Jumat, 14 Juni 2013

This is how I feel, emptiness



BLUE : feels so extremely sad,
the tears rolling down to my chicks, i don't know why.
They runs trough, until i can't feel anything.


Minggu, 17 Maret 2013

KISAH BURUNG GEREJA DI KUBAH MASJID



Pagi seharusnya meronce butiran embun dari celah dedaunan, namun tidak untuk kali ini. Ia memilih merapatkan kelambunya yang hitam kelam di telapak cakrawala. Kemudian perlahan mengarsir rerintik gerimis  yang menjadi penutup akhir musim kemarau. Ada beberapa burung gereja bertengger di bingkai jendela kamarku. Bingkai kayu usang dan lapuk dengan kaca yang tidak lagi jernih. Salah satu dari mereka mencucuk – cucukkan paruhnya yang mungil pada kaca jendela yang mulai renta. Aku meletakkan untaian Rosario di atas kitab yang bertuliskan ayat – ayat. Sedikit kubuka jendela kamarku, memberikan celah untuk mereka masuk. Namun mereka malah  terbang berhamburan menuju tempat teduh lainnya. Ada satu di antara mereka yang masih tetap tinggal. Kakinya yang mungil meloncat – loncat ke sana kemari. Hingga akhirnya ia pun masuk ke dalam kamarku.
Dengan derap yang perlahan aku melangkah mendekatinya. Ia malah semakin mendekat, hingga kemudian terbang mendarat di pundakku. Aku jadi teringat Thomas. Pria yang masih mempunyai darah keturunan raja tanah Toraja. Badannya yang tinggi dan kekar ditambah parasnya lebih dari tampan. Ia sering kali menjuluki dirinya sendiri sebagai burung gereja yang bebas hinggap kemana saja. Entah apa maksudnya. Tidak dipungkiri dengan profesinya sebagai arsitek ia pun banyak menerima tawaran proyek di berbagai daerah, bahkan sampai ke luar negeri. Pada saat yang tak diduga Thomas mendapat kesempatan untuk mendesign sebuah bangunan masjid di ibu kota. Masjid yang dibangun dengan megah sekali. Lantainya terbuat dari marmer pilihan, tiang – tiangnya menyangga dengan kokoh kubah yang berlapiskan emas.
Aku begitu banyak memantau keberadaan Thomas. Hingga kemudian aku mengetahui pertemuannya dengan gadis yang baru – baru ini aku ketahui adalah anak dari tokoh pemuka agama yang tinggal di tempat Thomas mengurus proyeknya. Gadis yang santun dan taat beribadah. Aku tahu dia menaruh hati kepada gadis itu. Hingga suatu kesempatan mereka benar – benar menjadi dekat. Entah apa saja yang mereka lakukan pada pertemuan – pertemuan itu, aku pun tak ambil pusing. Gadis itu selalu terlihat tersipu ketika sedang bersama Thomas. Seperti ada pancaran cinta yang begitu malu – malu saat mereka sedang berdua. Ah cinta? Omong kosong.
Thomas yang biasanya menghubungiku rutin setiap hari, tiba – tiba menjadi seperti enggan memperhatikanku lagi. Tak ada SMS kalau aku tak mendahului menanyakan kabar. Telepon darinya pun menjadi kadang – kadang, dan akhirnya menjadi tidak pernah. Aku mengerti sebab yang membuatnya seperti itu. Namun aku hanya diam dalam dekap resah yang basah karena air di pelupuk mata berjatuhan hingga pipi, mengalir ke dagu dan berakhir di dada. Kemudian meresap pada celah – celah kalbu yang terperosok dalam dungu.
Semakin hari semakin tak ada kabar. Thomas pasti sedang berkonsentrasi penuh dengan proyeknya atau mungkin malah berkonsentrasi penuh dengan gadis itu. Aku bisa melihat aktivitasnya dengan dia selalu update di jejaring sosial, bahkan aku pun bisa melacak keberadaannya. Atau mungkin mencari tahu dari rekan –rekan kerjanya yang aku kenal. Hingga pada suatu saat aku menemukan titik kejenuhan untuk melakukan semua hal itu. Aku mulai diam, tanpa pengharapan dan menghilang begitu saja dalam gorong – gorong yang disebut keputusasaan.
Hingga dua tahun aku sudah tidak pernah berhubungan dengan Thomas, sekedar berkabar saja tidak. Musim berganti musim, waktu bergulir bagai air yang menetes dari reruncing ujung stalagtit.
Kemudian tiba – tiba aku merasakan desau angin membawa kabar tentang luka dan pilu. Thomas yang telah menjalin hubungan dengan gadis santun dan berbudi baik itu, mendapat banyak pertentangan dari berbagai pihak. Kedua belah pihak keluarga mereka tidak merestui hubungan lintas agama tersebut. Bagaimana mungkin bisa satu bahtera mempunyai dua orang nahkoda. Begitulah ceracau yang mengacau saat terjadi perdebatan dengan keluarga pihak Thomas. Begitu pula dengan keluarga gadis itu.
