaskan, biar mereka tidak stress berada di kandang terus. Mereka kan juga butuh jalan – jalan seperti kalian,” Bapak penggembala tersebut tertawa dengan beberapa gigi serinya yang sudah tanggal. Kontan Nurmala dan Yuli ikut tertawa cekikikan, ditambah lagi melihat mimik wajah bapak penggembala yang terkekeh dengan gigi ompongnya.
Nurmala dan Yuli asyik bermain – main dengan kambing milik Bapak penggembala itu. Di bawah senja yang merona mereka berlari – larian. Hingga mereka merasa lelah lalu merebahkan diri di atas rerumputan dekat pohon jamblang. “Nur, kamu percaya reinkarnasi nggak?” tanya Yuli dengan pengetahuan yang masih seadanya.
“emmmm, mungkin percaya. Kenapa Yul kamu tiba – tiba tanya seperti itu?” seloroh nurmala sambil memandang bentangan langit yang menjelma menjadi nila, dan sebentar lagi akan menjadi hitam pekat.
“Kalau semisal suatu saat Tuhan mengambil nyawamu, kamu ingin menjadi apa di kehidupan berikutnya?”
“Aku ingin hidup sebagai burung parkit!” serontak Nurmala menjawab dengan semangat.
“Kenapa kamu ingin menjadi burung parkit?” Yuli menatap Nurmala sambil mengernyitkan dahinya.
“Karena burung parkit itu cantik, memiliki bulu yang beraneka ragam warnanya. Dia bisa terbang bebas tanpa takut dengan ancaman bahaya. Tuhan menyediakan rumah – rumahnya di setiap pohon, dan memberikannya makan setiap saat dia butuh. Dan yang terpenting, aku bisa mengunjungimu setiap saat. Kau bisa temukan aku bertengger di bingkai jendela kamarmu saat aku menjadi  burung parkit itu,” Nurmala menggores senyuman di atas bibir mungilnya. “Kalau kamu Yul?”
“Kalau aku dilahirkan kembali, aku ingin menjadi diriku sendiri Nur,” Yuli bangkit dari tempatnya rebah, kemudian duduk memandang langit yang semakin nila.
“Kamu curang, kenapa ingin menjadi dirimu lagi?” tanya Nurmala kesal sambil bangkit dan terduduk kemudian bergeming.
“Kan biar aku bisa merawat kamu ‘burung parkit’,” Yuli terbahak ketika melihat wajah Nurmala semakin kesal.
“Kamu ini malah bercanda Yul,” Nurmala masih saja melengos.
“Ah kamu gitu aja juga marah, Nur. Ayo kita pulang saja, nanti ibumu marah – marah lagi. “
Mereka berlalu meninggalkan pohon jamblang, senja, bunga rumput, dan ilalang panjang. Kunjungan mereka saat itu adalah untuk terakhir kalinya. Kenangan – kenangan itu lamat – lamat larut dengan perkembangan jaman yang semakin tak bisa diterka.
Diam tak bergeming seakan mesin waktu kembali menyeret Nurmala ke masa sekarang. Mata Nurmala memejam, mendengarkan seloroh angin yang berhembus berbisik di telinga. Sesaat kelopak kedua matanya terbuka, Yuli sudah ada di sebelahnya. Serontak Nurmala kaget setengah mati. “Yul, kau kemana saja?!” sambil melemparnya dengan biji buah jamblang yang telah mengering.
“Saat itu aku pergi sebentar Nur, maaf aku tidak pamit. Aku sudah berusaha melambaikan tangan ke arahmu, namun kamu terlihat acuh seakan tak melihatku. Aku terus terseret oleh air Nur”
“Aku marah padamu Yul, aku sedih. Kamu sudah janji untuk selalu menemaniku melihat senja di bawah pohon jamblang ini. Tapi kamu pergi meninggalkanku tanpa pamit. Kamu tidak tahu kan kalau aku kesepian. Sehari setelah kamu pergi aku mencarimu di bukit berpadas jalan yang  kita lewati sebelum menyeberang kali, aku terjatuh juga tak ada orang pun yang tahu.” Nurmala merajuk persis seperti saat dia masih kecil dan sambil menunjukkan bekas luka di kepalanya.
“Maaf  Nur, sekarang aku sudah berada di sini bersamamu. Tepat di senja jingga di bawah pohon jamblang ini. Lihat Nur, begitu marahnya ketika aku melihat cerobong – cerobong baja yang mengepulkan asap berjelaga di langit senja kita. Aku ingin melemparinya dengan segala benda hingga cerobong asap itu tertutup, hingga asap – asap itu tidak keluar lagi dari mulut monster – monster itu.”
Nurmala duduk meringkuk, menangkupkan kedua tangannya ke wajahnya. Dia menangis sendu hingga air matanya menghujan deras sampai ke tanah. Air itu terus mengalir meresap ke dalam tanah, jauh… jauh … jauh ke dalam tanah. Air mata Nurmala mengalir hingga di sekitar tempat Yuli duduk. Meresap hingga ke dalam tanah, jauh… jauh… jauh ke dalam tanah. Yuli terbelalak, disekitar tempat mereka duduk tumbuhlah tunas – tunas ilalang panjang dan juga rerumputan. Mereka tumbuh semakin cepat, seiring aliran air mata Nurmala yang semakin deras. Ilalang panjang itu mulai tinggi dan rumput – rumput itu mulai berbunga. Kemudian hinggaplah seekor burung parkit yang mungil di atas pucuk ilalang panjang. Burung parkit yang sedang memandang bunga rumput yang bergoyang – goyang terhembus angin. Seakan mereka sedang mengisyaratkan persahabatan yang riang dan ceria di bawah langit yang merah keemasan.
Bapak penggembala sapi dan kambing yang sudah sangat tua dan renta, bahkan giginya pun  sudah tanggal semua, mengamati liukan bunga rumput dan burung parkit tersebut. Dalam gumamnya dia berkata lirih, “Burung parkit cantik dan bunga rumput itu seperti dua anak kecil yang dulu pernah bermain – main bersama sapi – sapiku dan kambing – kambingku. Mereka terlihat cantik dan serasi.”

Semarang, 21 Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar