Selasa, 12 Maret 2013

GADIS BERGAUN SATIN HITAM



Gadis itu sedang menyisir rambut panjangnya yang tergerai sepinggul, saat aku melihatnya untuk kedua kalinya. Wajahnya yang pucat menyunggingkan sebuah senyuman kepadaku. Aku pun membalasnya ramah. Aku memang sering jogging di senja yang memerah seperti ini di taman yang tidak jauh  dari tempat tinggalku. Namun dua hari ini aku selalu melihat gadis cantik itu. Gadis yang selalu duduk menyendiri di sebuah bangku taman. Sejenak aku terhenti dari lari – lari kecilku. Inginku sekedar duduk berkenalan di samping gadis bergaun satin warna hitam itu. Namun ada sesuatu yang membuatku untuk mengurungkan niat. Sesuatu yang janggal di dalam sana. Seperti sukma yang sedang menarikku kembali dalam langkah majuku.
Saat fajar menyingsing, seperti layaknya penghantar siang yang terasing. Fajar selalu mendingin dengan kilau – kilau embun yang setengah membeku di ujung dedaunan pohon. Sepagi ini aku harus mengantarkan bunga – bunga potong ke sebuah gereja mungil di ujung jalan dekat taman. Langit yang setengah gelap, begitu pula udara yang masih berhembus segar menemaniku dengan celoteh nyanyian burung – burung yang bertengger di tiap – tiap pohon sepanjang jalan. Aku mengayuh keras sepedaku. Dengan keranjang yang penuh dengan bunga krisan, anggrek, dan juga mawar. Sudah menjadi rutinitas yang biasa untuk dikerjakan oleh seorang floris seperti aku. Ada yang sekedar meremehkan, ada yang mengolok, lebih lagi ada yang mencibirku. Aku hanya tergelak saat mendengar lamat – lamat suara yang menghujat tak berarti.
Angin berhembus sedikit kencang. Dahiku mengernyit, terheran karena tak biasanya angin bersiul kepagian seperti ini. Mataku memandang sebuah bangku taman, dan masih dengan gadis aneh itu. Sementara pepohonan di luar taman melambai – lambai tak beraturan, tidak begitu di dalam taman tersebut. Seperti ada sekat yang mengitarinya. Daun – daun pohon penghuni taman diam tak bergeming, seakan membeku dalam fajar yang mengkristal. Bulu kudukku berdiri, membuatku semakin bergidik.
***
Hari kelima, pertemuan dengan gadis bergaun satin hitam kelam di taman. Masih dengan raut yang sama ia menatapku. Tatapan mata yang beku, dingin sedingin bongkahan es dari kutub utara. Kali ini aku sengaja memberanikan diri untuk mendekati gadis tersebut. Aku duduk tepat di sebelahnya, hanya selisih satu jengkal. Dia tak memprotes akan kehadiranku. Mulutnya bungkam, sembari memangku seekor kucing hitam berekor panjang. Jemarinya yang lentik dengan kuku – kuku yang runcing terlihat mengusap – usap bulu kucing yang terlihat begitu mengkilap. “Hai, aku Felix,” aku mencoba membuka pembicaraan dengan memperkenalkan diri, sembari mengulurkan tangan untuk sekedar berjabat tangan. Namun sia – sialah hal tersebut. Gadis itu diam bungkam semakin merapatkan bibirnya yang pucat kebiruan. “Gimana kalau kamu aku panggil Gadis saja?” aku masih tetap berusaha mengakrabkan diri dan berharap dia mau berbicara. Gadis itu menoleh ke arahku, masih dengan tatapan yang dingin dan begitu dalam. Kupikir dia akan menjawab pertanyaanku, atau sekedar berdecak. Aku sudah hilang akal untuk mengajaknya berbicara. Percuma saja, dia tetap diam.
Langit yang semula menggoreskan jingga kemerahan dengan semburat warna keemasan, menggeliat di antara senja yang membubuhkan nila pada lukisan senja itu. Sebagai pertanda semuanya akan tergusur oleh pekat dan semakin gelap. Sudah lebih dari tiga jam aku duduk bersandingan dengan Gadis. Aku hanya bisa memperhatikan geraknya yang lambat dan dingin. “Gadis, kamu suka bunga?” tanyaku kepada Gadis, walaupun aku tahu semuanya akan sia – sia. “Kalau kamu suka, besok akan aku bawakan untukmu.” Kemudian aku melangkah pergi menjauhi Gadis. Pada langkah ketiga yang tak disangka dan tak diduga, suara lirih dari bibir Gadis yang membeku akhirnya terbisikan di telingaku. “Mawar putih,” Dua kata yang terucap. Aku menoleh dan melemparkan senyum kepadanya. Gadis pun mengukir senyumannya di atas bibirnya yang kebiruan.