Pada suatu waktu Thomas kembali ke kota ini. Sesekali dia menghubungiku untuk bertemu. Aku mengiyakan permintaannya. Pertemuan yang tidak lama, dan juga tidak sebentar. Di bawah naungan atap cakrawala yang gulita, berhiaskan reronce gemintang yang begitu gemerlap. Aku sesekali mencuri pandang untuk sekedar melihat wajah Thomas yang telah banyak berubah. Rambutnya yang sudah terlalu panjang karena tidak segera dipotong. Raut mukanya seperti lelah. Aku terus saja diam tak bergeming, entah apa yang harus kumulai dengan pertemuan ini.
“Tabitha, sebenarnya aku ingin minta maaf kepadamu. Aku telah banyak mengecewakanmu.”
Otakku tiba – tiba mampat, tak tahu harus menangis atau mengumpat. Dia datang seperti makhluk yang tidak mempunyai dosa apa – apa. Semua perasaan yang gamang itu kusisipkan jauh di dalam sana, lalu kemudian membungkusnya dengan senyum yang merekah.
“Aku lelah menyimpan hubungan ini darimu, dan aku yakin kamu pasti sudah tahu semuanya.”
Lidahku semakin tercekat, tenggorokanku bergetar namun seperti ada yang menyumbat. Thomas bercerita semakin dalam, tentang pertemuannya, tentang semua rasa yang dia miliki untuk gadis itu. Aku tak habis pikir pria macam apa dia yang tega membiarkan perih menghujam hati ini.
“Aku begitu mencintainya. Namun begitu berat cobaan kami untuk bersatu. Apakah burung gereja tidak boleh bertengger di atas kubah masjid?”
“Kau masih berhubungan dengan gadis itu Thom?”
“Sudah lama tidak, setelah aku sempat pulang ke Makassar sekitar lima bulan yang lalu. Tapi Bitha, rasa ini masih membekas.”
“Thom, kau pikir bagaimana perasaanku saat kamu tiba – tiba menghilang dan tidak pernah menghubungiku? Lalu kamu tahu rasanya kalau tahu bahwa ternyata kamu bersama gadis lain?”
Bibir Thomas membeku, enggan bertutur. Cahaya matanya semakin redup. Entah apa  yang sedang bergumul dalam otaknya saat itu.
“Tabitha, aku juga ingin sekalian berpamitan. Besok lusa aku sudah harus pulang ke Makassar. Mungkin aku akan menetap di sana lagi.”
Kontan perasaanku jadi tak karuan. Lantas apa maksudnya dia kembali menemuiku sekarang?
“Kau tak akan pernah menemuiku lagi setelah pertemuan ini Thom?”
“Aku akan selalu menghubungimu rutin seperti sedia kala. Atau mungkin aku akan datang menemuimu dua bulan sekali. Itu pun kalau kamu sudi memulainya lagi.”
“Kau memang laki – laki yang tak tahu malu Thom. Setelah semua yang kau lakukan kepadaku.”
“Tabitha, aku memohon maaf untuk semua itu,” Thomas meraih tanganku yang berpangku diatas pahaku. “Tolong beri aku kesempatan satu kali lagi untuk memulainya.”
Mataku nanar melihat mimik wajah Thomas yang mengemis dan begitu memelas meminta cintanya kembali. Dan aku tak mengira akan menjadi sedramatik ini.
***
Hubungan kami kembali seperti semula. Hubungan yang terjalin dengan perbedaan ruang dan waktu. Hubungan jarak jauh. Dengan tanpa sepengetahuanku Thomas masih sering berhubungan dengan gadis itu. Entah bagaimana dia menutupi semuanya itu. Aku tak pernah menduga dia ingkari dan dustai janji yang dia ucap sendiri.
Ombak, sampan, pasir, senja, jingga, nila, karang. Semua menjadi saksi yang tak berucap. Hingga aku pun akhirnya tahu tentang Thomas dan Mariam, yang baru – baru aku ketahui namanya dari kolom berita di koran. Mereka menghempaskan diri di antara ombak yang bergulung hingga menelan mereka. Aku tak akan melarang jikalau Thomas memang terlalu cinta dengan Mariam. Tapi mengapa harus dia selalu berhianat kepadaku.
Sekarang semua orang marah padanya. Mungkin Tuhan yang lebih marah. Semua berita yang simpang siur menjadikan pikirku semakin gamang. Bimbang. Aku ingat, malam itu aku menangis tak berguna. Entah menangisi apa aku pun tak mengerti. Kemudian lamat – lamat aku mendengar suara dari balik jendela yang bertirai rapuh. “Tabitha, jangan menangis.”
Dialah suara dari buah kekecewaan. Tangis yang menggerus di malam yang bergulita di atas ombak – ombak yang menari di pelataran rembulan. Dialah suara yang hingga kini mengguntur di saat hujan menghujam. Tangis yang merepih di sela mega hitam yang menggantung di hempasan cakrawala. Dialah burung gereja yang selalu bertengger di kubah masjid.