***
“Lihat mi, si Felix itu bukan sekedar hilang ingatan. Tapi juga sudah gila.”
Lagi – lagi cibiran Mbok Sumirah terlontar saat sedang bercakap – cakap dengan Tarmi pembantu dekat rumahku. Aku tak sengaja mendengar obrolan mereka. Sorot mata mereka memandangku seakan sedang menghakimi.
Pada pertemuan keenam, dengan setangkai bunga mawar putih segar di tanganku. Semuanya terlihat berubah ketika bunga itu sampai pada tangan Gadis yang kurus dan tak berpori. Bunga itu memucat, sepucat wajah Gadis yang membeku. Tangkainya menguning, dan daunnya sedikit mengering.
“Bunga ini mengingatkanku pada bunga pertama yang kau berikan padaku.”
Aku tercengang mendengar apa yang Gadis katakan padaku.
“Mawar itu masih kusimpan hingga mengering kelopaknya, duri – duri yang tak lagi tajam, tangkai yang sedikit rapuh.”
“Tapi Gadis, bunga itu kan baru pertama kali aku berikan kepadamu.”
Parasnya yang pucat sedikit merona samar – samar. Mungkin hanya aku yang bisa menangkap rona merah di pipi Gadis itu. Dengan malu – malu dia menggeleng pelan. Pertanda aku pernah memberinya bunga sebelum pertemuan – pertemuan beberapa hari yang lalu. Aku geram, karena tak mampu mengingat beberapa kejadian – kejadian penting yang sudah lama aku bangun. Hingga kejadian apa yang telah membuatku kehilangan memori pun aku tak ingat. Aku seperti dilahirkan kembali, dan terus mengingat – ingat siapa aku sebenarnya.
“Aku tahu siapa kamu Fel,” Gadis berucap seperti dia mengerti apa yang aku pikirkan.
Aku memandang nanar kedua buah bola mata Gadis yang begitu indah, namun bercahaya redup. Cahaya yang seakan menyimpan beribu kisah yang pilu. Kisah yang penuh kesah berkeluh. Sorot mata yang dalam namun begitu muram. Aku seperti berada dalam dunia peri dengan gelak tawa anak-anak kecil berwajah pucat, berlari ke sana-sini. Tiba-tiba aku merasa cemas, bulu kudukku berdiri tajam. Sepertinya aku sudah merasa tak nyaman untuk berada di taman itu. Aku mulai bangkit dari tempatku duduk. Memandang sejenak wajah Gadis yang sedang menatap kosong pada tangkai bunga mawar yang telah benar-benar mengering. “Kamu bisa datang lagi ke sini kalau kamu mau tahu siapa kamu,” tatapan mata Gadis begitu dalam dan penuh pengharapan agar aku bisa datang besok saat senja. Aku mengangguk dan menyunggingkan senyum kepadanya.
***
Ini adalah pertemuan ketujuh. Pada hari Kamis di kala senja bergerimis. Ataukah akan sedikit ada tangis yang mengemis? Bayang yang suram semuanya tertangkis ketika tangan Gadis yang kurus dan dingin menggandengku dengan genggaman yang erat. Berjalan perlahan menuju sungai kecil yang dalam di belakang gereja mungil dan tua. Derap langkah Gadis yang perlahan dan kadang terseok mengantarku ke tepi sungai itu. Ada ribuan kupu-kupu liar yang meliuk-liuk indah layaknya ballerina dengan kaki-kaki mungilnya meloncat sana-sini. Baru kali ini aku melihat ada kupu-kupu yang berkoloni sebanyak ini di dekat sungai.
“Itu!” Gadis menunjuk ke arah semak belukar yang sedikit berduri.
Aku menghampiri semak itu dengan perlahan, berjaga-jaga kalau saja ada ular atau hewan berbahaya di balik sana. Tanganku yang tak besar cenderung kurus menyibakkan semak-semak yang menjuntai tak beraturan. Pupilku tersentak hingga bulat dan membesar. Kudapati sebuah tumpukan tulang belulang yang kuterka itu adalah tulang-tulang leher hingga panggul yang berserakan tak karuan. Beberapa sedikit berlumut.
“Tulang siapa ini?” tanyaku menjadi ringsut, ketika kulihat mata Gadis yang begitu bulat dan dingin itu berlinang air mata.
“Di semak sebelah batu besar yang berlumut itu juga ada.”