Semarang, 05 Maret 2013

Selasa, 12 Maret 2013

Gros Bisous :*


GADIS BERGAUN SATIN HITAM



Gadis itu sedang menyisir rambut panjangnya yang tergerai sepinggul, saat aku melihatnya untuk kedua kalinya. Wajahnya yang pucat menyunggingkan sebuah senyuman kepadaku. Aku pun membalasnya ramah. Aku memang sering jogging di senja yang memerah seperti ini di taman yang tidak jauh  dari tempat tinggalku. Namun dua hari ini aku selalu melihat gadis cantik itu. Gadis yang selalu duduk menyendiri di sebuah bangku taman. Sejenak aku terhenti dari lari – lari kecilku. Inginku sekedar duduk berkenalan di samping gadis bergaun satin warna hitam itu. Namun ada sesuatu yang membuatku untuk mengurungkan niat. Sesuatu yang janggal di dalam sana. Seperti sukma yang sedang menarikku kembali dalam langkah majuku.
Saat fajar menyingsing, seperti layaknya penghantar siang yang terasing. Fajar selalu mendingin dengan kilau – kilau embun yang setengah membeku di ujung dedaunan pohon. Sepagi ini aku harus mengantarkan bunga – bunga potong ke sebuah gereja mungil di ujung jalan dekat taman. Langit yang setengah gelap, begitu pula udara yang masih berhembus segar menemaniku dengan celoteh nyanyian burung – burung yang bertengger di tiap – tiap pohon sepanjang jalan. Aku mengayuh keras sepedaku. Dengan keranjang yang penuh dengan bunga krisan, anggrek, dan juga mawar. Sudah menjadi rutinitas yang biasa untuk dikerjakan oleh seorang floris seperti aku. Ada yang sekedar meremehkan, ada yang mengolok, lebih lagi ada yang mencibirku. Aku hanya tergelak saat mendengar lamat – lamat suara yang menghujat tak berarti.
Angin berhembus sedikit kencang. Dahiku mengernyit, terheran karena tak biasanya angin bersiul kepagian seperti ini. Mataku memandang sebuah bangku taman, dan masih dengan gadis aneh itu. Sementara pepohonan di luar taman melambai – lambai tak beraturan, tidak begitu di dalam taman tersebut. Seperti ada sekat yang mengitarinya. Daun – daun pohon penghuni taman diam tak bergeming, seakan membeku dalam fajar yang mengkristal. Bulu kudukku berdiri, membuatku semakin bergidik.
***
Hari kelima, pertemuan dengan gadis bergaun satin hitam kelam di taman. Masih dengan raut yang sama ia menatapku. Tatapan mata yang beku, dingin sedingin bongkahan es dari kutub utara. Kali ini aku sengaja memberanikan diri untuk mendekati gadis tersebut. Aku duduk tepat di sebelahnya, hanya selisih satu jengkal. Dia tak memprotes akan kehadiranku. Mulutnya bungkam, sembari memangku seekor kucing hitam berekor panjang. Jemarinya yang lentik dengan kuku – kuku yang runcing terlihat mengusap – usap bulu kucing yang terlihat begitu mengkilap. “Hai, aku Felix,” aku mencoba membuka pembicaraan dengan memperkenalkan diri, sembari mengulurkan tangan untuk sekedar berjabat tangan. Namun sia – sialah hal tersebut. Gadis itu diam bungkam semakin merapatkan bibirnya yang pucat kebiruan. “Gimana kalau kamu aku panggil Gadis saja?” aku masih tetap berusaha mengakrabkan diri dan berharap dia mau berbicara. Gadis itu menoleh ke arahku, masih dengan tatapan yang dingin dan begitu dalam. Kupikir dia akan menjawab pertanyaanku, atau sekedar berdecak. Aku sudah hilang akal untuk mengajaknya berbicara. Percuma saja, dia tetap diam.
Langit yang semula menggoreskan jingga kemerahan dengan semburat warna keemasan, menggeliat di antara senja yang membubuhkan nila pada lukisan senja itu. Sebagai pertanda semuanya akan tergusur oleh pekat dan semakin gelap. Sudah lebih dari tiga jam aku duduk bersandingan dengan Gadis. Aku hanya bisa memperhatikan geraknya yang lambat dan dingin. “Gadis, kamu suka bunga?” tanyaku kepada Gadis, walaupun aku tahu semuanya akan sia – sia. “Kalau kamu suka, besok akan aku bawakan untukmu.” Kemudian aku melangkah pergi menjauhi Gadis. Pada langkah ketiga yang tak disangka dan tak diduga, suara lirih dari bibir Gadis yang membeku akhirnya terbisikan di telingaku. “Mawar putih,” Dua kata yang terucap. Aku menoleh dan melemparkan senyum kepadanya. Gadis pun mengukir senyumannya di atas bibirnya yang kebiruan.
***
“Lihat mi, si Felix itu bukan sekedar hilang ingatan. Tapi juga sudah gila.”
Lagi – lagi cibiran Mbok Sumirah terlontar saat sedang bercakap – cakap dengan Tarmi pembantu dekat rumahku. Aku tak sengaja mendengar obrolan mereka. Sorot mata mereka memandangku seakan sedang menghakimi.
Pada pertemuan keenam, dengan setangkai bunga mawar putih segar di tanganku. Semuanya terlihat berubah ketika bunga itu sampai pada tangan Gadis yang kurus dan tak berpori. Bunga itu memucat, sepucat wajah Gadis yang membeku. Tangkainya menguning, dan daunnya sedikit mengering.
“Bunga ini mengingatkanku pada bunga pertama yang kau berikan padaku.”
Aku tercengang mendengar apa yang Gadis katakan padaku.
“Mawar itu masih kusimpan hingga mengering kelopaknya, duri – duri yang tak lagi tajam, tangkai yang sedikit rapuh.”
“Tapi Gadis, bunga itu kan baru pertama kali aku berikan kepadamu.”
Parasnya yang pucat sedikit merona samar – samar. Mungkin hanya aku yang bisa menangkap rona merah di pipi Gadis itu. Dengan malu – malu dia menggeleng pelan. Pertanda aku pernah memberinya bunga sebelum pertemuan – pertemuan beberapa hari yang lalu. Aku geram, karena tak mampu mengingat beberapa kejadian – kejadian penting yang sudah lama aku bangun. Hingga kejadian apa yang telah membuatku kehilangan memori pun aku tak ingat. Aku seperti dilahirkan kembali, dan terus mengingat – ingat siapa aku sebenarnya.
“Aku tahu siapa kamu Fel,” Gadis berucap seperti dia mengerti apa yang aku pikirkan.
Aku memandang nanar kedua buah bola mata Gadis yang begitu indah, namun bercahaya redup. Cahaya yang seakan menyimpan beribu kisah yang pilu. Kisah yang penuh kesah berkeluh. Sorot mata yang dalam namun begitu muram. Aku seperti berada dalam dunia peri dengan gelak tawa anak-anak kecil berwajah pucat, berlari ke sana-sini. Tiba-tiba aku merasa cemas, bulu kudukku berdiri tajam. Sepertinya aku sudah merasa tak nyaman untuk berada di taman itu. Aku mulai bangkit dari tempatku duduk. Memandang sejenak wajah Gadis yang sedang menatap kosong pada tangkai bunga mawar yang telah benar-benar mengering. “Kamu bisa datang lagi ke sini kalau kamu mau tahu siapa kamu,” tatapan mata Gadis begitu dalam dan penuh pengharapan agar aku bisa datang besok saat senja. Aku mengangguk dan menyunggingkan senyum kepadanya.
***
Ini adalah pertemuan ketujuh. Pada hari Kamis di kala senja bergerimis. Ataukah akan sedikit ada tangis yang mengemis? Bayang yang suram semuanya tertangkis ketika tangan Gadis yang kurus dan dingin menggandengku dengan genggaman yang erat. Berjalan perlahan menuju sungai kecil yang dalam di belakang gereja mungil dan tua. Derap langkah Gadis yang perlahan dan kadang terseok mengantarku ke tepi sungai itu. Ada ribuan kupu-kupu liar yang meliuk-liuk indah layaknya ballerina dengan kaki-kaki mungilnya meloncat sana-sini. Baru kali ini aku melihat ada kupu-kupu yang berkoloni sebanyak ini di dekat sungai.
“Itu!” Gadis menunjuk ke arah semak belukar yang sedikit berduri.
Aku menghampiri semak itu dengan perlahan, berjaga-jaga kalau saja ada ular atau hewan berbahaya di balik sana. Tanganku yang tak besar cenderung kurus menyibakkan semak-semak yang menjuntai tak beraturan. Pupilku tersentak hingga bulat dan membesar. Kudapati sebuah tumpukan tulang belulang yang kuterka itu adalah tulang-tulang leher hingga panggul yang berserakan tak karuan. Beberapa sedikit berlumut.