Aku kembali mencari, barangkali ada tulang-tulang tak bernyawa yang singgah di tempat tak bertuan ini.  Kutemukan sebuah tengkorak yang lapuk, rahangnya pun sudah tak menyatu. Seperti sudah bertahun-tahun tergeletak tak ada yang peduli.
“Gadis, sebenarnya apa yang ingin kau tunjukkan kepadaku? Langit sudah gelap, seperti liang yang menganga di cakrawala. Liang itu seakan mau menelan mentah-mentah tubuh kita. Aku harus segera pulang.”
“Jangan. Kau jangan tinggalkan aku sendirian di sini lagi.”
“Apa maksudmu dengan ‘lagi’?”
“Felix, memang benar namaku Gadis. Aku mengira kau sudah mengingatku kembali ketika kau menyebut namaku. Dan aku tersadar kau sudah tak bisa mengingat semuanya lagi.”
Beberapa orang mengakatakan tentang kejadian yang membuatku hilang ingatan. Semuanya simpang siur. Ada yang bilang aku dikeroyok gerombolan perampok yang bertubi-tubi telah mendaratkan benda keras ke kepalaku. Ada yang bilang kepalaku terbentur batu besar ketika jatuh di dekat sungai.
“Felix, kamu lah kisah yang mendesah, segala kunci yang tak bertepi. Namun sayang ingatanmu tak kunjung pulih hingga bertahun-tahun. Aku selalu menunggumu dalam dekap kabut yang membekukan.”
Mataku mulai berkaca-kaca, langit yang gelap bergulita kemudian berpendar cahaya kemuning yang binar. Seperti ribuan bintang, namun semakin mendekat. Ribuan kunang-kunang terbang berderik di sekeliling kami. Aku benar-benar seperti berada dalam dunia peri.
“Felix, aku adalah kekasihmu, yang sudah lama menghilang dari himpit otakmu. Semuanya terjadi begitu tiba-tiba. Segerombolan perampok mengeroyokku ketika aku sedang menunggumu di taman. Aku harapkan kau yang datang dengan membawa bunga mawar putih. Namun hanya ada lelaki-lelaki brangasan dan rakus itu……”
Cerita demi cerita berucap kata, runtun menjadi sebuah film yang berputar di otakku. Kejadian demi kejadian samar-samar mulai terlintas dengan tuntas. Beberapa ingatan mulai pulih. Mulai dari aku terlambat bertemu dengan Gadis, karena ada masalah dengan mesin motorku. Aku harus berlari-lari penuh peluh yang tak berhenti mengeluh. Setiba di taman itu aku mendapati Gadis di antara gerombolan-gerombolan perampok. Gaun Gadis terlihat robek di sana sini. Ada darah yang mengalir di antara sela pahanya. Dasar laki-laki rakus yang tak punya otak. Aku berusaha melawan mereka berlima. Laki-laki yang berbadan besar dan berotot kekar, tak satu pun mereka berbadan ringkih sepertiku. Aku beberapa kali terhantam oleh pukulan tangan-tangan yang bertulang keras dan daging yang liat. Seorang dari mereka menghantam kepalaku berkali-kali dengan batang kayu besar. Hingga akhirnya aku pun tak sadarkan diri. Jangankan mengingat kejadian itu, siapa aku saja aku tidak tahu.
“Mereka menikamku dengan pisau lipat tepat di lambungku. Aku merangkak untuk melarikan diri, namun dua orang dari mereka menyeretku. Mereka membuangku di sungai ini, memotongku menjadi tiga bagian. Jangankan berteriak, untuk sekedar melenguh seperti layaknya sapi yang disembelih pun aku tak bisa.”
Bibirku bergetar, semua sesal tak akan pernah menyembuhkan luka. Seandainya saat itu aku tak terlambat. Seandainya motorku tak sedang mogok. Aku menghujat diri, dengan ceracau yang parau. Kupeluk Gadis yang begitu kasat untuk sekedar disentuh. Lalu kunang-kunang yang berkoloni itu mengajak kami berpijak ke tanah yang tak pernah aku ketahui. Dimana cahaya terang yang begitu menyilaukan memandikan tubuhku. Dan aku semakin masuk ke dalam cahaya itu, dengan berjuta - juta kunang-kunang yang bergemerlap. 

Semarang, 02 Maret 2013

2 komentar:

  1. Kagum liat kata-katanya, bagus banget !
    di sekolah pelajaran B.I-ku selalu jelek, ga efektif kata-katanya -.-
    Mampir + Follow juga ya : rpp-codename.blogspot.com

    BalasHapus
  2. hehehe terimakasih, boleh kritik dan sarannya kok di sini. bebas :) iya sudah aku follow. Thanks

    BalasHapus