“Tulang siapa ini?” tanyaku menjadi ringsut, ketika kulihat mata Gadis yang begitu bulat dan dingin itu berlinang air mata.
“Di semak sebelah batu besar yang berlumut itu juga ada.”
Aku kembali mencari, barangkali ada tulang-tulang tak bernyawa yang singgah di tempat tak bertuan ini.  Kutemukan sebuah tengkorak yang lapuk, rahangnya pun sudah tak menyatu. Seperti sudah bertahun-tahun tergeletak tak ada yang peduli.
“Gadis, sebenarnya apa yang ingin kau tunjukkan kepadaku? Langit sudah gelap, seperti liang yang menganga di cakrawala. Liang itu seakan mau menelan mentah-mentah tubuh kita. Aku harus segera pulang.”
“Jangan. Kau jangan tinggalkan aku sendirian di sini lagi.”
“Apa maksudmu dengan ‘lagi’?”
“Felix, memang benar namaku Gadis. Aku mengira kau sudah mengingatku kembali ketika kau menyebut namaku. Dan aku tersadar kau sudah tak bisa mengingat semuanya lagi.”
Beberapa orang mengakatakan tentang kejadian yang membuatku hilang ingatan. Semuanya simpang siur. Ada yang bilang aku dikeroyok gerombolan perampok yang bertubi-tubi telah mendaratkan benda keras ke kepalaku. Ada yang bilang kepalaku terbentur batu besar ketika jatuh di dekat sungai.
“Felix, kamu lah kisah yang mendesah, segala kunci yang tak bertepi. Namun sayang ingatanmu tak kunjung pulih hingga bertahun-tahun. Aku selalu menunggumu dalam dekap kabut yang membekukan.”
Mataku mulai berkaca-kaca, langit yang gelap bergulita kemudian berpendar cahaya kemuning yang binar. Seperti ribuan bintang, namun semakin mendekat. Ribuan kunang-kunang terbang berderik di sekeliling kami. Aku benar-benar seperti berada dalam dunia peri.
“Felix, aku adalah kekasihmu, yang sudah lama menghilang dari himpit otakmu. Semuanya terjadi begitu tiba-tiba. Segerombolan perampok mengeroyokku ketika aku sedang menunggumu di taman. Aku harapkan kau yang datang dengan membawa bunga mawar putih. Namun hanya ada lelaki-lelaki brangasan dan rakus itu……”
Cerita demi cerita berucap kata, runtun menjadi sebuah film yang berputar di otakku. Kejadian demi kejadian samar-samar mulai terlintas dengan tuntas. Beberapa ingatan mulai pulih. Mulai dari aku terlambat bertemu dengan Gadis, karena ada masalah dengan mesin motorku. Aku harus berlari-lari penuh peluh yang tak berhenti mengeluh. Setiba di taman itu aku mendapati Gadis di antara gerombolan-gerombolan perampok. Gaun Gadis terlihat robek di sana sini. Ada darah yang mengalir di antara sela pahanya. Dasar laki-laki rakus yang tak punya otak. Aku berusaha melawan mereka berlima. Laki-laki yang berbadan besar dan berotot kekar, tak satu pun mereka berbadan ringkih sepertiku. Aku beberapa kali terhantam oleh pukulan tangan-tangan yang bertulang keras dan daging yang liat. Seorang dari mereka menghantam kepalaku berkali-kali dengan batang kayu besar. Hingga akhirnya aku pun tak sadarkan diri. Jangankan mengingat kejadian itu, siapa aku saja aku tidak tahu.
“Mereka menikamku dengan pisau lipat tepat di lambungku. Aku merangkak untuk melarikan diri, namun dua orang dari mereka menyeretku. Mereka membuangku di sungai ini, memotongku menjadi tiga bagian. Jangankan berteriak, untuk sekedar melenguh seperti layaknya sapi yang disembelih pun aku tak bisa.”
Bibirku bergetar, semua sesal tak akan pernah menyembuhkan luka. Seandainya saat itu aku tak terlambat. Seandainya motorku tak sedang mogok. Aku menghujat diri, dengan ceracau yang parau. Kupeluk Gadis yang begitu kasat untuk sekedar disentuh. Lalu kunang-kunang yang berkoloni itu mengajak kami berpijak ke tanah yang tak pernah aku ketahui. Dimana cahaya terang yang begitu menyilaukan memandikan tubuhku. Dan aku semakin masuk ke dalam cahaya itu, dengan berjuta - juta kunang-kunang yang bergemerlap. 

Semarang, 02 Maret 2013

Rose and Butterfly *straight face*


MAWAR DAN KUPU - KUPU DI DADA



Pagi menyambut hari lewat gemulai tari – tarian sinar mentari yang menelanjangi dua pohon bunga mawar di kebun halaman depan. Kemudian datang sepasang kupu – kupu yang sedang bercumbu malu – malu hinggap pada tangkai berduri milik pohon mawar. “Bukannya hinggap di kelopak bunganya, malah datang kepada runcing dan tajamnya duri yang seperti gigi macan,” gumamku. Aku mencium bau lembab embun yang tak sanggup meredam hati yang dirundung sendu. Risau yang sedang menggerus hingga dasar kalbu kuibaratkan seperti lautan yang mengombang – ambingkan diri.
Sewaktu kecil Ibuku pernah bilang, “Jika kamu membutuhkan satu, ya ambillah satu saja. Jangan mengambil dua atau tiga bahkan lebih. Bukan baik yang kamu dapat, tapi akan mencelakakan. Seperti kutukan.” Kata – kata itu benar – benar hidup. Benar – benar nyata sekarang. Awalnya aku tak mengerti apa yang Ibu maksud. Namun ketika darah merambah kupu – kupu yang bertengger di kelopak bunga mawar dan belati di tangan bidadari yang bermandikan darah. 
***
Menjadi suami seorang super model sekaligus bintang film itu memang butuh kesabaran yang berlapis – lapis hingga menyerupai kue lapis. Bidari adalah layaknya  malaikat tanpa sayap yang turun dari surga. Kecantikannya pun mengalahkan seluruh wanita yang ada di jagat raya ini. Hingga aku harus menahan rasa cemburu ketika banyak pria yang setiap harinya mengirimkan rangkaian bunga kepada istriku, karena mengagumi kecantikannya. Hanya sekedar fans atau apapun itu.
Usia pernikahan kami yang sudah menginjak sepuluh tahun, namun aku pun belum bisa menimang seorang anak. Satu pun belum. “Aku belum mau punya anak dulu Mas, mau fokus dengan karirku dulu.” Itulah jawaban yang sering kali terlontar pada bibirnya yang tipis memerah. Kadang aku geram dengannya, namun hanya bisa menahannya di ubun – ubun.  Atau mungkin melampiaskan dengan bergelas – gelas beer dan mencari sedikit kesenangan.
Pada gelas beer yang keberapa entah sudah tak terhitung, aku berkeluh kesah di antaranya. Club  yang riuh dalam hingar yang semakin bingar tak mampu menutupi kesendirianku. Dan sekali lagi entah sudah batang rokok yang keberapa aku nyalakan dengan pematikku yang berwarna emas dan berukirkan seekor naga langit. Mungkin aku sendiri tak bisa membayangkan betapa lusuhnya rautku saat ini. Kemeja yang tak lagi licin, kancing yang terbuka hingga dada, dasi yang melingkar di leherku pun sudah melonggar.
Dalam degub musik yang berdentum, bermandikan kerlap – kerlip lampu warna – warni, aku terbawa lamunan. Wanita dengan paras yang cantik namun hanya sekedar cantik menepuk bahuku dan membuat lamunanku buyar. “Maaf, boleh minta apinya?” Sambil menjulurkan sebatang rokok yang sedang terhimpit bibir merah ranumnya. Aku segera menyalakan pematikku dan membakar ujung rokok wanita cantik itu.
Wanita itu mengulurkan tangannya kepadaku, “makasih. Panggil saya Sekar.”
“Robert,” aku pun menyambut tangannya yang halus.
“Malam minggu kok sendirian sih Mas?”
“Jangan panggil Mas, panggil Robert saja. Iya setiap malam juga nggak ada yang nemenin.”
Okay Robert. Lho? Istri kamu? Atau masih single ya? Heheheh”
“Istriku sibuk, lebih sibuk dari seorang direktur sepertiku malah. Dia lagi pergi ke Jerman untuk take adegan di sebuah film.”
“Oh, artis. Pasti cantik ya.”
Aku hanya tersenyum mendengar kata – katanya yang lugas.
“Eh Robert, aku dan kawan – kawan mau pindah ke apartemenku. Kamu mau gabung?”
Sorry, aku lagi pengen sendiri. Mungkin lain kali.” sambil tersenyum aku menolak halus ajakan Sekar.
“Oh, okay. Nggak masalah, kalau memang lagi suntuk atau butuh teman boleh kok main – main ke tempatku,” sambil bergegas Sekar meninggalkan selembar kartu nama di atas meja.
Lagi – lagi hanya segores senyum tersungging di atas bibirku. Kemudian Sekar berlalu dengan teman – temannya menuju pintu keluar, dan tinggallah aku di sini sendiri lagi. Semuanya seperti kembali membeku, hingar bingar yang seakan tiba – tiba diam.
***
Langit siang ini seakan berkelambu berwarna abu – abu. Mentari yang tadinya menantang dengan panas tubuhnya tiba – tiba terhalang abu – abu dan kemudian redup. Di tengah saat aku menyantap makan siangku di sebuah restoran, ponselku berdering.
“Halo mas,” suara lembut Bidari terdengar meneduhkan.
“Iya, halo sayang. Gimana shooting filmnya?”
“Masih panjang Mas, dan melelahkan. Oh ya Mas, aku mau bilang kalau pulangku diundur. Jadi bulan depan aku baru bisa pulang.”
“Ya sudah, selesaikan dulu pekerjaanmu, dan cepat segera pulang. Uruslah suamimu ini yang sudah kangen banget.”
“hahaha Iya Mas. Nanti aku telepon lagi ya Mas.”
Okay sayang. Take care.”
Tiba – tiba aku sudah merasa kenyang, tanpa memberi kesempatan hidangan yang masih tersisa di piring untuk masuk ke dalam perutku. Segera aku panggil pelayan untuk meminta bill. Saat membuka dompet dan mengambil kartu kredit, aku mendapati kartu nama Sekar. Aku jadi ingat dengan wanita yang sekedar cantik namun begitu ramah dan hangat.
Jejeran angka yang berbaris di kartu nama Sekar terus ku pandangi. Aku teringat kata – katanya. “….kalau memang lagi suntuk atau butuh teman boleh kok main – main ke tempatku.” Aku hanya ingin sekedar ngobrol, atau butuh tempat untuk membuang unek – unek. Ku raih smartphone – ku, kemudian sedikit berbicara kepada Sekar. Setelah aku membereskan beberapa pekerjaan yang masih menumpuk di meja kerja, aku bermaksud untuk sekedar berkunjung ke apartemen Sekar. Kebetulan tidak jauh dari kantorku.
Sekar. Nama yang indah, begitu pula dengan tutur katanya yang begitu halus dan beretika. Siapa sangka, wanita yang gemar mengenakan busana yang terbuka hingga aku pun bisa melihat sebuah tattoo kupu – kupu yang sedang hinggap di atas bunga mawar tepat di tengah belahan buah dadanya yang sintal, adalah wanita yang begitu ramah dan santun dalam bertutur kata. Usianya selisih sepuluh tahun lebih muda dari usiaku, namun pemikirannya tampak lebih matang dibandingkan denganku. Hingga tengah malam aku menghabiskan waktu untuk sekedar ngobrol dan bertukar pikiran. Usianya baru seperempat abad, tapi wawasannya sangat luas, dan begitu bijak sekali ketika mengambil sebuah keputusan. Hanya dengan waktu yang singkat dia mampu mencairkan suasana beku yang ada di sekitar kami. Dia seperti obat migraine yang langsung bisa meredakan sakit kepala sebelahku. Tawanya begitu renyah terdengar ketika aku mengatakan hal itu kepadanya.
Sudah hampir tiga minggu aku dan sekar berhubungan dekat, bertukar pikiran dan berbincang sana – sini. Tapi entah kenapa akhir – akhir ini aku lebih sering sekali berkunjung ke apartemen Sekar. Yang tadinya canggung dan kaku untuk sekedar duduk berdekatan dengannya, dan sekarang aku tak sungkan – sungkan untuk mengecup kening dan pipinya. Aku merasa nyaman berada dekat dengan Sekar, seperti mencairkan cinta yang telah lama membeku. Hubungan kami terus terbentuk lebih dari sekedar teman dekat. Aku tidak pernah berbohong kepada Sekar kalau aku sudah beristri, dia pun sudah mengetahuinya sejak awal bertemu bukan? Namun tidak dengan istriku, aku menyembunyikan hubunganku dengan Sekar dari Bidari.
Setelah dua bulan penuh dia menghabiskan waktunya untuk shooting film, dia pun mengambil waktu dua minggu untuk libur sejenak. Tapi tetap saja dia tak bisa diam berada di dekapanku. Selalu ada saja kegiatan yang dia lakukan. Aku sudah pernah bilang kepadanya kalau sedikit mengurangi kegiatannya di dunia hiburan, namun dia tetap bersikeras untuk mengejar karirnya. Aku tak bisa apa – apa, hanya bisa diam. Aku sebenarnya tahu kenapa dia menunda – nunda untuk punya anak, karena tidak mau kalau tubuhnya yang langsing itu membengkak nantinya setelah melahirkan. Aku hampir tak mengenali bidadariku. Sikapku terhadapnya pun semakin jauh dari hangat. Aku lebih suka bermalam di apartemen Sekar dengan alasan pergi keluar kota untuk menemui rekan bisnis. Aku merasa jengah dengan sikap istriku sendiri yang tak mau dibimbing. Aku yang sudah berubah atau Bidari yang telah menjauhkan diriku dari cinta?
Aku sangat kepayahan, ketika Sekar meneleponku dan memberi kabar kalau dia hamil. Aku sangat gembira, tapi disisi lain aku juga merasa menjadi bodoh, karena Bidari tak mungkin mengijinkanku untuk memperistri Sekar. Dan Sekar pun pasti tak mau kalau aku menikahinya tanpa menceraikan Bidari terlebih dahulu.  Otakku seperti mau muntah, tulang – tulangku serasa mau patah karena terlalu banyak masalah.
Seharian aku tidak ke kantor, pulang ke rumah pun tidak, bertandang ke apartemen sekar juga tidak. Dari pagi hingga malam aku hanya diam tak bergeming dalam kamar hotel. Sendirian. Aku hanya ingin mencari titik terang dari masalahku. Aku tahu apa yang telah aku lakukan, aku hanya tidak siap dengan konsekuensi yang akan terjadi pada sebuah keputusan yang aku pilih. Aku takut membahayakan Sekar, dan aku pun tahu kalau aku telah menyakiti Bidari. Apapun pilihanku tetap mengandung resiko.
Keesokan paginya aku memutuskan untuk berbicara kepada Bidari. Aku memintanya untuk bercerai, dengan alasan aku sudah merasa tidak ada kecocokan dengannya. Sebenarnya tanpa Bidari berkata pun aku sudah tahu apa jawabannya. Pastilah dia mengatakan, “Tidak.” Aku tetap bersikeras untuk memintanya bercerai. Namun dengan keras kepala Bidari ingin tetap bertahan, hingga aku memutuskan untuk keluar dari rumah. Hatiku begitu pilu seperti teriris - iris, ketika melihat Bidari menumpahkan seluruh air matanya yang selama ini tak pernah aku lihat dalam paras cantiknya. Kedua tangannya mencengkeram kuat kaki kananku saat aku hendak menginjakkan kaki ke luar. Kalbuku pun sedang menangis darah pada saat itu.
***
Setelah aku meninggalkan rumah, aku hidup dengan Sekar tanpa menceraikan Bidari. Tapi hidupku serasa tidak tenang, seperti ada sebuah bayangan yang selalu mengikuti setiap langkahku. Entah bagaimana bisa aku hidup dengan keadaan seperti ini. Hidup dengan bayang – bayang hitam yang selalu merundung dalam kegelisahan. Bidari masih saja mencoba untuk menghubungiku, tapi aku selalu mengabaikan. Berita seputar keretakan rumah tangga kami pun sudah tercium oleh publik. Paparazi pun senantiasa berkeliaran. Hingga aku mendapati fotoku yang sedang bergandengan dengan sekar di sebuah pusat perbelanjaan, beredar di tabloid gossip.
 Pada senja yang memerah aku berkeluh kesah. Merah berarti marah, ataukah memang sedang berdarah. Kurogoh saku celanaku, mengambil smartphone ku yang dari tadi berbunyi terus – menerus. Aku tahu itu Bidari. Ada tujuh panggilan tidak terjawab, dan semuanya dari Bidari. Tak berapa lama setelah aku membuka layar smartphone – ku, nada pendek pun berbunyi. SMS dari Bidari.
“Mas, aku sudah tahu alasanmu untuk menceraikanku. Kumohon kau bisa ke rumah malam ini. Aku ingin membicarakannya baik – baik. Kau ajak juga wanita itu, nanti kita bisa buat kesepakatan.”
Aku tak langsung membalasnya. Aku berunding dengan sekar, dan dia pun menyetujui untuk datang menemui Bidari. Risauku semakin memburu. Seharusnya aku merasa senang karena Bidari sudah bisa menerima keadaan ini. Senja yang semakin menyalak akankah menjadi sebuah isyarat? Ataukah hanya lukisan Ilahi yang tak pernah lelah menghiasi langit jingga kemerahan itu. Desau risau terdengar parau di telinga batinku. Entah dan entah…..
Malam itu juga aku mengajak Sekar untuk bertemu Bidari di rumah tempat aku tinggal bersama Bidari dulu. Kupikir segera sajalah masalah ini terselesaikan. Awalnya Bidari menyambut kami dengan ramah. Wajah cantiknya pun masih tetap berbinar seperti dulu. Tapi, aku masih bisa melihat sorot matanya memendam kebencian terhadap Sekar. Seperti dua buah mata burung gagak yang sedang memendam kesumat. Sepasang mata yang semakin menghujam ke arah Sekar. Di tengah perbincangan dalam ruang yang sengap dan penuh kedengkian, tiba – tiba Bidari menghujamkan pisau belati yang tersembunyi di dalam lengan baju panjangnya ke dada Sekar. Kejadian itu begitu cepat, sehingga aku hanya bisa mengumpat. Belati itu menancap begitu dalam tepat di dada Sekar, merobek tattoo kupu-kupu yang hinggap di bunga mawar. Aku memeluk Sekar yang bersimbah darah.
Mataku sudah gelap, seperti terselubung kabut hitam yang pekat. Kemudian aku menyambar sebuah gunting yang tergeletak di atas meja. Suara lengkingan tawa Bidari membuat hatiku semakin geram, semakin membabi – buta. Hingga akhirnya gunting itu pun melesat cepat ke arah perut Bidari. Mata yang indah, mata milik bidadari yang tak bersayap membelalak kosong pandangnya. Bukan… bukan….. Dia bukan bidadari tanpa sayap, dia adalah bidadari yang bersayapkan belati. Bibirku beku, putih memucat, sampai – sampai tak mampu mengumpat. Dua wanita yang aku cintai tergelepar tak berdaya seperti rusa – rusa hasil buruan yang siap disembelih. Lantai marmer yang dingin menjadi semakin beku. Semakin memerah dalam genangan darah
Pada malam itu, pembantu dan supirku seperti sedang tertidur puas lelas. Tak ada satu pun yang menghampiri aku dan mayat – mayat wanita yang kucintai. Aku menggali dan menggali di tangah malam yang suram. Dua buah liang besar yang dalam menganga di halaman depan. Aku sudah seperti mayat – mayat itu, memucat dan menggigil. Kemudian aku sendiri yang membersihkan darah – darah yang hampir mengering hingga bersih seperti semula. Merapikan semuanya seakan tidak ada perabotan yang bergeser. Aku kembali ke luar, memastikan semuanya bersih dan aman. Aku terduduk dalam dingin malam yang membeku di teras depan, menjaga keduanya hingga aku pun tertidur dalam gelisah.
Malam begitu cepat berganti dengan pagi. Pembantuku mulai curiga dengan bekas galian tanah di halaman depan. Aku mengatakan padanya ingin menanam dua buah tanaman di sana. Kemudian aku menanam bibit bunga mawar merah pada tanah bekas galian tadi malam. Seiring dengan berjalannya waktu, bunga tersebut tumbuh lebat di halaman depan rumahku. Setiap hari aku hanya bisa diam memandangi bunga – bunga mawar tersebut dan kupu – kupu yang hinggap di atas bunga mawar itu.
Mereka menyangka aku gila. Mereka menyangka aku sudah tidak waras. Mereka menyangka syaraf otakku terjepit, atau putus. Mereka mereka – reka sebab hilangnya Bidari dan juga Sekar yang begitu mendadak. Mereka menyangka aku gila. Aku hanya tertawa. Aku hanya pura – pura gila.

Semarang, 26 Februari 2013